Menu Tutup

Mempersoalkan Ungkapan “Menjadi Islam Tak Perlu Menjadi Arab”

DatDut.Com – Beberapa hari ini berseliweran sindiran netizen kepada Presiden RI ke-5 terkait dengan pidato politiknya beberapa waktu lalu. Pidato yang di antaranya mengetengahkan ucapan bahwa untuk menjadi orang Islam tidak perlu menjadi orang Arab, menjadi bahan cibiran terutama saat masyarakat Indonesia mengelu-elukan kedatangan Raja Salman. Terlebih lagi saat foto diri dan putrinya sedang ber-wefie bersama Raja Salman.

Bukan bermaksud untuk membela Mbak Mega, tapi agaknya kita perlu membicarakan tentang “menjadi Islam tidak perlu menjadi Arab” itu dengan kepala dingin dan tanpa bebani oleh masalah politik serta finansial.

Mari awali dengan definisi. Menurut Wikipedia, kata “Arab” mengarah pada beberapa hal di antaranya suku (bangsa) Arab, bahasa Arab, budaya Arab, abjad Arab, dunia Arab, dan beberapa definisi lainnya.

Definisi umum tentang bangsa Arab adalah orang-orang yang secara geneakologi memiliki keturunan dari Arab dan nenek moyangnya tinggal di negeri Arab, yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu dan secara politis berkebangsaan atau negara di kawasan Arab.

Sementara itu Liga Arab pada tahun 1946 menyatakan bahwa orang Arab adalah “mereka yang memiliki kebangsaan dan negara di dunia Arab, berbahasa Arab dan peduli terhadap nasib bangsa Arab”.

Liga Arab adalah organisasi yang dibentuk pada 22 Maret 1945 sebagai wadah bagi negara-negara Arab dalam mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, kebudayaan, kewarganegaraan, sosial, dan kesehatan. Saat ini terdapat 22 negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang menjadi anggota Liga Arab. Jadi berbeda dengan Organisasi Konferensi Islam (OKI) ya.

Dari berbagai definisi tersebut, semuanya mengarah ke masalah geneokologi, geografis dan linguistik. Tidak satu pun yang mendeskripsikan keterkaitannya dengan Islam, meskipun di antara negara-negara Arab tersebut ditahbiskan sebagai negara-negara Islam. Seperti Saudi Arabia yang oleh sebagian orang ditempatkan sebagai contoh bagi segalanya.

Adalah benar bahwa Islam diturunkan dari jazirah Arab, memiliki Kitab Suci dalam bahasa Arab, disebarkan oleh Rasul yang berkebangsaan Arab dan di dalamnya penuh dengan kisah-kisah perjuangan bangsa Arab. Namun apakah fakta itu akan menafikkan fakta lain bahwa Islam ini diperuntukkan bagi semua makhluk di penjuru 4 mata angin?

Tentu tidak. Islam dianugerahkan untuk semua, tidak memandang etnis, wilayah, pangkat, profesi dan berbagai batasan lain. Sifat peruntukannya adalah universal bahkan nilai-nilai kebaikannya berakibat pada lingkungan secara luas, tidak hanya pada makhluk yang hidup di dalamnya.

Mengidentikkan Islam dengan Arab akan mengerdilkan Islam itu sendiri. Dia akan bersifat elitis karena hanya terbatas pada masyarakat tertentu. Islam seolah menjadi alat penyeragam semua hal bahkan di luar syariat yang dibawanya. Dengan berislam, seolah kita diminta untuk menanggalkan Jawa kita, Sunda kita, Melayu kita.

Hal ini jangan disalahpahami sebagai pengkotak-kotakan, namun harus dimengerti dari sudut pandang bahwa Islam menerima ragam tradisi selama tradisi itu tidak melanggar batas-batas yang telah ditetapkan dalam syariat.

Sekarang timbul pertanyaan kepada orang yang anti terhadap kalimat “menjadi Islam tidak perlu menjadi Arab”. Apakah penolakan itu sama artinya dengan berpendapat bahwa berislam diwajibkan pula berbudaya Arab? Harus menunjukkan identitas kearaban di tengah ragam budaya Nusantara? Meninggalkan budaya lokal? Atau pertanyaan lain yang lebih menggemaskan, apakah saat kita berislam otomatis status kewarganegaraan kita berubah dari Indonesia menjadi warga Saudi, Suriah, Yaman, Mesir, atau Irak?

Saya kuatir jawabannya adalah “tidak”. Karena jawaban itu akan menunjukan ketidakkonsistenan mereka dalam berpendapat. Di mana mereka mencibir ungkapan “menjadi Islam tidak perlu menjadi Arab”, namun saat dihadapkan kepada fakta bahwa 2 atau 3 anggota keluarga kerajaan Saudi yang tidak berhijab, mereka menjawab,”Hijab itu tuntutan syariat, bukan karena arabnya.” Dengan jawaban seperti ini sebenarnya mereka sudah mengatakan bahwa berislam berbeda dengan dengan menjadi orang Arab.

Ruforia yang terjadi saat penyambutan Raja Salman tidak bisa dikatakan sebagai gejala kearab-araban. Bagaimana mungkin hanya dengan membicarakan kedatangan beliau, berjejer di pinggir jalan sembari melambai-lambaikan bendera Saudi atau menyambutnya dengan lantunan shalawat dikatakan sebagai “Mendadak Arab”? Itu hanya euforia masyarakat dalam menyambut tamu yang beritanya menjejali media pemberitaan Tanah Air beberapa hari sebelumnya.

Jadi, mari kita berusaha proporsional dalam menganggapi berbagai hal. Berusaha untuk bersikap obyektif bahkan kepada figur yang tidak disukai adalah sebuah hal yang positif. Dalam kasus ini, bisa jadi si pencibir pernyataan Mbak Mega memang tidak suka terhadap Ketum PDIP itu, namun bagaimana sekiranya jika hal senada diucapkan oleh ulama sekelas Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub seperti dalam video berikut ini?

https://www.youtube.com/watch?v=eGkJFc9MdI4

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *