Menu Tutup

Luruskan Niat! Jangan Pengen Jadi Guru Hanya untuk Dapat Tunjangan Sertifikasi

DatDut.Com – Saat saya menuliskan ini, status saya masih menjadi mahasiswi (hampir akhir) yang lebih banyak mendengarkan ceramah dosen di kelas ketimbang mengamalkan ilmu yang saya punya. Sebagai mahasiswi (hampir akhir) fakultas keguruan, saya pun menghadapi berbagai problematika, terutama pertentangan pola pikir dan konflik batin yang tentunya saya alami sendiri.

Keresahan-keresahan itu muncul sejalan dengan tugas-tugas kuliah saya yang menumpuk, dan bukannya saya kerjakan, saya malah asyik menulis tulisan ini.

Saya mau curhat sedikit. Jadi, sebenarnya saya tak pernah berkeinginan untuk jadi guru atau masuk fakultas keguruan seperti saat ini. Tapi ya mau gimana lagi, tiga kali saya ditolak masuk Sastra Indonesia membuat saya berpikir untuk move on. Buat apa menunggu yang tak pasti, sedangkan saat itu saya berhasil diterima di fakultas keguruan atas dasar coba-coba dan mau tahu aja.

Tahun pertama saya berusaha mencintai perkuliahan, tahun kedua saya mulai bisa cinta, dan di tahun ketiga saya malah merasa tidak/belum pantas menjadi guru nantinya.

Loh, kenapa?

Ada sesuatu yang mengusik pikiran saya akhir-akhir ini, tentang kontribusi apa yang akan diberikan oleh orang-orang seperti saya ke depannya. Maka dari itu, saya menuliskan ini sebagai bahan pembenahan, khususnya untuk saya sendiri.

Dan berdasarkan survei abal-abal yang saya lakukan serta perenungan saya secara mendalam, saya dapat menyimpulkan bahwa sebaiknya jangan jadi guru, kalau…

[nextpage title=”Niatnya Belum Lurus”]

Niatnya Belum Lurus

Saya masih ingat salah satu hadits yang artinya “amal perbuatan itu disertai oleh niat”. Hal itu berarti apa yang kita lakukan hendaknya berdasar pada niat yang baik. Coba dipikir lagi kira-kira kita mau jadi guru karena apa? Apakah benar sudah sesuai dengan tujuan pendidikan Indonesia yang isinya kurang lebih untuk mencerdaskan anak bangsa?

Tujuan kita mendidik anak juga agar mereka tumbuh menjadi manusia yang cerdas, berilmu pengetahuan, dan berakhlak mulia. Ukuran keberhasilan mendidik adalah terjadinya perubahan perilaku anak dari tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, dan tidak terbiasa menjadi terbiasa.

Tapi, benarkah begitu tujuan kita? Atau jangan-jangan pemikiran kita sudah disisipi niat terselubung yang ujung-ujungnya berorientasi materi.

Jangan sampai keinginan kita menjadi seorang guru hanya karena iming-iming sertifikasi, bayang-bayang menjadi pegawai negeri, atau mendapat tunjangan di sana-sini.

Jadi, mari kita luruskan niat, dan menjadi sebaik-baiknya guru yang bermanfaat untuk banyak orang.

[nextpage title=”Masih Memiliki Persepsi Bahwa Jadi Guru Itu Gampang”]

Masih Memiliki Persepsi Bahwa Jadi Guru Itu Gampang

Saya pernah ditodong pertanyaan oleh mahasiswa baru yang baru selesai daftar ulang. Kira-kira begini pertanyaannya:

“Kak, kuliah di fakultas keguruan ngapain aja sih? Untuk jadi guru nanti nggak susah kan?”

Sebuah pertanyaan yang kemudian saya jawab dengan pertanyaan pula.

“Kamu kenapa mau jadi guru?”

“Kayaknya jadi guru itu kerjaannya gampang deh!” tandasnya.

Saya sepakat untuk tidak bersepakat dengan pernyataan tersebut, meskipun tidak susah, tapi bukan berarti gampang. Menjadi guru itu tidak sesimpel yang dibayangkan; datang, mengajar, pulang. Siswa hanya memindahkan pelajaran, mengerjakan soal, mendapat nilai, lulus, dan mendapat pekerjaan, selesai.

Kalau begitu sekolah tak ubahnya pabrik yang siap mencetak siswa-siswi untuk selanjutnya dijual ke pasaran.

Mungkin itu sebabnya banyak siswa yang menghalalkan segala cara seperti menyontek atau berbuat curang lainnya karena tolak ukur kecerdasan seseorang hanya berdasarkan nilai yang tercetak dalam selembar ijazah.

Jadi guru jelas tak mudah, profesi mulia tersebut menyita banyak pikiran, waktu, tenaga, dan kesabaran. Keterlaksanaan tugas sebagai guru tidak hanya diukur dari pemenuhan jumlah jam semata, karena itu berarti baru sebagian tugas yang ditunaikan, yaitu administratif. Lebih dari itu, guru memiliki tugas mulia yakni mendidik.

Jika terjadi kesalahan dalam proses administrasi, kita mampu untuk menghapusnya, namun jika terjadi kesalahan dalam mendidik, kita tidak mampu untuk menghapusnya.

Seperti halnya ketika seorang dokter melakukan kesalahan dalam mendiagnosis penyakit pasien, mungkin korbannya hanya satu orang, yakni pasien yang bersangkutan. Akan tetapi, jika terjadi kesalahan dalam mendidik, hasilnya akan terlihat beberapa tahun ke depan, dan korbannya mungkin tak hanya satu orang, tapi satu generasi.

Jadi, sulitkah menjadi seorang guru?

Tentunya tidak, jika kita memang menguasai ilmu dalam mendidik dan senantiasa melibatkan cinta di dalamnya. Selain itu, bukankah Allah tidak akan memberikan beban persoalan melebihi batas kemampuan manusia?

[nextpage title=”Berasumsi Bahwa Semua Siswa Itu Sama Saja”]

Berasumsi Bahwa Semua Siswa Itu Sama Saja

Sebagai seorang guru, kita akan dihadapkan dengan puluhan siswa yang heterogen. Berbeda jenis kelamin, suku, agama, pola asuh orangtua, tingkat inteligensi, kegemaran, dan masih banyak lagi. Puluhan siswa itu tidak bisa dipukul rata, meskipun mereka sama-sama manusia yang punya hak belajar, tapi tetap saja tidak bisa disamakan.

Di kelas ada siswa yang pendiam, saking pendiamnya dia hanya bisa merespon dengan anggukan dan gelengan kepala. Ada juga siswa yang kelewat aktif, jahil, bahkan mungkin sering mengganggu teman-temannya dan membuat jengkel. Ada yang cepat menangkap pelajaran, ada pula yang membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami pelajaran.

Kita tidak bisa memaksakan siswa yang kita didik sesuai dengan keinginan kita. Artinya, jika kita mau menjadi guru dengan persyaratan bahwa siswa yang kita ajarkan haruslah siswa yang pintar, rajin, patuh, taat, disiplin, sarana belajar lengkap, gaji yang memadai, dan orangtua yang perhatian penuh terhadap anaknya, berarti kita belum sepenuhnya siap untuk menjadi guru yang baik.

Lantas harus bagaimana?

Mari ubah persepsi kita, bahwa semua siswa memiliki karakter yang unik dan berbeda, jangan pernah menyerah dan terus belajar untuk mendidik anak bangsa.

[nextpage title=”Belum Siap Jadi Teladan”]

Belum Siap Jadi Teladan

Beban terberat bagi seorang guru adalah ketika kita harus selalu menjadi model dan contoh untuk dijadikan referensi siswa, sedangkan kita adalah manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan.

Begitu hakikat seorang guru, sebagaimana makna kata “guru” yang berarti orang yang memerangi kegelapan. Sejatinya guru dapat menjadi contoh yang baik untuk siswa-siswinya, bukan sebaliknya.

Maka ada istilah children see, children do. Jadi apa yang siswa lihat dari gurunya adalah apa yang akan ia lakukan. Ketika siswa melihat tingkah laku guru yang tidak disiplin, berkata kasar, atau berpakaian tidak senonoh misalnya, hal itu lambat laun akan menjadi sesuatu yang ditiru oleh siswa sebagaimana yang ia dapatkan dari gurunya. Kita harus selalu ingat bahwa cara bicara, cara berpikir, dan bertindak siswa salah satunya dipengaruhi oleh kita sebagai guru.

Pertanyaannya adalah, apakah kita sudah siap untuk menjadi teladan?

Menjadi sosok yang kelak diidolakan siswa-siswi, ditunggu kehadirannya, dirindukan ketika tak ada, dan dikenang setelah tiada.

[nextpage title=”Mengabaikan Hati Nurani”]

Mengabaikan Hati Nurani

 “Pengajaran yang baik datang dari nurani, bukannya dari teknik. Ketika guru memiliki identitas dan integritas yang baik, maka teknk-teknik pembelajaran akan membantunya menjalankan tugas. Bila tidak, semua teknik itu akan sia-sia. Penalaran berkembang seiring dengan perasaan, jika guru berharap untuk bisa membuka penalaran siswa, maka guru harus mampu membuka perasaan mereka terlebih dahulu. Banyak di antara pada guru kehilangan hati nurani seiring berjalannya waktu (ketika mengajar hanya dijalani sebagai tugas /kewajiban dan rutinitas semata). Ketika guru tidak berusaha untuk mendapatkan hati nuraninya kembali, maka semua yang kita bangun hancur sebelum kita membangunnya secara utuh.”

Tepat sekali apa yang telah diutarakan oleh Parker J. Palmer (2007) bahwa sejatinya pendidikan yang baik berasal dari hati nurani. Kadang kala, seorang guru terlalu sibuk menyusun teknik, metode, dan strategi pembelajaran agar kompetensi dasar yang dituntut kurikulum dapat tercapai. Akan tetapi seolah melupakan perasaan, menomor duakan hati nurani dalam mendidik anak bangsa.

Wilayah kerja guru yang sesungguhnya bukanlah sekolah atau ruang kelas, melainkan otak dan hati manusia. Sebagai arsitek otak dan hati manusia, hasil kerja guru dapat dilihat dari bagaimana atau seperti apa otak dan hati manusia setelah proses interaksi antara guru dan siswa terjadi. Maka, ketika mendidik siswa, yang pertama kali disentuh adalah hati dan perasaan siswa.

Kita harus selalu ingat bahwa semua siswa itu memiliki kecerdasan yang beragam, tinggal bagaimana kita sebagai guru mengarahkan agar bakat dan potensinya dapat berkembang. Melalui hati, guru dapat membangun kesadaran dan menumbuhkan minat belajar pada siswa.

Ketika siswa merasa nyaman dihadapan guru, maka sesulit apa pun materi pelajaran yang diajarkan akan terasa sangat mudah. Karena yang terpenting adalah bagaimana caranya membuat siswa cinta belajar, bukan semata-mata menuntut siswa untuk pintar.

Kira-kira itulah beberapa poin penting yang harus kita perhatikan. Yang perlu kita ingat adalah setiap dari kita adalah guru, karena guru tak berbatas kelas, seperti kata Pak Anies Baswedan beberapa waktu lalu: “Mendidik adalah tugas orang terdidik”.

 

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *