Menu Tutup

Hadis yang Dijadikan Dasar Pengharaman Hormat Bendera dan Ikut Upacara Bendera Ternyata Bermasalah

DatDut.Com – Beberapa hari ini publik dihebohkan dengan pendapat seorang ustaz dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengharamkan upacara bendera dan hal-hal lain yang berkaitan dengan upacara bendera, seperti menyanyikan lagu kebangsaan, menghormat bendera, dan menjadi pembina upacara. Alasannya itu bagian dari penanaman nilai-nilai nasionalisme yang dianggapnya sebagai bagian dari ashabiyah (fanatisme).

Sang ustaz menyandarkan pendapat dan fatwanya itu pada hadis riwayat Abu Daud. Pada riwayat itu, Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang menyeru kepada ashabiyah,” (HR Abu Dawud).

Saya pun penasaran, karena saya masih janggal dan merasa asing dengan pendapat tersebut. Meskipun saya tahu, orang-orang yang bernaung pada ormas ustaz tersebut sering dan sudah lama menyampaikan hal itu, namun saya enggan menanggapi karena saya pikir hal itu disampaikan karena ketidaktahuannya.

Namun lantaran kali ini yang menyampaikan pendapat itu adalah salah satu Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), maka saya pun perlu sedikit urun rembuk. Di beberapa media disebut si ustaz bernama Muhammad Shidiq Al Jawi atau H. Ir. M. Shiddiq al-Jawi, M.Si. Ini saya lakukan juga karena kemarin saya menulis status di akun Facebook yang mempertanyakan dasar argumen pendapat itu. Berikut status yang saya posting di akun Facebook saya kemarin (18/8/2016):

“Mungkin saya kurang bacaan atau mungkin terlalu awam. Tapi hingga hari ini saya belum ketemu argumen yang kuat orang-orang yang melarang bahkan mengharamkan hormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan.”

Untuk itulah, tulisan ini akan mencoba melihat lebih jernih dan dengan seksama kualitas hadis yang dijadikan argumen oleh si ustad, berdasarkan tinjauan sanad dan matannya. Sang ustaz menyodorkan dasar pendapatnya dari hadis riwayat Abu Dawud, yang menurutnya berkualitas hasan. Saya yang kebetulan sedikit-banyak berkecimpung dalam bidang hadis, cukup penasaran dengan hadis yang disebut. Dari hasil penelusuran, saya mendapati beberapa fakta berikut:

(1) Hadis ini menurut Abu Dawud (yang mencantumkan hadis ini dalam Sunan Abi Dawudf) terdapat masalah pada salah satu rawinya, yaitu Abdullah bin Abi Sulaiman. Menurut Abu Dawud, dia tidak mendengar dari Jubayr bin Muth’im yang merupakan rawi di atasnya. Karenanya, Abu Dawud menilai hadis ini mursal, yang dalam Ilmu Hadis termasuk salah satu indikator kelemahan suatu hadis.

(2) Dalam hadis itu terdapat rawi bernama Muhammad bin Abdurrahman al-Makki. Menurut Abu Hatim al-Razi (seorang penjarah rawi hadis kenamaan), al-Makki adalah rawi majhul (tidak dikenal). Ini juga dalam Ilmu Hadis termasuk salah satu indikator kelemahan suatu hadis.

Berdasarkan tinjauan sanad, hadis ini lemah. Jadi, agak aneh kalau sang ustaz menyebutnya hadis ini berkualitas hasan. Abu Dawud sendiri saja menyebut lemah hadis itu. Dan, ada kaidah yang dalam Ilmu Hadis, kalau Abu Dawud tidak berkomentar terhadap hadis yang dicantumkannya dalam kitab Sunan Abi Dawud, maka hadis itu layak pakai. Sebaliknya, bila ada komentar, berarti ada masalah dalam hadis itu.

Nah, saya agak janggal bila hadis itu disebut hasan oleh si ustaz. Dari mana kesimpulan itu didapat. Jangan-jangan itu kesimpulan gegabah lantaran menganggap kualitas hadis di Sunan Abi Dawud dipukul rata, kalau tidak sahih, ya hasan. Padahal tidak selalu demikian. Semoga kejanggalan saya atas kualitas hadis yang disebut Pak Ustaz HTI ini salah.

Bila demikian adanya dengan sanadnya, lalu bagaimana dengan matannya (muatan isi hadisnya)? Secara matan, saya juga menemukan beberapa fakta berikut:

(1) Yang disebutkan oleh Rasulullah adalah kata ashabiyyah. Saya hanya khawatir si ustad cuma buka kamus-kamus bahasa Arab kontemporer terkait makna kata ashabiyyah yang sering diartikan sebagai ‘fanatisme’ atau karena terlalu sering memaknai ashabiyyah dengan ‘fanatisme’. Ia lalai membuka syarah hadis dan kamus kosakata hadis.

Padahal, bila terkait bidang yang amat spesifik, makna kata tetap harus merujuk pada kamus khusus bidang ilmu. Dan, seperti juga dalam memahami Alquran yang membutuhkan tafsir, maka dalam memahami hadis juga membutuhkan syarah. Makna kata juga sering kali mengikuti perkembangan zaman, seperti contoh kata hatif yang zaman klasik diartikan ‘suara tanpa rupa’, tapi di zaman modern-kontemporer diartikan ‘telepon’.

Nah, makna kata ashabiyyah ini oleh para pensyarah hadis diartikan tidak seperti yang disebutkan oleh si ustaz. Al-Minawi, pensyarah hadis terkemuka, menyebut makna kata ashabiyyah adalah mu’awanah al-zhalim (membantu, mendukung, atau menyokong orang yang zhalim). Pendapat yang sama juga dikemukan oleh al-Qari. Dan, saya belum menemukan pendapat para ulama yang seperti dikemukakan oleh si ustaz, ya kecuali dari kelompoknya si ustaz itu.

(2) Hadis tersebut menyebut kata ashabiyyah, bukan qaumiyyah atau wathaniyyah yang berarti ‘nasionalisme’. Jadi, kalau si ustaz menyebut cinta Tanah Air bagian dari nasionalisme, dan mengaitkan hal itu dengan ashabiyyah yang disebut di hadis, maka itu cara berpikir yang takalluf (memaksakan diri) dan cenderung sesuka hati dalam mengartikan hadis sesuai selera dan hawa nafsu ormasnya.

Dan, “memperkosa” hadis demi kepentingan kelompok, itu juga cara yang tak dapat dibenarkan, apalagi memonopoli kebenaran dan pemaknaan hadis hanya sesuai pemahamannya, yang nyatanya ulama hadis sendiri tidak memahami demikian.

(3) Bila benar cinta Tanah Air atau nasionalisme itu dilarang, lalu mengapa Nabi Muhammad Saw. setelah sukses berdakwah di Madinah selalma 10 tahun, tetap ingin pulang kampung ke Mekah? Dalam lembaran Sirah Nabawiyah sangat mudah menemukan data mengenai begitu rindunya Nabi Muhammad Saw. dengan kampung halamannya.

Nabi juga sering sekali menyebut identitasnya sebagai orang Arab. Riwayat Abu Hurairah menyebut bahwa Nabi pernah bersabda, “Aku orang Arab.” Dalam hadis marfu’ riwayat Ibnu Umar disebutkan juga bahwa Nabi pernah bersabda, “Mencintai orang Arab itu bagian dari keimanan dan membencinya bagian dari kemunafikan.”

(4) Soal si ustaz dan organisasinya tidak suka nasionalisme yang katanya dari penjajah Barat, itu urusan lain. Nyatanya karena kecintaan terhadap Tanah Air itulah yang membuat umat Islam, terutama ulama, santri, dan tokoh perjuangan, dapat mengusir penjajah Barat. Andai mereka tidak mencintai Tanah Air, akankah negeri ini bisa merdeka?

Mau diakui atau tidak, kalau mau membaca lembaran-lembaran sejarah, kemerdekaan Indonesia ini buah dari perjuangan para ulama, santri, dan umat Islam. Cobalah baca bagaimana perlawanan-perlawanan di berbagai daerah itu. Hampir semua diinisiasi dan dipimpin para ulama dan santri, yang tentunya melibatkan umat Islam sebagai pejuang. Bahkan, hampir semuanya umat Islam dan sebagian di antaranya adalah para ulama dan tokoh umat Islam. Lalu, apakah mereka semua tak mengerti makna dari hadis itu dan berjuang atau mati konyol dalam berperang melawan penjajah Belanda?

Semoga tulisan ini dapat menjernihkan kesimpangsiuran dan kebingungan umat atas persoalan mengikuti upacara bendera, hormat bendera, dan menyanyikan lagu kebangsaan. Karena, bila pendapat itu didasarkan pada hadis Abu Dawud di atas, nyatanya ada kelemahan yang jelas di sanad dan matannya.

Ada satu nasihat sederhana juga untuk si ustad. Bila belum pada level mufti, alangkah baiknya bila fatwanya (apalagi yang kontroversial) tidak dulu dikemukan di publik, agar masyarakat tidak bingung. Wallahu a’lam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *