Menu Tutup

Setelah Kontroversi al-Maidah 51, Bagaimana Semestinya Sikap Kita pada Terjemahan Alquran?

DatDut.Com – Buntut dari dugaan penistaan terhadap Alquran QS Al-Maidah 51, ternyata masih terus berlanjut. Setelah memantik kemarahan umat Islam di berbagai daerah dengan turun ke jalan, masalah ini ternyata juga berdampak memecah umat ke dalam dua kubu. Kubu pertama memahami ayat tersebut berhubungan dengan masalah politik identitas, terutama terkait kepemimpinan. Kubu kedua memahami sebaliknya. Ayat itu tak dianggap punya sangkut-paut dengan permasalahan politik.

Beberapa waktu lalu dua kubu terlibat perang argumen melalui berbagai forum diskusi, baik di ruang nyata maupun di ruang maya. Bila memperhatikan argumen masing-masing, sebetulnya tiap kubu sama-sama memiliki landasan argumen kuat yang merujuk pada kitab-kitab tafsir, hadis, dan sejarah Islam.

Hanya saja masing-masing pihak kukuh dan seperti hendak memonopoli penafsiran atas ayat itu, padahal nyatanya pemahaman terhadap ayat itu semestinya bisa disatukan dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Namun, metode ini diabaikan oleh kedua kubu, karena perbedaan pandangan ini tidak murni soal perdebatan akademik, tapi justru lebih banyak terkait dengan sikap dan preferensi politik. Maka, perdebatan dan diskusi soal ini sering kali buntu.

Perdebatan mengenai ayat ini pun lalu memasuki babak baru. Tidak lagi hanya soal pemahaman dan penafsiran, tapi sudah masuk wilayah penerjemahan ayat itu. Polemik pemahaman dan penafsiran yang berujung pada terjemahan ayat sebetulnya tidak baru kali ini terjadi. Sebelumnya polemik sejenis juga pernah terjadi.

Waktu itu yang menjadi objek polemik adalah terjemahan QS An-Nisa’ 34 terkait kata qawwam, yang sempat diperdebatkan mengenai arti yang tepat, apakah ‘pemimpin’, ‘pelindung’, atau ‘pemimpin keluarga’. Saat itu pun polemik terjadi sehubungan dengan majunya Megawati sebagai calon presiden. Polarisasi kubunya pun sama dengan saat ini: kubu yang mengartikan ‘pemimpin’ dan kubu yang mengartikan ‘pelindung’.

[nextpage title=”Geger Terjemahan Awliya”]

Geger Terjemahan Awliya

Dalam konteks saat ini, kubu pertama berkeberatan dengan munculnya terjemahan kata awliya sebagai ‘teman setia’, menggantikan terjemahan sebelumnya ‘pemimpin’ yang ada pada terjemahan Alquran Kementerian Agama. Kubu pertama menduga perubahan terjemahan terhadap kata itu merupakan bagian dari pemaksaan kehendak kubu kedua yang memasukkan pemahamannya untuk menggeser versi pemahaman dan penafsiran kubu pertama.

Di media sosial pun geger. Bahkan, tersebar viral yang bernada provokasi bahwa terjemahan ’teman setia’ itu merupakan terjemahan Alquran palsu. Ada juga kelompok tertentu yang berencana melakukan sweeping ke toko-toko buku untuk mencari terjemahan Alquran versi ‘teman setia’.

Padahal, terjemahan itu sudah ada sejak edisi terjemahan Alquran tahun 2002, yang dikeluarkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) Kementerian Agama. Dengan kata lain, terjemahan itu resmi dan sebetulnya tak terkait dengan kontroversi mengenai ayat itu beberapa minggu ini.

Hal inilah yang kemudian membuat LPMQ mengeluarkan rilis pada (23/10) mengenai duduk perkara munculnya terjemahan ‘teman setia’ itu. Dalam rilis itu, Ketua LPMQ, Dr. Muchlis M Hanafi, menjelaskan bahwa kata awliya di dalam Alquran disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya.

Merujuk pada Terjemahan Al-Quran Kementerian Agama edisi revisi 1998—2002, pada QS. Ali Imran/3: 28, QS. Al-Nisa/4: 139 dan 144 serta QS. Al-Maidah/5: 57, misalnya, kata awliya diterjemahkan dengan ‘pemimpin’. Sedangkan pada QS. Al-Maidah/5: 51 dan QS. Al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan ‘teman setia’. Pada QS. Al-Taubah/9: 23 dimaknai dengan ‘pelindung’, dan pada QS. Al-Nisa/4: 89 diterjemahkan dengan ‘teman-teman’.

Pada rilis itu, Tim LPMQ seperti sedang menunjukkan bahwa mereka punya pertimbangan sendiri berdasarkan kajian-kajian yang mereka lakukan. Selain terkait konteks ayat dan makna kebahasaan kata itu, terjemahan ‘teman setia’ ini sepertinya dilakukan untuk meminimalkan gesekan yang selama ini kerap terjadi terkait ayat itu. Meskipun penjelasan ini pasti tak memuaskan kubu pertama, karena merasa pemahaman versinya tidak diakomodasi.

Nah, pada titik inilah semestinya terjemahan yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah mengakomodasi versi pemahaman yang berbeda, sekurang-kurangnya diletakkan di catatan kaki. Apalagi terjemahan ‘pemimpin’ itu juga pernah dipakai oleh Al-Qur’an dan Terjemahannya yang dikeluarkan Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an pada versi terjemahan 1971.

Bila menilik terjemahan kata awliya pada terjemahan Alquran non-Kemenag yang banyak beredar saat ini dan menjadi rujukan umat, maka akan juga didapat banyak versi. M. Quraish Shihab dalam Al-Qur’an dan Maknanya (2010) mengartikan kata itu dengan ‘wali-wali (teman dekat dan penolong)’. Hal berbeda ditemukan pada Tarjamah Tafsiriyyah (2011) karya Muhammad Thalib yang mengartikan ‘pemimpin-pemimpin’. Terjemahan versi ‘teman setia’ juga dapat ditemukan pada Terjemah Kontemporer (2012) karya Aam Amiruddin.

[nextpage title=”Perbedaan Terjemahan Sudah Ada Sejak Lama”]

Perbedaan Terjemahan Sudah Ada Sejak Lama

Rupanya perbedaan terjemahan ini tidak hanya terjadi saat ini. Sebelumnya pun sudah ada perbedaan terjemahan kata ini. Terjemahan ‘pemimpin’ bisa ditemukan pada terjemahan A. Hassan dalam Al-Furqan: Tafsir Qur’an (1956). HB Jassin dalam Alquran Bacaan Mulia (1978) mengartikan ‘teman dan pelindung’. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (1984) mengatikan dengan ‘pemimpin-pemimpin’. Pada Kamus Lengkap Al Qur’an (1993) yang ditulis oleh Edham Syifa’i juga mengartikan ‘para pemimpin’. Ali Audah dalam Qur’an: Terjemahan dan Tafsirnya (1993) karya Abdullah Yusuf Ali mengartikan sebagai ‘pelindung’.  

Singkatnya, sudah sejak lama terjemahan kata awliya ini punya banyak versi dan tidak tunggal. Jadi, menganggap terjemahan ‘teman setia’ sebagai pemahaman yang salah juga tidak bijak, apalagi sampai menganggapnya sebagai terjemahan palsu. Toh nyatanya terjemahan ini ada rujukannya di kitab-kitab tafsir. Karena bagaimanapun, terjemahan Alquran tak pernah bisa dilepaskan dari tafsir. Semua pakar penerjemahan Alquran sepakat bahwa setiap terjemahan Alquran wajib merujuk tafsir.

Satu hal lagi yang perlu ditegaskan di sini bahwa terjemahan Alquran, juga penafsirannya, itu bukan Alquran. Terjemah dan tafsir Alquran produk manusia. Ia dihasilkan dari proses ijtihad yang kadang tak luput dari kecenderungan dan preferensi pemahaman. Ia pun bisa dikoreksi dan bisa diubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika pemikiran keagamaan.

Memperlakukan Alquran dan terjemahan juga penafsiran Alquran haruslah berbeda. Alquran jelas tanpa salah. Ini tentu berbeda dengan produk ijtihad, seperti terjemahan dan penafsiran Alquran. Seberapapun teliti dan hati-hatinya seorang penerjemah atau penafsir Alquran, tetap saja dia punya peluang untuk salah. Namun, sebagai bagian dari upaya ijtihad, kesalahannya pun toh tetap dinilai berpahala sesuai tuntunan agama.

Pada akhirnya, sikap paling bijak dalam menanggapi polemik seperti ini adalah tidak memonopoli kebenaran berdasarkan versi yang diyakini sendiri agar harmoni bisa terjadi. Imam Syafi’i memberi teladan sangat baik dalam hal ini. “Pendapatku saat ini mungkin benar, tapi pasti juga ada celah salahnya. Pendapat orang lain saat ini menurutku salah, tapi pasti juga ada peluang benarnya,” katanya.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *