Menu Tutup

Para Kiai! Ini 5 Konflik dan Masalah yang Menyebabkan Pesantren Gulung Tikar

DatDut.Com – Pesantren memang berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Pengelolaan sebuah pesantren rata-rata terpusat pada figur seorang kiai. Berbeda dengan lembaga pendidikan yang bisa gonta-ganti pimpinan bahkan pengelola. Pengelolaan pesantren biasa dilakukan turun-temurun. Sehingga menurut Zamakhsyari Dhofier, pola kepemimpinan pesantren ia disebut dengan “raja-raja kecil” (the little kings).

Pewarisan “ladang amal” berupa pesantren yang juga sebagai medan dakwah ini memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Secara ikatan batin murid dan guru, pewarisan pesantren dari kiai kepada putra-putri sebagai penerusnya membuat si murid atau santri tetap merasa ada ikatan tersendiri dengan keluarga gurunya. Sebagaimana dalam tradisi santri bahwa menghormati putra guru adalah bagian dari menghormati guru dan ilmu. Dari sisi kelemahan, pewarisan ini kadang menimbulkan masalah tersendiri.

Selain hal di atas, ada beberapa faktor lain yang melatarbelakangi redupnya sebuah lembaga pesantren. Bahkan banyak kasus di antaranya yang berakibat pada bubarnya suatu pesantren. Berikut 5 ulasannya.

[nextpage title=”1. Konflik Keluarga”]

1. Konflik Keluarga

Konflik keluarga yang dimaksud adalah masalah keretakan dalam keluarga kiai sendiri. Dalam beberapa kasus, ada pesantren yang didirikan oleh dua atau lebih orang alim. Pada awalnya mereka bisa berbagi peran dan saling mendukung satu sama lain. Tidak ada perebutan pengaruh atau perebutan status sebagai “pengasuh”.

Pada perjalanannya salah satu kiai tersebut mungkin merasa kurang dihargai, sedangkan ia merasa banyak berperan dalam pengambangan pesantren. Mulailah konflik-konflik berakumulasi. Ujung-ujungnya pecahlah pesantren tersebut. Salah satunya mengalah dengan mendirikan pesantren lagi. Dalam kasus seperti ini, biasanya salah satu dari kedua pesantren akan mengalamai masa surut karena santri pasti akan terpecah atau justru seluruhnya ikut salah satu kiai.

Konflik seperti ini juga sering muncul di masa kepemimpinan putra-putra si kiai. Orangtua rukun damai, namun di era anak, konflik baru terjadi.

[nextpage title=”2. Tidak Memiliki Generasi yang Mumpuni”]

2. Tidak Memiliki Generasi yang Mumpuni

Kiai merupakan sosok kharismatik yang menjadi pusat kehidupan pesantren. Pola kepemimpinan dan kepengasuhan pesantren yang terpusat pada sosok kharismatik sang kiai juga berpotensi redupnya pamor pesantren ketika pengasuh pertama wafat dan beralih ke generasi selanjutnya.

Peralihan dari kiai pertama ke anak dihiasi ada masa surut yang merupakan ujian kepiawaian untuk si kiai muda. Apalagi jika jelas-jelas sang kiai sepuh pendiri pesantren justru tidak memiliki pengganti yang telah disiapkan dengan matang. Kegoncangan akan terjadi di pesantren.

Pada pesantren yang kiainya hanya memiliki anak perempuan, peralihan kepemimpinan dari keluarga asli ke menantu, kadang juga menimbulkan konflik di kemudian hari.

Para kiai kini banyak yang menyadari bahwa mempersiapkan sang anak sebagai calon pengganti akan menekankan betul agar putranya belajar sungguh-sungguh. Mereka berpendapat, memang ada kiai khas yang punya kelebihan sehingga putranya alim tanpa belajar. Ilmu laduni istilahnya. Namun itu bukan kepastian. Sehingga meski seorang gus, kalau ingin alim harus belajar.

[nextpage title=”3. Konflik Lahan Wakaf”]

3. Konflik Lahan Wakaf

Banyak sudah kasus pesantren yang “gulung tikar” karena tanah yang ditempatinya diminta kembali oleh ahli waris dari orang yang dulu mewakafkannya. Entah apa motif di balik modus seperti ini. Pendiri pesantren yang memang orang ikhlas ingin berdakwah, saat ditawari tanah sebagai wakaf agar dijadikan lokasi pesantren tentu senang sekali. Ia tak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan buruk di kemudian hari. Tidak disangka, ahli waris pewakaf ternyata mengincar warisan.

Menyiasati hal-hal seperti ini, kini para kiai pun tak mau diakali. Begitu ada orang ingin beramal dengan mewakafkan tanahnya, tidak serta merta kiai menerima. Tetapi tanah itu tetap diakadi jual-beli dengan harga di bawah pasaran. Sehingga secara tertulis, tanah itu sudah sah dibeli. Para kiai tidak mau menerima limpahan wakaf yang ternyata disinyalir berpotensi konflik di kemudian hari. Ciri-cirinya, ya si pemilik tanah tidak mau mengikuti cara yang diajukan kiai.

[nextpage title=”4. Konflik dengan Masyarakat”]

4. Konflik dengan Masyarakat

Selain masalah lahan, kadang masyarakat sekitar pesantren juga berpotensi menimbukan masalah. Entah karena pihak pesantren yang kurang bersosialisai dan memberi efek peluang ekonomi untuk warga sekitar, atau karena memang ada provokator tertentu. Semuanya bisa menjadi awal mula konflik.

Ketika pesantren kian besar, otomatis membutuhkan lahan lebih luas. Akhirnya harus melakukan pembebasan lahan dengan mebeli lahan warga sekitar. Di antara banyak orang ada saja yang merasa terancam dengan keadaan ini. Lalu mulailah benih-benih konflik tertanam.

Menyikapi hal seperti ini, pengelola pesantren memang harus meneladani sikap dan cara ulama dulu yang mengayomi masyarakat sekitar. Bukan hanya mengasuh santri yang notabene orang jauh, namun masyarakat sekitar yang jelas-jelas tetangga pun harus terciprati berkah keilmuan dan perekonomian dengan adanya pesantren dan kiai.

[nextpage title=”5. Kasus Kriminal”]

5. Kasus Kriminal

Kiai juga manusia. Selalu dalam incaran godaan Iblis. Masih ingat bagaimana kisah Barseso? Seorang ahli ibadah dan memiliki santri banyak yang akhirnya mati dalam keadaan suul khatimah.

Fenomena kiai Barseso zaman modern rupanya juga ada. Tidak banyak. Tapi ada. Ingat itu. Jangan lantas mengatakan, “Ternyata pesantren juga sarang kriminal dan pencabulan.” Kasus yang melibatkan oknum kiai atau ustaz pengasuh pesantren dalam kasus semisal pencabulan, biasanya akan bedampak sangat besar terhadap kelangsungan pesantrennya. Siapa yang tak kecewa kalau ternyata orang yang menjadi panutan dan pembimbing ilmu agama ternyata justru berlaku nista?

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *