Menu Tutup

Ini Pelajaran Hidup dari 5 Kisah Unik dalam Kitab Ushfuriyah

DatDut.Com – Sebagai kumpulan hadis nasihat, Ushfuriyah selalu menyajikan kisah dan hikayat dalam setiap hadisnya, baik kisah Israiliyyat maupun para sahabat juga para tabiin dan kaum sufi. Sebagian kisah itu sudah masyhur dan kita dengar karena memang sering dikutip dalam kitab-kitab lain.

Hadis-hadis nasihat Ushfuriyyah juga tak luput dari kritik. Ada yang mengatakan bahwa hadis-hadis dalam kitab ini banyak yang palsu. Kritikan keras tersebut ditulis oleh Syekh Muhammad al-Basyir Dzafir al-Azhari dalam Tahdzir al-Muslimin min al-Ahadis al-Maudhu’ah Ala Sayyid al-Mursalin. Kitab ini juga mengkritisi banyak kitab-kitab kuning yang dikaji pesantren salaf. Tampaknya kitab satu ini perlu kita bedah pada lain kesempatan.

Kembali pada al-Ushfuriyyah, Kalau pada ulasan yag lalu telah dicuplik satu kisah unik tentang penipu yang mengakali kesaksian kepada Tuhan (Baca: Ini 5 Fakta Menarik Kitab Ushfuriyah yang Mungkin Tidak Disadari Santri). Dalam seri pertama ini, saya ingin menyampaikan kisah seorang penjahat yang justru disayang Tuhan. Berikut uraiannya:

[nextpage title=”1. Penjahat yang Disayang Tuhan”]

1. Penjahat yang Disayang Tuhan

Seorang jahat yang berharap rahmat Allah itu lebih dekat kepada rahmat-Nya ketimbang ahli ibadah yang memutus harapan rahmat Allah.” Hadis ini juga diriwayatkan oleh as-Suyuthi dalam Jam’ al-Jawami’, al-Hakim, dan ad-Dailamy. Al-Manawi mengomentari bahwa hadis tersebut daif.

Hadis tersebut menyinggung sebagian tingkah ahli ibadah yang terkadang merasa paling berhak masuk surga lalu merendahkan para pelaku maksiat dan menganggap mereka tak berhak menerima rahmat Tuhan. Sikap inilah yang berakibat fatal terhadap diri mereka, karena Allah maha luas rahmat-Nya.

Terkait orang durhaka yang masih berharap rahmat Allah Swt. Syekh Abu Bakar al-Ushfuri menyuguhkan satu kisah. Tersebut pada zaman Nabi Musa As. ada seorang lelaki jahat meninggal dunia. Warga desanya enggan untuk mengurusi jenazah apalagi untuk memandikan dan menguburkan jasad orang itu dengan layak. Jasad si penjahat itu akhirnya diseret dan dilempar ke tempat pembuangan sampah.

Nabi Musa a.s. tiba-tiba mendapat wahyu, “Wahai Musa, ada orang meninggal di satu kampung lalu dibuang ke tempat sampah. Penduduk kampung itu tak sudi memandikan, mengkafani dan mensalatinya. Padahal dia adalah salah satu kekasihku. Maka pergilah engkau dan uruslah mayat orang itu.”

Nabi musa a.s. segera menuju kampung yang dimaksudkan lalu menanyakan kepada masyarakat tentang mayat penjahat tersebut. “Ada orang mati. Dia itu jahat dan mempertontonkan kefasikannya,” jawab sebagian penduduk. “Di mana mayatnya sekarang? Sungguh aku mendapat wahyu agar mengurus jenazahnya. Beritahu saya di mana tempat orang itu.”

Maka penduduk desa mengantarkan Nabi Musa ke tempat pembuangan mayat si fasik. Mereka juga menceritakan segala kejahatan dan keburukan orang tersebut sehingga penduduk enggan mengurusi jenazahnya. Mendengar itu, Nabi Musa keheranan lalu berdoa, “Ya Allah, Engkau perintahkan aku untuk mengurusi jenazah orang ini, sedangkan semua warga desanya bersaksi atas keburukannya. Sungguh Engkaulah Yang Mahatahu dengan pujian dan celaan.”

Nabi Musa mendapat jawaban melalui wahyu, “Wahai Musa, benar apa yang dikatakan semua warga tentang keburukannya. Namun ia telah berdoa kepadaku dengan tiga hal. Seandainya semua pendosa memohon kepadaku dengan tiga hal tersebut, niscaya aku ampuni mereka. Bagaimana tidak aku ampuni, sedangkan mereka telah meminta dirinya dariku.”

“Apakah tiga hal itu?” tanya Nabi Musa.

Allah Swt. lalu mewahyukan ketiga perkara yang dimohonkan si penjahat. Pertama, saat ia mendekati kematian, orang itu berdoa, “Tuhan, Engkau tahu bahwa aku sering bermaksiat namun sesungguhnya aku benci kemaksiatan itu. Ada tiga hal yang menyebabkan aku berbuat jahat, padahal hatiku membencinya. Yaitu hawa nafsu, teman yang jahat dan iblis terlaknat. Karena tiga hal itulah, aku berbuat maksiat. Engkau Mahatahu apa yang aku ucapkan, maka ampuniah aku.

Kedua, ia berkata, “Ya Tuhan, Engkau Mahatahu bahwa aku suka berbuat jahat, dan derajatku bersama orang-orang fasik. Namun, aku mencintai orang-orang saleh, suka bergaul dengan mereka. Menempati derajat bersama mereka lebih hamba senangi daripada bersama para orang fasik.

Ketiga, orang itu bermunajat, “Tuhanku, engkau tahu bahwa hamba lebih suka kepada orang-orang saleh daripada orang-orang jahat atau maksiat. Bahkan, andai aku bertemu dua orang, yang seorang saleh dan yang lain jahat, niscaya aku  akan lebih dulu membantu keperluan orang saleh.”

Dalam riwayat Wahab bin Munabih disebutkan, orang itu juga berkata, “Tuhan, jika engkau ampuni dan maafkan dosa-dosaku, maka para kekasih dan para nabi-Mu akan bahagia. Setan yang jadi musuhku dan musuh-Mu akan bersedih. Dan, jika Engkau siksa aku karena dosa-dosaku, niscaya setan dan balatentaranya akan gembira sedang para nabi dan kekasihmu akan bersedih. Sungguh aku tahu bahwa kebahagiaan para nabi dan wali lebih Engkau sukai daripada kebahagiaan para setan. Maka ampunilah aku. Ya Allah, Engkau Mahatahu apa yang aku ucapkan adalah benar, maka ampunilah aku.”

Kemudian Allah menyampaikan bahwa Dia telah mengampuni orang tersebut karena doa dan pengakuannya.  “Aku Mahakasih dan Mahasayang, apalagi terhadap orang yang sungguh-sungguh mengakui kesalahannya. Orang ini telah mengakui kesalahannya dihadapan-Ku, maka aku ampuni dan maafkan dia. Musa, laksanakanlah perintahku. Sungguh aku mengampuni orang yang ikut mensalati dan hadir pemakaman orang itu karena kemuliaannya.”

Kisah ini mengingatkan agar kita tidak sombong atas amal baik dan pahala yang terbayang dari amal kita, lalu merendahkan orang yang masih belepotan maksiyat. Karena akhir hayat seseorang penuh misteri dan kita tidak tahu akan mati sebagai mukmin atau kafirkah diri kita esok. Menentang kemaksiyatan itu wajib dan perlu, namun merendahkan pelaku maksiyat seraya menganggap diri lebih mulia dalam pandangan Tuhan, itulah yang akan menjerumuskan diri sendiri.

[nextpage title=”2. Karena Muliakan Orang Tua, Ini yang Terjadi pada Sahabat Ali”]

2. Karena Muliakan Orang Tua, Ini yang Terjadi pada Sahabat Ali

Orang yang tua dan beruban ternyata memiliki keistimewaan tersendiri dalam pandangan Islam. Selain status tua yang disandang, orang yang telah beruban harus dimuliakan. Mestinya uban normal yang tumbuh pada usia kakek-kakek. Soalnya zaman sekarang banyak kasus orang masih muda pun telah beruban.

Terkait uban, Rasulullah bersabda, “Sesunguhnya termasuk bagian dari pengagungan kepada Allah Swt. ialah menghormati orang Muslim yang sudah beruban (orang tua),” (HR Abu Dawud). Hadis lain mengatakan, “Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang Muslim yang memiliki sehelai uban, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti,” (HR Abu Daud). Jadi, tak perlu malu dengan uban yang mulai menghiasi kepala Anda. Tak usah dicabut atau disemir hitam. Itu adalah karunia dan kemuliaan tersendiri dari Allah.

Dalam kitab Ushfuriyyah, diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah memandang wajah orang yang tua tiap pagi dan sore hari seraya berkata, ‘Hai hambaku, umurmu telah tua, kulitmu telah keriput, ajalmu kian dekat, dan telah datang masamu untuk menghadap padaku. Malulah engkua terhadapku, karena aku tak suka menyiksamu karena kemuliaan ubanmu.

Seandainya hadis yang dicantumkan dalam Ushfuriyyah tadi adalah daif atau bahkan palsu, tetapi substansi yang terkandung telah ada dalam hadis sebelumnya. Sehingga, kisah berikut ini masih layak kita renungkan:

Satu pagi, Sayidina Ali karramallahu wajhah bergegas hendak mengikuti jamaah subuh di masjid. Di tengah perjalanan ia mendapati seorang kakek yang berjalan tenang di depannya. Ali tidak ingin mendahului orang tua itu karena menghormatinya. Tanpa peduli, si kakek tetap berjalan santai. Waktu subuh hampir habis dan matahari sebentar lagi muncul.

Saat si kakek dan Ali telah kian dekat dengan pintu masjid, ternyata si kakek malah terus berjalan dan tidak salat Subuh di masjid. Dari situ tahulah sahabat Ali kalau si kakek ternyata adalah seorang Nasrani. Ali r.a. bergegas masuk masjid dan mendapati Rasulullah Saw. sedang dalam rukuk yang sangat lama, hingga Ali berhasil menyusul jamaah. Ketika jamaah Subuh telah usai, Ali bin Abu Thalib bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa kali ini Anda panjangkan ruku tidak seperti biasanya?”

Rasulullah menjawab, “Ketika aku ruku dan membaca subhana rabby al-adhimi seperti biasa, lalu aku hendak bangkit mengangkat kepalaku, tiba-tiba Jibril a.s. datang dan dia menahan punggungku dengan sayapnya lama sekali. Setelah dia mengangkat sayapnya dari punggungku, barulah aku bisa bangkit dan meneruskan salat.”

“Kenapa itu bisa terjadi?” tanya para sahabat.

“Aku tidak menanyakan hal itu, tadi.” Kemudian datanglah Jibril dan menyampaikan, “Hai Muhammad. Sungguh Ali tadi bergegas untuk jamaah subuh. Di perjalanan ia bertemu seorang Nasrani tua namun Ali tidak tahu bahwa orang tua itu Nasrani. Ia lalu memuliakan orang tua itu karena ubannya. Ali tidak mendahului si orang tua. Maka Allah perintahkan diriku agar menahan punggungmu supaya Ali bisa berjamaah bersamamu. Ini tidak seberapa mengagumkan. Yang lebih hebat lagi adalah Allah Swt. memerintahkan malaikat Mikail untuk menahan matahari agar tidak segera terbit supaya Ali mendapat waktu salat bersamamu. Kemuliaan ini adalah karena menghormati orang yang lebih tua, meskipun ia adalah seorang Nasrani.”

[nextpage title=”3. Ini yang Dirasakan Sahabat Ali setelah Bersedekah”]

3. Ini yang Dirasakan Sahabat Ali setelah Bersedekah

Kisah berikut ini adalah hadis kesebelas dalam Ushfuriyyah. Mengungkap kisah unik tentang balasan sedekah yang dipercepat di dunia. Sebagai suatu contoh dan iktibar. Juga sebagai motivasi untuk berbuat baik, bersedekah meski keadaan kita sedang dalam kekurangan. Sedekah tidak usah menunggu kaya. Dalam sumber lain, kisah ini diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq, dari Imam Muhammad al-Baqir, dari Ali Zainal Abidin.

Suatu saat, Ali bin Abu Thalib r.a. Pulang dari rumah Rasulullah Saw. Ia dapati Fatimah tengah duduk memintal bulu untuk dijadikan kain, sedangkan Salman al-Farisi berdiri di dekatnya mengurai bulu-bulu agar siap dipintal.

Ali mendekat seraya berkata, “Wahai wanita termulia, adakah engkau punya makanan untuk suamimu ini?”

“Demi Allah,” jawab Fatimah, “Aku tak punya makanan. Tapi ini ada uang enam dirham yang Salman berikan padaku sebagai upah memintal bulu. Aku ingin membeli makanan untuk Hasan dan Husein.”

“Mana uang itu? Berikanlah. Biar aku yang membelikan makanan,” pinta Ali bin Abu Thalib halus. Fatimah lalu memberikan uang itu kepada Ali. Kemudian Ali beranjak keluar hendak membeli makanan.

Di tengah perjalanan tiba-tiba ia bertemu seorang yang berseru-seru meminta bantuan kepada siapapun yang sudi. “Adakah orang yang sudi meminjamkan hartanya kepada Allah Yang Maha Menguasai dan Maha Menepati janji?” Maksudnya, orang ini meminta sedekah dengan menyitir janji Allah Swt. dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 245.

Ali kasihan, lalu mendekati orang itu dan menyerahkan uang 6 dirham yang dibawanya tadi. Ia lalu pulang dengan tangan kosong. Melihat Ali pulang tak membawa apa-apa, Fatimah menangis. “Kenapa engkau menangis, wahai wanita termulia?” tanya Ali. “Duh, putra paman Nabi, aku menangis karena melihatmu pulang dengan tangan kosong. Padahal engkau tadi akan membeli makanan untuk Hasan dan Husein.”

“Istriku, aku telah meminjamkan uangmu itu kepada Allah Swt (dengan menyedekahkannya)”.

“Kalau begitu, engkau telah ditolong ke jalan yang benar,” sambung Fatimah. Ali bin Abu Thalib lalu keluar lagi hendak ke rumah Rasulullah. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang Arab Badui kampung yang menuntun seekor unta. Ali mendekati orang itu.

“Wahai Ayah Hasan,” sambut si badui tadi.

“Belilah unta ini dariku.”

“Aku tak membawa apa-apa,” jawab Ali.

“Aku menjualnya kepadamu, bayarnya di akhir saja,” desak si badui.

“Berapa kau jual untamu itu?” tanya Ali.

“Aku jual dengan 100 dirham.”

“Baiklah, aku beli.” Kata Ali. Ia lalu membawa unta itu pulang. Belum lama ia berjalan, ia bertemu dengan orang Arab lain yang menanyakan unta yang dibawanya.

“Ayah Hasan, apakah kau jual untamu itu?”

“Benar,” jawab Ali.

“Berapa?”

“Aku jual seharga 300 dirham.”

Ternyata orang itu membayar kontan tanpa menawar lagi. Unta pun berpindah tangan. Ali kemudian pulang ke rumah menemui Fatimah dengan senyum gembira. Ketika Fatimah melihat suaminya tampak gembira, ia bertanya, “Ada apa, ayah Hasan?”

“Wahai Putri Rasululah, aku membeli unta seharga 100 dirham dengan pembayaran di akhir, lalu aku jual kontan seharga 300 dirham,” jelas Ali.

“Sungguh engkau diberi pertolongan,” sambut Fatimah.

Ali kembali meneruskan niatnya untuk menemui Rasulullah. Ketika ia baru sampai di pintu masjid, Rasulullah telah menyambutnya dengan senyum. Ketika ia telah mendekat dan bersalam, Rasulullah bertanya, “Hai Ayah Hasan, aku yang bercerita kepadamu atau engkau saja yang cerita?”

“Anda saja yang bercerita, ya Rasulallah.”

“Tahukah kamu siapa orang badui yang menjual unta kepadamu dan yang membeli unta darimu?” tanya nabi.

“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu,” jawab Ali.

“Beruntunglah engkau. Sungguh beruntung engkau, Ali. Kau sedekahkan enam dirham karena Allah, lalu Dia memberimu 300 dirham sebagai ganti. Setiap satu dirham dibalas 50 dirham. Orang pertama, yang menjual untanya, adalah Jibril As. sedangkan yang membeli unta adalah Israfil As.” Dalam riwayat lain orang yang kedua adalah malaikat Mikail.

[nextpage title=”4. Ja’far Ath-Thayyar Menjaga Kehormatan Diri Sejak Masa Jahiliyyah”]

4. Ja’far Ath-Thayyar Menjaga Kehormatan Diri Sejak Masa Jahiliyyah

Kisah mengagumkan yang selanjutnya adalah pelengkap hadis ketiga puluh empat. “Dari Ali bin Abu Thalib r.a., Rasulullah Saw. bersabda, “Empat sifat terpuji, siapa yang empat sifat itu ada pada dirinya, maka sempurnalah Islamnya, meski dari ujung kepala hingga kakinya penuh dengan kesalahan, benar, syukur, malu dan pekerti yang luhur.” Hadis ini juga tercantum dalam Musnad al-Firdaus-nya ad-Dailami.

Diriwayatkan, Ja’far bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim memiliki gelar Dzu Al-Janahain yang berarti pemilik dua sayap serta Ja’far ath-Thayyar yang artinya orang yang dapat terbang. Rasulullah Saw. dikabari oleh Malaikat Jibril bahwa nantinya, saat Ja’far syahid, Allah telah menyediakan dua sayap hijau untuknya. Sayap itu terbungkus dengan intan dan yaqut. Dia terbang dengan kedua sayapnya bersama para malaikat.

Mendengar kabar itu, suatu ketika Rasulullah bertanya kepada Ja’far, “Wahai Putra Abu Thalib, dengan amalan apa kau memperoleh derajat mulia ini?”

“Saya tidak tahu,” jawab Ja’far. “Hanya saja, saya menahan diri dari tiga perkara baik saat saya masih kafir dan ketika telah Islam.”

“Apa saja tiga perkara itu?”

“Saya tidak pernah berdusta, berzina dan mabuk, ketika masih kafir maupun setelah Islam,” terang Ja’far.

Rasulullah melanjutkan, “Ketiga perkara itu memang diharamkan dalam Islam. Lalu, apa perlunya engkau menahan diri dari ketiga perkara itu saat masih kafir?”

“Tentang perkataan, menurut saya orang yang suka berdusta akan selalu dicurigai orang lain. Dan ketika kebohongannya terbongkar, tentu akan malu sekali. Karena itulah saya tidak mau berbohong,” terang Ja’far.

“Tentang zina. Saya berpikir bahwa saya tak akan mampu menanggung malu dan merasa terhina jika ada orang yang berzina dengan istriku, anakku, atau saudariku. Begitu juga orang lain tak mau menanggung malu karenanya. Sehingga aku menahan diri dari zina,” lanjut Ja’far.

“Tentang mabuk-mabukan, saya pikir setiap orang ingin agar akalnya berkembang dan mengalahkan pemikiran orang lain. Orang yang minum minuman keras akan hilang akalnya dan sibuk berkata-kata tanpa guna. Orang lain banyak yang mentertawakannya. Karena itulah saya menahan diri dari mabuk-mabukan,” pungkas Ja’far.

Lalu datanglah malaikat Jibril seraya berkata, “Benar apa yang dikatakan Ja’far. Allah jadikan untuknya dua sayap karena ia telah menghindari ketiga perkara itu.”

[nextpage title=”5. Akhir Hayat Sang Penjahat Mendapatkan Rahmat Allah”]

5. Akhir Hayat Sang Penjahat Mendapatkan Rahmat Allah

Kisah selanjutnya adalah pelengkap hadis kelima belas. Hadis tersebut diriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahili, Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila seorang hamba yang beriman menderita sakit, maka Allah memerintahkan kepada para malaikat agar menulis perbuatan yang terbaik yang dikerjakan hamba mukmin itu pada saat sehat dan pada saat waktu senangnya.”

Dalam hadis lain diriwayatkan bahwa ketika seorang hamba mukmin sakit, maka Allah mengutus 4 malaikat kepadanya. Allah memerintahkan malaikat pertama untuk mengambil kekuatannya sehingga menjadi lemah. Malaikat kedua diperintah untuk mengambil rasa lezatnya makanan dari mulutnya. Malaikat ketiga dititahkan untuk mengambil cahaya terang di wajahnya sehingga berubahlah wajah si sakit menjadi pucat pasi. Malaikat keempat untuk mengambil semua dosanya, maka berubahlah si sakit menjadi suci dari dosa.

Tatkala Allah akan menyembuhkan hamba mukmin itu, Allah memerintahkan kepada malaikat 1, 2, dan 3 untuk mengembalikan kekuatannya, rasa lezat, dan cahaya di wajah sang hamba. Namun untuk malaikat ke 4 , Allah tidak memerintahkan untuk mengembalikan dosa-dosanya kepada hamba mukmin. Maka bersujudlah para malaikat itu kepada Allah seraya berkata, “Ya Allah mengapa dosa-dosa ini tidak Engkau kembalikan?”

Allah menjawab, “Tidak baik bagi kemuliaan-Ku jika Aku mengembalikan dosa-dosanya setelah Aku menyulitkan keadaan dirinya ketika sakit. Pergilah dan buanglah dosa-dosa tersebut ke dalam laut.”

Selaras dengan hadis tersebut, dalam Bukhari-Muslim diriwayatkan, “Tiada seorang mukmin yang ditimpa lelah, pe­nyakit, risau pikiran, ataupun sedih hati, bahkan jika terkena duri sekalipun, melainkan semua penderitaan itu akan di­jadikan penebus dosanya oleh Allah.

Alkisah di kalangan bani Israel, tersebutlah seorang yang masih muda namun fasik dan jahat. Sebenarnya ia pun telah berkeluarga. Semua penduduk desa sudah tak mampu lagi menghentikan kejahatannya. Satu-satunya cara adalah memohon kepada Allah Swt. Mereka akhirnya berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh.

Allah mewahyukan kepada Nabi Musa a.s., “Di kalangan Bani Israel ada seorang fasik dan jahat. Usirlah ia dari kampungnya agar seisi kampung tidak tertimpa api azab.”

Nabi Musa a.s. lalu mendatangi desa itu dan mengusir penjahat itu agar keluar dari sana. Si fasik jahat itu lalu pergi ke desa lain. Namun, Musa kembali mendapat perintah agar mengusirnya dari desa itu. Orang fasik itu diusir kedua kalinya. Dia pun terpaksa pergi lagi dan pindah ke desa lain. Sayang, kembali ia diusir untuk ketiga kalinya oleh Nabi Musa a.s. atas perintah Allah.

Akhirnya si fasik pergi ke hutan terasing. Sunyi senyap dan tak dijumpainya seorang pun disana. Tak ada suara burung maupun kelebatan binatang liar. Benar-benar sunyi dan sepi. Dalam pengasingannya ia jatuh sakit. Tak ada seorang pun yang menolongnya. Si Fasik itu tersungkur ke tanah tak berdaya. Dalam sakitnya ia meratap sedih.

“Tuhanku, andaikan ibuku ada di sisi kepalaku, ia pasti akan menangis dan mengasihi kehinaanku ini. Seandainya ayahku ada di sini, pasti ia akan menolongku, memandikanku, memakaikanku kafan saat aku mati. Andakan istriku ada di sisiku, niscaya ia menangisi perpisahan denganku, dan andaikan anak-anakku di sisiku, niscaya mereka menangis di belakang jenazahku seraya berdoa: ‘Ya Allah, ampunilah ayah kami yang terasingkan dan lemah, jahat dan fasik, yang terusir dari satu desa ke desa yang lain. Hingga ia terasingkan ke hutan. Ia keluar dari dunia menuju akhirat dengan terputuskan dari segala harapan selain rahmat dari Allah.’”

“Tuhanku, jikalau Engkau putuskan aku dari orang tua, istri dan anak-anakku, jangan kau putuskan aku dari rahmat-Mu. Engkau bakar hatiku dengan perpisahan, maka jangan Engkau bakar diriku dengan api neraka-Mu karena segala kedurhakaanku.”

Akhirnya Allah mengutus bidadari dalam rupa ibu dan istri si fasik. Anak-anak surga diutus dalam wujud anak-anaknya. Seorang malaikat diutus dalam wujud ayahnya. Mereka mengerubungi si fasik seraya menangis seakan mereka adalah keluarganya. Melihat itu, hati si fasik menjadi tenang.

Si fasik kembali berdoa, “Ya Allah, jangan kau putus aku dari rahmat-Mu. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” Orang fasik itu akhirnya meninggal dalam pengampunan.

Allah Swt. lalu mewahyukan kepada Nabi Musa a.s. agar menuju hutan tersebut untuk mengurus jenazah salah satu wali dari para wali-Nya. Ketika sampai di hutan dan melihat siapa yang harus ia urus jenazahnya, heranlah Nabi Musa a.s. melihat siapa yang meninggal, dan orang-orang yang menangis di sekelilingnya. Ia tahu bahwa mereka adalah bidadari dan malaikat. Ia juga masih ingat bahwa orang itulah yang dulu sampai tiga kali diusir karena kejahatannya.

“Ya Tuhan, bukankah ini orang yang aku usir dari desa atas perintah-Mu?” tanya Nabi Musa.

“Benar,” jawab Allah melalui wahyu-Nya, “tetapi aku ampuni dia karena rintihannya saat sakit, dan sebab perpisahan dari desa dan keluarganya. Aku utus bidadari, anak-anak surga dan malaikat sebagai istri, ibu, ayah dan anak-anaknya. Mereka menangis karena kasihan kepadanya. Kalau penduduk langit dan bumi menangisi kematian orang terasing itu, tidakkah aku juga mengasihinya. Padahal aku Sang Mahakasih.”

Baca Juga: