Menu Tutup

Inilah 5 Fakta Tersembunyi di Balik Kitab Ta’limul Muta’alim

DatDut.Com – Kitab Ta’limul Muta’alim yang merupakan panduan metode dan tip belajar santri, ternyata mengandung sisi-sisi yang terlupakan. Sebagai kitab populer di kalangan santri, kitab ini menjadi panduan utama di samping kitab-kitab adab dan akhlak yang lain. Sampai-sampai, jika ada santri yang berperilaku kurang santun, santri lain akan berkomentar, “Ah, dasar belum ngaji Ta’lim.”

Di Indonesia, kitab Ta’lim beredar dalam versi cetak bersamaan dengan syarahnya yang ditulis oleh Syekh Ibrahim bin Ismail. Terjemahan kitab ini juga sudah banyak beredar. Versi terjemah dengan model makna gandul dan terjemah di pinggir halaman ditulis oleh K.H. Bisri Musthofa.

Sebagaimana dijelaskan oleh Mahmud Yunus dalam Sejarah Pendidikan Islam, selain disyarah oleh Syekh Ibrahim bin Ismail, dengan Syarh Ta’limul Muta’allim Thariqut Ta’allum, kitab Ta’lim juga disyarah oleh Syekh Yahya bin Ali bin Nashuh (1007 H./ 1598 M.) dari Turki dan Imam Abdul Wahab al-Sya’rani, dan al-Qadli Zakaria al-Anshari. Namun, tampaknya yang paling tenar adalah karya Syekh Ibrahim bin Ismail tersebut.

Ternyata ada beberapa hal yang masih perlu kita perjelas tentang kitab ini. Apa sajakah itu? Berikut ini 5 fakta tersembunyi terkait Ta’limul Muta’alim.

1. Minimnya Informasi dalam Biografi Pengarang

Dalam matan maupun syarahnya, biografi pengarang dan penyarah sangat sedikit disinggung. Hal ini menyulitkan pembaca untuk lebih mengenal sang penulis kitab. Terlebih, karya Syekh Az-Zarnuji yang tersebar dan sampai ke tangan santri tampaknya hanya kitab Ta’lim saja.

Sosok Syekh az-Zarnuji terkuak dari kitab al-A’lam karya Zirikli dan al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam karya Louis Ma’luf. Disebutkan bahwa beliau adalah Nu’man bin Ibrahim bin Khalil al-Jarnuji, Taj al-Din, wafat 630 H./1242 M. Namun, versi lain dalam Qamus al-Islami menyebutkan bahwa beliau wafat pada 645 H. Beliau merupakan sastrawan dari Bukhara.

Az-Zarnuji hidup pada akhir periode Daulah Abbasiyah, sebab Khalifah Abbasiyah terakhir (al-Mu’tashim) wafat pada tahun 1258 M. Melihat syair-syair bahasa Persia yang dikutip dalam kitabnya dan peristiwa-peristiwa yang dinukil, sebagian menarik kesimpulan bahwa az-Zarnuji kemungkinan tinggal di kawasan Irak-Iran.

Lebih spesifik, Qamus Islam mengatakan bahwa az-Zarnuji tinggal di Zarnuq atau Zarnuj, sebagaimana nisbat yang ada pada namanya. Zarnuj adalah nama negeri yang masyhur, terletak di kawasan sungai Tigris (ma wara’a al-nahr), Turkistan Timur.

2. Para Guru dan Mazhab az-Zarnuji

Guru-guru yang namanya disebutkan oleh az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim, menunjukkan bahwa beliau bermazhab Hanafi. Guru-guru Syekh az-Zarnuji antara lain: Ali bin Abi Bakar bin Abdul Jalil al-Farghoni al-Marghirani ar-Rusytani (w. 593 H./ 1197 M.), Ruknul Islam Muhammad bin Abi Bakar, seorang ahli fikih, sastra dan syair, wafat tahun 573 H./1177 M.; Hamad bin Ibrahim, ahli fikih, sastra dan ilmu kalam, wafat tahun 576 H./ 1180 M.; Fakhruddin al-Kasyani, wafat 587 H./ 1191 M.; Fakhruddin Hasan bin Mansur yang dikenal dengan Qadi Khan, wafat Ramadhan 592 H.; Ruknuddin al-Farghani, ahli fiqih, sastra dan syair, wafat tahun 594 H./ 1098 M.; dan al-Imam Sadiduddin asy-Syirazi.

Dari beberapa guru yang berbeda fokus keilmuannya, tampaklah bahwa Syekh az-Zarnuji bukan hanya ahli pendidikan, tapi juga seorang ahli fikih, sastra, dan lainnya

3. Biografi Syekh Ibrahim, Penulis Syarah Ta’lim

Sama halnya dengan profil Syekh Nu’man bin Ibrahim az-Zarnuji sebagai penulis matan Ta’limul Muta’alim, profil Syekh Ibrahim bin Ismail pun sangat sedikit disinggung. Menilik dari ungkapan di bagian awal kitab, bisa disimpulkan bahwa Syekh Ibrahim bin Ismail hidup pada masa kerajaan Ottoman atau Turki Utsmani.

Karyanya itu dipersembahkan kepada Sultan Murad Khan bin Salim Khan yang memimpin antara tahun 908-1003 H./ 1574-1595 M. Ayung Notonegoro dalam artikelnya di Rumah Baca Mawar merilis bahwa syarah Ta’lim al-Muta’alim ditulis oleh Syekh Ibrahim bin Ismail pada tahun 996 H.

4. Menekankan Etika sebagai Metode

Meskipun Syekh az-Zarnuji mengatakan bahwa Ta’lim adalah kitab atau buku yang menjelaskan metode belajar, namun kandungan kitab ini lebih menonjolkan etika murid kepada guru. Terbukti di antara 13 fasal yang dimuat dalam kitab tersebut, yang bisa dikatakan sebagai metode adalah bagian al-Jiddu wal Muwadhabah (kesungguhan dan ketetapan hati), Ikhtiyar al-Ilm (Memlilih ilmu), Bidayah as-Sabq (Permulaan belajar), Istifadah (mencari faidah), dan bagian penyebab hafal atau lupa. Itupun di dalamnya tak lepas dari bimbingan etika yang dianjurkan kepada murid.

Dengan menilik muatan tersebut, besar kemungkinan bahwa Syekh az-Zarnuji berpendapat bahwa etika adalah bagian dari metode belajar. Sehingga yang diharapakan adalah para santri atau murid yang lebih mengedepankan etika ketimbang keilmuan. Sebagaimana disinggungnya dalam mukadimah bahwa di zaman beliau banyak pelajar yang tak mencapai tujuan karena salah metode. Ada pula yang berhasil memperoleh ilmu namun tak menggapai manfaatnya.

Bagian paling penting dalam kitab Ta’lim adalah tentang menghormati ilmu dan ahlinya. Dalam hal ini, guru, kiai dan keluarganya menjadi sosok utama yang harus dihormati oleh santri. Sisi keberkahan merupakan hal utama yang ditekankan dalam tradisi pendidikan pesantren.

5. Penyeimbang Ajaran Ta’lim

Penekanan sisi etika dalam metode belajar ternyata mempengaruhi pencapaian keilmuan santri. Kepasrahan total yang digambarkan oleh Ta’lim sedikit banyak mempengaruhi sisi kritis santri dalam menggali pengetahuan.

Ada sebagian santri yang tidak berani bertanya karena takut menyinggung guru. Ada pula santri yang kemampuan dan kecerdasannya seolah terpenjara dalam bingkai kitab ini. Walaupun sebenarnya ada bagian dalam kitab ini yang menekankan pentinganya musyawarah hingga diskusi dan debat, tetapi tampaknya bagian ini kurang terangkat karena tenggelam di antara nilai-nilai etika yang disampaikan oleh Syekh az-Zarnuji.

Keseimbangan sangat diperlukan dalam segala hal, termasuk pengamalan etika dalam kitab Ta’lim. Sehingga jangan sampai orang beretika luhur namun kosong keilmuannya, atau sebaliknya ilmunya luas namun minus etika.

Hal inilah yang akhirnya disiasati dengan membuat pengajian sistem diskusi atau musywarah. Hasil nyata dari penyemibangan ini adalah sistem Bahsul Masail. Dalam bahtsul masail (Baca: 5 Keunggulan Bahtsul Masail (Musyawarah) ala Santri), baik para kiai mapun santri dituntut untuk menghilangkan “dinding” antara kedua pihak untuk sementara waktu demi menggali pemahaman bersama. Maka jangan heran kalau dalam forum diskusi antar santri maupun santri-kiai, terkadang terlihat kurang sopan. Tapi begitu usai kegiatan tersebut, kembalilah mereka ke posisi masing-masing sebagaimana hubungan santri-kiai.

Pada akhirnya, ajaran etika dalam Ta’limul Muta’alim harus diposisikan sebagai pengendali etika santri, bukan sebagai penjara potensi dan kecerdasan santri. Sehingga harapan penyusun kitab Ta’lim, yaitu santri yang mendapat ilmu, manfaat, dan menebarkan ilmunya, dengan landasan etika yang diajarkan ulama salaf, bisa terwujud.

nasrudin maimunNasrudin | Kontributor tetap DatDut.Com

FB: Nasrudin El-Maimun