Menu Tutup

Dianggap Kualitasnya Mendekati Alquran, Inilah 5 Kitab Syarah Ihya’ Ulumiddin Terpopuler

DatDut.Com – Keagungan dan ketenanaran kitab Ihya’ Ulumiddin sudah tak diragukan lagi. Pengakuan dan sanjugan akan kehebatan dan keberkahan kitab ini sudah dilontarkan para ulama sejak dahulu kala.

Salah satu sanjungan paling tenar adalah sebuah ungkapan yang dinisbatkan kepada Abu Zakariya Muhyiddîn An-Nawawi (Imam Nawawi) oleh Syekh Abdul Qadir al-‘Idrus dalam Ta’rif al-Ahya’, yang mengatakan, “Hampir saja Ihya’ itu menyamai Alqur’an.”

Maksudnya, karena banyaknya orang yang membaca kitab ini dan masa itu, dan begitu lengkapnya tuntutan yang termuat didalamnya sehingga nyaris seperti Alquran saja.

Sebagai kitab fenomenal, kitab Ihya’ Ulumiddin memiliki beberapa kitab pelengkap. Ada yang menjelaskan keutamaannya, ada yang mengurai kalimat dan kata-kata rumitnya, ada pula yang meneliti dan meluruskan hadis di dalamnya. Berikut ini 5 kitab pelengkap terpopuler untuk Ihya’ Ulumiddin:

[nextpage title=”1. Ta’rif al-Ahya’ bi Fadha’il al-Ihya’”]

1. Ta’rif al-Ahya’ bi Fadha’il al-Ihya’

Kitab ini adalah karya Syekh Abdul Qadir bin Syekh bin Abdullah Al-Idrus (w. 1038 H). Menempati posisi paling awal di halaman pinggir kitab Ihya’ versi cetakan Indonesia. Dalam kitab ini diungkapkan berbagai sanjungan dan pengakuan para ulama terhadap keutamaan Ihya’ Ulumiddin. Tidak tebal. Hanya beberapa puluh halaman pinggiran saja.

Salah satu kisah yang disampaikan adalah tentang taubatnya Abu al-Hasan Ali bin Harzahim al-Faqih yang sangat anti terhadap Ihya’. Dikisahkan oleh Syekh Abdullah bin As’ad Al-Yafi’i bahwa Abul Hasan Ali bin Harzahim al-Faqih atau Ibnu Harzahim sampai berencana membakar salinan-salinan Ihya’ pada suatu hari Jumat yang telah ditentukan.

Namun, pada malam Jumatnya, ia justru mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar dan Umar bersama Imam al-Ghazali dalam suatu masjid jami. Al-Ghazali mengadukan Ibnu Harzahim kepada Rasulullah dan meminta keputusan hukum.

Rasulullah lantas memeriksa kitab Ihya’ Ulumiddin lembar demi lembar. Ternyata Rasulullah Saw. justru berkomentar, “Demi Allah, ini kitab bagus.” Begitu juga ketika Abu Bakar dan Umar memeriksa kitab Ihya’, mereka berkomentar bagus.

Dalam mimpi itu, Rasulullah menghukum cambuk lima kali Ibnu Harzahim. Pada cambukan kelima, Abu Bakar memintakan ampun dan al-Ghazali menerimanya. Saat itulah Ibnu Harzahim terbangun dan merasa kesakitan. Kejadian malam itu membuatnya urung membakar kitab Ihya’. Pada akhirnya ia mempelajari juga kitab Ihya’ Ulumiddin.

Kisah ini, menurut al-Yafi’i, didapatnya dengan sanad sahih dari gurunya, Syekh Syihabuddin Ahmad bin al-Maliq asy-Syadzili; dari gurunya, Syekh Yaqut asy-Syadzili; dari gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi; dari gurunya, Abu al-Hasan asy-Syadzili.

Abu al-Hasan asy-Syadzili hidup semasa dengan Ibnu Harzahim. Abu al-Hasan asy-Syadzili juga mengatakan bahwa saat Ibnu Harzahim wafat, bekas cambukan masih terlihat jelas dipunggungnya.

[nextpage title=”2. Al-Imla’ fi Isykalah al-Ihya’”]

2. Al-Imla’ fi Isykalah al-Ihya’

Kitab ini juga hasil karya Imam Ghazali sendiri. Di dalamnya ia menjelaskan kata-kata dan ungkapan dalam Ihya` yang disalahpahami oleh orang-orang yang hidup semasa dengan beliau. Kitab ini diletakkan di urutan kedua dalam cetakan kitab Ihya’ versi Penerbit Toha Putera dan sejenisnya.

Dalam mukadimahnya, Imam al-Ghazali mencela panjang lebar orang-orang yang menentang kitabnya, Ihya’ Ulumiddin. Berikut pernyataan al-Ghazali:

“… aku perlihatkan rasa sedih terhadap kebingungan orang-orang bodoh, manusia yang serupa binatang ternak (dalam kebodohannya), sekian banyak orang awam, dan orang-orang berakal rendah, juga orang-orang Islam yang jahat. Sampai-sampai mereka mencela kitab Ihya’, melarang orang lain membacanya, dan berfatwa berdasarkan hawa nafsunya dengan tanpa pandangan batin yang bersih untuk membuang Ihya’.”

“Mereka menisbatkan Ihya’ sebagai sesat yang menyesatkan. Mereka juga menyingkirkan para pembaca dan penganut Ihya’ sebab dianggap menyimpang dalam syariat. Hanya kepada Allah-lah tempat mereka kembali dan menghadap. Aku serahkan kepada Allah jua perhentian dan perhitungan mereka.”

[nextpage title=”3. Al-Mughni an Haml al-Asfar fi al-Asfar”]

3. Al-Mughni an Haml al-Asfar fi al-Asfar

Merupakan Kitab kritik dan koreksi serta pelurusan terhadap hadis-hadis yang dimuat dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Karya al-Hafidz Abdurrahim bin al-Hussain al-Iraqi yang masyhur dengan nama al-Hafidz al-Iraqi (W. 806 H). Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya’ sebagai catatan kaki.

Menurut Ust. Ma’ruf Khozin, dari 4583 hadis yang dimuat Ihya’, hanya 7% atau sekitar 300-an saja yang dikomentari oleh al-Hafidz al-Iraqi. Selebihnya tidak ia kritik.

Bahasa kritik al-Iraqi antara lain لَا اَصْلَ لَهُ (tidak ada asalnya), لَمْ أَجِدْ لَهُ أَصْلًا (tidak saya temukan dasarnya), لَمْ أَرَ لَهُ أَصْلاً (tidak saya temukan dasarnya), لَمْ أَقِفْ لَهُ عَلَى أَصْلٍ (tidak saya ketahui dasarnya). Redaksi seperti itu berjumlah sekitar 150-an. Sebagaimana disinggung dalam pembukaan kitabnya, maksud ungkapan tersebut bukanlah serta merta memvonis hadis sebagai palsu atau maudhu’, namun hanya tidak ditemukan dalam kitab-kitab induk hadis.

Terkadang dalam komentarnya, al-Iraqi melakukan koreksi atau pelurusan hadis. Biasa ia gunakan ungkapan لَمْ أَجِدْهُ هَكَذَا (tidak saya temukan seperti ini), لَمْ أَجِدْهُ بِهَذَا اللَّفْظِ (tidak saya temukan dengan teks seperti ini), لَمْ أَجِدْهُ مَرْفُوْعًا, (saya tidak menemukannya sebagai hadis marfu’), لَمْ أَجِدْهُ مِنْ رِوَايَةِ (tidak saya temukan dari riwayat sahabat ini), لَمْ اَرَهُ بِهَذَا (saya tidak mengetahui dengan redaksi seperti ini), dan sebagainya. Maksudnya, secara makna apa yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali adalah sebuah hadis, hanya saja teks atau sanadnya tidak sesuai dengan jalur sanad yang telah ada.

[nextpage title=”4. Awarif al-Ma’arif”]

4. Awarif al-Ma’arif

Kitab ini dicetak bersama Ihya’ juga. Karya Abu Hafsh Syihabuddin as-Suhrawardi al-Baghdadi. Sebagian membaca as-Sahrawardi. Perlu diketahui, ada dua orang ulama kenamaan lainnya yang memiliki nisbat as-Suhrawardi:

(1)  Yahya bin Habsyi bin Amrak as-Suhrowardi (549 H). seorang sufi dari Iran yang difitnah dan akhirnya dihukum mati oleh Zahir bin Shalahuddin al-Ayyubi; (2) Abu Najib as-Suhrawardi (490-563 H). Seorang ulama sufi bermazhab fikih Syafi’I kelahiran Iran pendiri tarekat Suhrawardiyah yang kemudian disebarluaskan oleh Abu Hafsh Syihabuddin, penulis Awarif al-Ma’arif, yang masih anak saudaranya.

Sebenarnya kitab Awarif al-‘Awarif tidak ada kaitan khusus dengan Ihya’ Ulumiddin. Baik dari sisi pembelaan, kritik, maupun penjelasan. Hanya saja kitab ini sejalan dengan Ihya’ dalam penjelasan berbagai rutinitas dalam menempuh dunia tasawuf.

Terdiri dari 63 bab, kitab ini menempati hamisy atau halaman pinggir Ihya’ dari jilid 1 hingga jilid 4. Kitab ini juga menjadi rujukan tarekat Suhrawardiyah. Kitab ini membahas tuntas perilaku dan aktivitas sufi. Mulai hari pemahaman hakikat tasawuf hingga anjuran berbagai rutinitas ibadah yang harus dijalani.

[nextpage title=”5. Ithaf as-Sadah al-Muttaqin”]

5. Ithaf as-Sadah al-Muttaqin

Ini adalah kitab komentar dan penjelasan atas Ihya’ yang terbesar. Tebalnya hingga 10 jilid. Karya Imam az-Zabidi (1145-1205 H). Nama asli beliau adalah Abul Faidh Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdur Razzaq yang dikenal dengan panggilan Murtadha al-Husaini az-Zabidi al-Hanafi. Nasabnya  sampai kepada Sayyid al-Imam Ahmad bin Isa bin al-Imam Zeid bin ‘Ali bin al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Tholib. Beliau berasal dari kota Wasith Bagdad, Irak.

Ithaf merupakan karyanya yang terkenal. Dalam kitab tersebut, az-Zabidi menjelaskan kata atau makna yang banyak disalahpahami dalam kitab tersebut. Juga tentang status hadis yang ada dalam Ihya’. Menurutnya, walaupun dalam kitab Ihya’ banyak termuat hadits dhaif, namun memiliki jalur sanad yang banyak sehingga derajatnya naik menjadi hasan lighairihi. Hadits maudhu’ dalam kitab tersebut, menurut hasil penelitiannya sangatlah kecil jumlahnya.

Melihat banyaknya dukungan dan pembelaan ulama atas Ihya’, sungguh hanya mereka yang buta mata hatinya lah yang masih berani menyebarkan “fatwa” sesat, syirik, dan bid’ah atas seorang Imam al-Ghazali dan karyanya tersebut. Wallahu A’lam.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *