Menu Tutup

Sebelum Ikut Lomba, Ini 5 Fakta yang Harus Diketahui tentang Fathul Muin

DatDut.Com – Baru-baru ini sempat heboh di media sosial terkait manuver salah satu partai politik (parpol) Islam yang mengadakan lomba baca kitab kuning dengan hadiah yang cukup fantastis. Kitab yang dilombakan adalah kitab Fathul Muin, yang sangat populer di lingkungan pesantren. Inilah yang membuat parpol berbasis massa Islam juga mengadakan lomba serupa.

Fathul Muin adalah salah satu  kitab fikih tingkat tinggi di pesantren. Setelah mempelajari Fathul Qarib, Fathul Muin adalah jenjang selanjutnya. Mungkin tiap pesantren bisa berbeda urutannya dengan menambahkan kitab lain, namun kitab ini tetap merupakan kitab yang memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk dipelajari.

Fathul Muin merupakan syarah atau penjelasan dari kitab Qurrah al-‘Ain, yang juga karya Syekh Zainuddin al-Malibari sendiri. Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin Al-Malibari (w. 987 H), merupakan ulama asal Malabar, India Selatan. Sedikit sekali yang menjelaskan riwayat lengkap tentang beliau.

Satu-satunya perluasan pembahasan dari kitab Fathul Muin nampaknya hanya Hasyiyah Ianah ath-Thalibin karya Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi. Ada hal menarik dalam kitab Fath al-Muin. Berikut 5 ulasannya:

[nextpage title=”1. Pembahasan Luas”]

1. Pembahasan Luas

Pembahasan fikih dalam kitab ini cukup lengkap karena mencakup bab thaharah atau bersuci hingga jinayat atau pidana. Dalam tiap pembahasan dilengkapi dengan beberapa cabang  bahasan (far’un), catatan penting (tanbih), hingga penyempurnaan (tatimmah). Pembahasan-pembahasan tambahan dalam far’un dan tanbih ini menjadi hal menarik tersendiri bagi santri yang mempelajari Fathul Muin. Karena ada saja hal-hal unik yang dicantumkan di situ.

Misalnya saja pada halaman 6, far’un kedua. Disitu dijelaskan secara singkat, kaki yang tertusuk duri dan duri tersebut masih nampak potongannya dari luar, maka harus dicabut lalu lubang dari luka yang ditimbulkan harus dibasuh saat berwudu. Karena bagian itu sama hukumnya dengan bagian luar badan. Jika duri itu telah masuk dan tenggelam atau tertutup kulit atau lukanya telah tertutup lagi, maka tidak perlu atau tidak harus dicabut dan dibasuh lukanya.

[nextpage title=”2. Penataan Sub Bahasan Agak Rumit”]

2. Penataan Sub Bahasan Agak Rumit

Meskipun pembahasan fikih dalam Fathul Muin cukup luas dan lengkap, tetapi penataan sub bahasan yang berupa far’un dan tanbih terkadang tidak sistematis. Pembahasan bisa meluas atau mengacaukan runtutan topik yang dibahas.

Semisal pada halaman 7, di tengah pembahasan tentang sunah-sunah wudu, setelah meyebutkan  sunah membasuh tiga kali, tiba-tiba hadir far’un yang membahas keraguan apakah sudah membasuh rata ataukah belum.

[nextpage title=”3. Pola Kalimat yang Rumit”]

3. Pola Kalimat yang Rumit

Sebagai kitab fikih tingkat tinggi, kitab Fathul Muin memiliki pola kalimat yang rumit dan terkadang sulit dipahami dengan sekilas baca. Penempatan elemen tarkib semisal mubtada dan khabar, syarat dan jawab, ism maushul dan shilah-nya, bisa berada pada barisan kalimat yang jauh sekali.

Itu karena pangaruh banyak dan luasnya penjelasan atas matan asli kitab Qurrah al-‘Ain yang pendek-pendek. Penempatan penjelasan tambahan yang menyempal dari runtutan bahasan ini menjadi semacam jebakan yang menguji konsentrasi dan pemahaman dari pembacanya.

[nextpage title=”4. Sebagai Standar Kemampuan Baca Kitab”]

4. Sebagai Standar Kemampuan Baca Kitab

Sudah masyhur di kalangan santri, kitab Fathul Muin memiliki tingkat kesulitan tinggi. Sehingga kitab ini  menjadi standar kemampuan seorang santri, apakah ia benar-benar telah mampu memhami teks Arab “gundul” ataukah belum seberapa. Letak marji’ (tempat kembalinya rujukan ism dhamir) yang berjauhan, mubatada-khabar yang dipisah dengan kalimat sela yang panjang, syarat-jawab yang terpisah dengan penjelasan tambahan yang luas, benar-benar menguji kemampuan ilmu alat para santri (Baca: 5 Kelebihan Pesantren Salaf)

Terlebih bila yang dibaca adalah kitab versi cetakan Indonesia khusunya Al-Hidayah, Surabaya, yang khas tanpa koma dan paragraph layaknya teks Arab modern. Satu halaman bisa penuh. Menentukan di mana harus menghentikan bacaan untuk mengkaji isinya memerlukan kemampuan ilmu nahwu yang cukup.

Di kalangan pesantren ada ungkapan, “Siapa yang bisa baca Fathul Muin, berarti sudah mampu membaca kitab lainnya.” Ungkapan ini tidaklah berlebihan melihat begitu rumitnya memahami kata-kata Fathul Muin. Ada juga yang mengatakan, “Belum pantas jadi kiai kalau belum bisa kitab Fathul Muin.” Jadi, untuk bidang fikih, kitab Fathul Muin lah ukuran kemampuannya.

[nextpage title=”5. Kiai yang Hafal Fathul Muin”]

5. Kiai yang Hafal Fathul Muin

Melihat sulitnya membaca dan memahami uraian dalam Fathul Muin, maka orang yang mampu hafal kitab ini adalah orang yang luas biasa. Luar biasa dan sangat langka. Sekedar memahami isinya, mungkin masih banyak santri yang telah mampu. Tetapi untuk menghafalnya, tentu hanya orang-orang berkemapuan dan berkeinginan kuat saja yang bisa.

Contoh sosok langka yang hafal kitab Fathul Muin adalah K.H. Asror (w. 6 Juni 1987), pengasuh PPTQ Al-Asror, Kauman, Kaliwungu Kendal. Seperti ditulis Saifurroya dalam blognya, selain hafal Fathul Muin, K.H. Asror juga seorang hafidz yang hafal Qiraah Sab’ah dan Tafsir Jalalain.

 

Baca Juga: