DatDut.Com – Pertempuran 10 November yang kemudian kita kenal sebagai Hari Pahlawan memiliki keterkaitan kuat dengan Resolusi Jihad 22 Oktober yang akhirnya ditetapkan sebagai hari santri nasional.
Seperti dilansir nu.or.id, bahwa terjadinya perang 10 November 1945 di Surabaya tak lepas dari Resolusi Jihad yang menjadi pembakar semangat rakyat. Juga dipaparkan dalam buku “Kyai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan” karya K.H. Sholeh Hayat betapa kedua perisitwa itu memiliki keterkaitan yang sangat erat. Hal itu ditandai misalnya kedatangan Bung Tomo kepada K.H. Hasyim As’ary menjelang pertempuran 10 November.
Di antara percikan sejarah pertempuran 10 November 1945 terdapat kisah unik seputar senjata tradisional yang dipakai oleh para pejuang. Bambu runcing. Ternyata munculnya bambu tersebut sebagai bagian dalam pertempuran Surabaya memiliki kisah tersendiri yang oleh Ust. Ma’ruf Khozin, salah satu pengurus Aswaja-NU Centre, sebagai untold story atau kisah yang tak terungkapkan. Dalam salah satu status di akun FB-nya, Ust. Ma’ruf Khozin memaparkan kisah tersembunyi tentang bambu runcing.
Kisah ini disampaikan oleh Gus Sholahudin yang meriwayatkannya dari sang ayah, K.H. Mujib Ridlwan. Ayahnya meriwayatkan dari sang kakek, Kiai Ridwan Abdullah yang merupakan pencipta lambang NU.
Saat itu, Kiai Wahab, Kiai Ridlwan dan Kiai Asnawi sowan (menghadap) ke Jombang dan meminta kepada K.H.Hasyim Asy’ari agar mengeluarkan fatwa jihad. Kepada mereka Kiai Hasyim bertanya, “Kalau Fatwa Jihad sudah dikeluarkan, kita mau berperang dengan apa? Senjata tidak ada, peluru tidak punya, prajurit sudah banyak yang gugur. Perang bagaimana?” Para kiai tersebut diam sejenak.
Kiai Wahab yang menjawab, “Kita punya wirid dan hizib, Kiai.”
“Apa sudah waktunya kita mengeluarkan itu?” kata Kiai Hasyim. Kiai Wahab memantabkan dengan berkata, “Kalau bukan sekarang, kapan lagi, Kiai?”
Selanjutnya Kiai Hasyim menyuruh para kiai tersebut untuk sowan ke Kiai Subeki Parakan Temanggung. Ketika tiba di kediaman Kiai Subeki dan meminta beliau mengeluarkan senjata untuk dibuat perang, Kiai Subeki menjawab, “Senjata apa yang saya punya? Yang ada di belakang rumah saya ini berupa barongan (rimbunan bambu). Akhirnya Kiai Subeki memberi ijazah ‘senjata’ bambu runcing?”
Itu sekelumit kisah di balik senjata rakyat berupa bambu runcing. Sosok Kiai Subeki yang memberi ijazah dan mendoakan senjata para pejuang itu segera saja tersebar sehingga laskar-laskar maupun badan TKR berbondong-bondong menuju Parakan untuk minta didoakan kiai sepuh tersebut.
Berduyun-duyunnya para pejuang ke Kiai Subehi juga dikisahkan oleh K.H. Saifuddin Zuhri, Menteri Agama periode 1962-1967, dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001:130). “Kereta api hampir dipenuhi dengan badan-badan kelaskaran. Sejak dari Surabaya di sebelah timur, dari Cirebon di sebelah barat, dan Yogya di sebelah selatan. Laskar-laskar yang ribuan itu membanjiri kota Kawedanan Parakan,” tulisnya.
Menurutnya, bahkan para kepala stasiun saat itu harus pusing mengatur formasi kereta api untuk mengatar para relawan menuju Parakan. Mereka harus melakukan itu demi memenuhi tuntutan para pejuang dan rakyat yang sudah berang pada penjajah.
Kalau tidak, bisa-bisa mereka justru harus berhadapan dengan kemarahan rakyat. Bahkan Samsul Munir Amin dalam Karomah para Kiai (2008) mengatakan, “Diperoleh keterangan bahwa para tamu yang datang ke Parakan untuk menyepuh bambu runcing tidak kurang dari 10 ribu orang tiap harinya,” terangnya.
Dikisahkan pula bahwa doa yang dibacakan oleh Kiai Subeki adalah “Bismi Allahi, Ya Hafidzu, Allah Akbar Dengan Nama Allah SWT, Ya Tuhan Maha Pelindung, Allah Maha Besar!”
Menurut K.H. Saifuddin Zuhri, melihat kian banyaknya orang yang datang dan meminta doa darinya, Kiai Subeki pernah mengungkapkan keresahannya pada K.H. A. Wahid Hasyim, Zainul Arifin, dan K.H. Masykur. Ketika itu ketiganya sowan diantar oleh Saifuddin Zuhri. Mereka diminta masuk ke kamar Kiai Subeki. Didalam sudah ada K.H. Nawawi dan K.H. Mandur, pemimpin “Sabilillah” daerah Kedu. Bahkan beliau sempat menangis demi melihat banyaknya orang yang mempercayakan doa kepadanya.
“Tetapi mengapa mesti kepada saya,” katanya seperti penasaran. “Mengapa tidak kepada Kiai Dalhar Watucongol, atau Kiai Siraj di Payaman, atau Kiai Hasbullah di Wonosobo?”
Keikhlasan dan kerendahan hati Kiai Subeki terpancar dari ucapannya yang bersahaja. Setelah berbincang beberapa saat dengan para para tokoh pejuang itu, akhirnya Kiai Subeki berkenan menemui para pejuang di luar rumah yang telah berjubel ingin lebih dekat melihat Kiai Subeki.
Demikian sekelumit kisah dibalik senjata bambu runcing yang menjadi bagian dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
- Pengumuman Kelulusan Sertifikasi Dai Moderat ADDAI Batch 3 - 2 September 2023
- ADDAI Akan Anugerahkan Sejumlah Penghargaan Bergengsi untuk Dai dan Stasiun TV - 18 November 2022
- ADDAI Gelar Global Talk Perdana, Bahas Wajah Islam di Asia Tenggara - 7 Oktober 2022