Menu Tutup

Tak Ada Satu Pun Khulafa Rasyidin yang Mau Dipanggil Khalifah Allah di Bumi

DatDut.Com – Uniknya, para khalifah pada era ini merasa jengah disebut sebagai khalifatullah fi al-ardhi, seperti yang lazim dipakai oleh beberapa khalifah era Abbasiyyah. Memang tidak semua ulama bersepakat mengenai kebolehan menyebut seorang manusia sebagai khalifatullah. Mereka takut salah dalam menggunakan gelar sakral itu, apalagi hanya untuk tujuan-tujuan duniawi sesaat.

Ketika Abu Bakar telah dibaiat, masyarakat yang ada saat itu memanggilnya dengan panggilan khalifatullah. Tampak dalam rekaman sejarah bahwa Abu Bakar kurang berkenan dengan panggilan itu dan menyarankan untuk memanggilnya dengan sebutan khalifah rasulillah. Dan ini terus berlangsung hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Begitu pula yang terjadi ketika Umar bin al-Khattab dibaiat oleh umat. Para sahabat memanggilnya dengan sebutan khalifah rasulillah. Umar pun menolak sebutan ini, karena menurutnya ia adalah pengganti kepemimpinan Abu Bakar bukan kepemimpinan Nabi.

Umar pun lalu dipanggil dengan julukan khalifatu khalifati rasulillah. Namun kemudian ada pertimbangan teknis menyangkut jika julukan itu benar-benar dipergunakan untuk seterusnya dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya, maka julukan itu akan sangat panjang.

Akhirnya para sahabat mencari nama lain yang lebih cocok dan fleksibel. Lalu disepakatilah panggilan amir al-mu’minin. Panggilan ini diterima secara luas oleh masyarakat dan dipergunakan oleh para khalifah sesudahnya. Hanya saja tidak satu pun para khalifah dari dinasti Umayyah yang mempergunakan julukan ini sebagai julukan resmi dalam pemerintahannya.

Berbeda dengan itu, kalangan Syi’ah lebih suka mempergunakan term imam khususnya pada Ali bin Abi Talib. Hal ini mereka lakukan karena mereka menganggap Ali-lah orang yang paling berhak menjadi imam dalam shalat ketika rasul berhalangan daripada Abu Bakar Julukan ini sendiri bermaksud memberi justifikasi sepenuhnya kepada Ali tentang kepalingabsahannya menempati posisi penting itu. Julukan yang sama juga mereka berikan kepada orang-orang yang mereka anggap sebagai penerus Ali

Uraian di atas menunjukkan bahwa para khalifah pada masaa ini dalam menyelenggarakan pemerintahnnya memposisikan diri sebagai khalifah rasulillah (pengganti kepemimpinan rasul) dan bukan sebagai khalifatullah. Mereka juga menolak dikatakan sebagai pengganti titah Allah dalam melaksanakan pemerintahannya.

Mereka pun bahkan menolak secara tegas panggilan atau apapun yang mengarah ke arah itu. Mereka sendiri merasa takut dianggap sebagai khulafa’ Allah. Karena mereka hanyalah manusia biasa yang tidak terbebas dari dosa (ma’shum) serta tempat salah dan dosa. Karenanya, kita lalu menemui pemikiran yang dengan tegas menolak perwakilan dari Allah dalam kekuasaan politik.

Syeikh Abu al-A’la al-Maududi dalam bukunya Al-Khilafah wa al-Mulk meletakkan beberapa karakterisitik pokok suatu negara khilafah. Pertama, kepemimpinan negara itu diperoleh melalui hasil pemilihan. Kedua, pemerintahannya berlandaskan musyawarah.

Ketiga, kekhilafahan selalu memandang penting adanya lembaga kas negara (bait al-mal). Dan lembaga itu dianggap sebagai amanat ilahi, sehingga siapapun–termasuk khalifah– tidak boleh memanfaatkan uang kas lembaga itu untuk tujuan pribadi.

Keempat, para khalifah menempatan undang-undang dan hukum di tempat yang tinggi. Mereka pun memberikan kebebasan kepada para hakim dalam menetapkan keputusan hukum, meski itu nantinya akan membahayakan mereka sendiri.

Kelima, adanya prinsip-prinsip persamaan (al-musawah) dan ditinggalkannya fanatisme (al-ashabiyyah). Keenam, pemerintahannya berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi, seperti kebebasan penuh dalam mengkritik dan mengungkapkan pendapat. Ketujuh, adanya hubungan yang erat antara para khalifah dan rakyat, dan bahkan hampir tidak ada perbedaan status di antara mereka.

Menurut John L Esposito, umumnya bentuk pemerintahan pada masa ini mengikuti bentuk, teladan, dan contoh dari Muhammad. Para khalifahnya juga secara langsung melakukan pengawasan politik, hukum, tentara, dan hal-hal yang dapat berpengaruh secara luasa terhadap kehidupan kaum muslimin.

Proses pemilihan mereka menjadi khalifah juga dilandasi semangat musyawarah. Selain itu, ketika menghadapi permasalahan sosial yang rumit terutama menyangkut perselisihan pendapat dan memutuskan pertikaian, mereka selalu meminta petunjuk dari para sahabat senior, baik secara pribadi maupun dalam forum resmi.

Sepeti dijelaskan di atas bahwa era ini merupakan era keemasan sepanjang sejarah politik Islam setelah era kenabian. Tapi sayangnya, seperti dikemukakan Robert N Bellah, bahwa era ini terlalu maju melampaui masanya (too modern to succeed), sehingga akhirnya jatuh juga ke era kemunduran.

Dalam semangat yang sama, banyak sekali para pengkritik Islam yang memberikan kritiknya terkait dengan persoalan terbunuhnya beberapa khalifah pada era ini. Mereka mengatakan, “Jika benar Islam itu merupakan agama yang sempurna, tapi mengapa para Khulafa’ Rasyidin–kecuali Abu Bakar–harus terbunuh dengan kematian yang tidak alami?”

Pengertian pemerintahan khilafah pada era ini sangat khas dan sepenuhnya berbeda dengan model kekuasaan-kekuasaan tertinggi lainnya dalam menjalankan pemerintahan konstitusionalnya. Khilafah merupakan kekuasaan tertinggi yang mengurusi urusan-urusan agama dan dunia.

Karenanya, selain mengurusi urusan-urusan yang menyangkut urusan politik kerajaan dan urusan-urusan keduniawian lainnya, seorang khalifah juga harus mengurusi kepemimpinan shalat, penyelenggaraan haji, memberi izin ditegakkannya simbol-simbol agama di mesjid, menyampaikan khutbah pada hari Jum’at dan setiap hari raya, serta urusan-urusan keagamaan lainnya.

Segala urusan yang ada pada era ini semuanya diacu untuk kepentingan rakyat. Dan itu pula yang menjadi tujuan utama dari pengangkatan dan pembaiatan seseorang menjadi khalifah. Dari deskripsi ini dapat dibuat kesimpulan ringan bahwa pada era ini tidak ada sedikit pun urusan agama yang tidak mempunyai keterkaitan erat dengan urusan kebahagian seseorang di dunianya.

Meskipun kekuasaan seorang khalifah tampak begitu luas dan meliputi urusan-urusan keagamaan, bukan berarti dapat dengan begitu saja menjadikan seorang khalifah lalu memiliki kekuatan ghaib serta mempunyai hubungan langsung dengan Tuhan-seperti yang dipahami oleh sebagaian orang Syi’ah. Mereka hanyalah seorang muslim biasa yang mendapat amanat untuk mengemban urusan-urusan kaum muslimin, serta berhak memperoleh hak kepatuhan dari rakyatnya.

Karenaya, jika ada sifat ketuhanan yang disandarkan kepada kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan Islam oleh beberapa orang untuk tujuan pemujaan urusan para khalifah, sungguh tidak memiliki dasar sedikit pun dari agama. Dalam Islam, tidak ada kekuasaan agama kecuali kekuasaan yang didasari atas nasehat dan semangat dakwah.

Ada beberapa kaidah umum dalam pembaiatan empat Khulafa’ Rasyidin. Pertama, pengangkatan seorang pemimpin merupakan sesuatu keharusan yang mutlak diperlukan oleh kaum muslimin. Kedua, pengangkatan itu dilaksanakan oleh lembaga legislatif (ahl al-hall wa al-aqd).

Ketiga, khilafah bukanlah merupakan sesuatu yang diperoleh melalui pewarisan. Keempat, para khalifah pada era ini mau menerima posisi ini demi menjaga agar tidak muncul fitnah (perang saudara). Mereka sesungguhnya pada awalnya tidak menghendaki posisi ini. Kelima, baiat dilaksanakan secara terbuka di depan masyarakat pada umumnya.

Keenam, para khalifah setelah menjalani prosesi bai’at, menyampaikan pidato singkat di depan mesjid dimana dijelaskan pola pemerintahan yang akan segera berjalan.. Ketujuh, masyarakat membaiat secara bersama-sama di depan mesjid.

Kedelapan, kriteria pemilihan khalifah bukan didasarai atas prinsip genologi (nasab), senioritas, atau reputasinya di tengah-tengah masyarakat. Kriteria seorang khalifah  labih ditentukan berdasarkan kapabilitas yang bersangkutan dalam memahami agama dan kredibilitas moral, di samping yang bersangkutan diharapkan termasuk orang-orang dalam baris pertama yang menyatakan memeluk Islam. Mereka juga diharuskan merupakan orang-orang kepercayaan Nabi Muhammad.

Pada era ini, Islam berhasil melebarkan sayap dengan penaklukan dan perluasan wilayah yang dipimpin langsung oleh para khalifahnya. Uniknya, term khalifah sendiri sesungguhnya merupakan term darurat yang terpaksa digunakan untuk menjawab tuntutan zaman.

Para khalifah di era ini meskipun bertugas sebagai pelaksana harian yang mengurusi urusan komunitas Islam, tapi mereka tidak mempunyai hak sedikit pun terkait dengan persoalan agama baik untuk mengeluarkan hukum maupun mendifinisikan hal-hal teologis. Mereka hanya mempunyai hak sebagai pelaksana dan penjaga jalannya roda syari’ah.