Menu Tutup

Belajarlah Tidak Egois dari 5 Kisah yang Dicontohkan Nabi dan Sahabat Ini

DatDut.Com – Saat makanan yang tersedia di rumah hanya pas untuk dimakan sendiri, lalu ada orang lain yang juga membutuhkan makanan, apa yang akan kita lakukan? Kalau saat itu kita berikan makanan tersebut kepada orang yang membutuhkan, lalu mengalah menahan lapar karena jatah makan telah didermakan, itulah yang disebut perbuatan itsar atau mementingkan orang lain.

Itsar sama dengan altruisme. Ia lawan dari egoisme. Itsar sangat dianjurkan dalam hal selain ibadah. Sedangkan itsar dalam ibadah justru makruh. Contohnya mempersilakan orang lain mengisi barisan jamaah di depan kita.

Momen untuk mempraktikkan itsar dalam keseharian banyak kita jumpai. Di bis kota, di kereta api, dalam antrian dan sebagainya. Tinggal kesediaan untuk memberikan hal yang terbaik dalam posisi sama-sama membutuhkanlah yang semakin jarang kita lakukan.

Dengan menilik kembali 5 kisah itsar nabi dan para sahabat berikut ini, semoga menggugah kembali sisi kebaikan dalam setiap diri kita:

[nextpage title=” 1. Jubah Nabi”]

1. Jubah Nabi

Sahl bin Sa’ad Ra. bercerita,“Pernah datang seorang perempuan membawa burdah kepada Nabi. Beliau berkata, “Tahukah kalian, burdah apa ini?” Ada yang menjawab, “Ya, pakaian yang dibordir bagian bawahnya.” Perempuan itu berkata, “Nabi, aku menenun burdah itu dengan tanganku sendiri dan aku pakaikan untuk Anda.” Maka, Nabi menerimamnya dan memang beliau membutuhkannya.

Lalu, Nabi keluar dengan mengenakan burdah itu. Tiba-tiba seseorang berdiri dan berkata, “Nabi, pakaikanlah burdah itu untukku.” “Ya,” jawab Nabi. Beliau lalu duduk dalam majelis, lalu kembali dan melipat burdah itu kemudian mengirimkannya kepada orang tadi.

Orang-orang banyak yang bertanya pada peminta itu, “Kamu ini bagaimana? Kau meminta pada beliau, padahal engkau tahu beliau tidak pernah menolak orang yang meminta.” Orang itu berkata, “Demi Allah, tidaklah saya memintanya kecuali agar itu menjadi kafan saya jika meninggal.” Sahal berkata, “Ternyata kain itu akhirnya menjadi kafan orang tersebut.”

[nextpage title=”2. Seteguk Air di Ambang Ajal”]

2. Seteguk Air di Ambang Ajal

Dalam al-Mustadrak, Hakim meriwayatkan bahwa Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabi’ah (riwayat lain menyebut Iyyasy), dan Ikrimah bin Abu Jahal turut serta dalam Perang Yarmuk.

Ikrimah sendiri adalah salah satu sahabat yang tak pernah absen dari peperangan membela Islam semenjak ia menjadi muslim. Hal itu sesuai janjinya setelah didoakan Nabi agar diampuni segala dosanya selama masa jahiliyyah memerangi Islam. Saat Perang Yarmuk ia menjadi pelopor pasukan berani mati yang akhirnya memporakporandakan pasukan Romawi.

Usai pertempuran dan kemenangan diraih oleh kaum muslimin, ketiga orang tersebut terluka parah dan terkapar berdekatan. Lalu Harits meminta agar diberi air minum. Ketika air didekatkan kepadanya, ia lihat ikrimah mengalami keadaan yang sangat mengkhawatirkan seperti dirinya.

Ia lalu berkata kepada pembawa air, “Berikan dulu kepada Ikrimah.” Pembawa air segera mendekati ikrimah. Saat air didekatkan ke mulut Ikimah, nampak olehnya Ayyasy yang sedang dalam kondisi kritis menengok kepadanya. Melihat itu, Ikrimah berkata, “Berikan dulu pada Ayyash.”

Namun saat pembawa air mendekati Ayyash, didapatinya Ayyash telah meninggal. Ia bergegas kembali ke tempat Harits dan Ikrimah untuk memberikan air minum itu. Dan didapatinya Harits dan Ikrimah telah pula wafat. Akhirnya ketiga mujahid itu wafat sebelum mencicipi air yang diminta Harits.

[nextpage title=”3. Hadiah yang Kembali”]

3. Hadiah yang Kembali

Bayhaqi dalam Syua’ab al-Iman meriwayatkan kisah dari Ibnu Umar r.a. Salah seorang dari sahabat Nabi Saw. mendapat hadiah kepala kambing. Dia lalu berkata, “Saudaraku, fulan dan keluarganya, lebih membutuhkan ini daripada kita.”

Lalu ia kirimkan hadiah tersebut kepada yang lain. Kejadian ini berlanjut terus menerus. Hadiah itu dikirimkan dari satu orang kepada yang lain hingga berputar sampai tujuh rumah. Akhirnya kepala kambing itu justru kembali kepada orang yang pertama kali memberikan.

Menurut riwayat tersebut, peristiwa itu menjadi latar belakang turunnya QS Al-Hasyr, 9: “… Mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) melebihi diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.”

[nextpage title=”4. Rela Kelaparan Demi Menghormati Tamu”]

4. Rela Kelaparan Demi Menghormati Tamu

Kisah Abu Thalhah dan Ummu Sulaim ini, masih dalam al-Mustadrak dan dalam satu bab dengan kisah sebelumnya. Menurut pendapat lain, kisah ini juga merupakan asbabun nuzul (latar belakang turunnya) ayat ke-9 surah al-Hasyr.

Abu Hurairah mengisahkan, seorang laki-laki datang kepada Nabi dan berkata, “Aku lapar.” Nabilantas menyuruh seseorang untuk menanyakan kepada para istrinya tentang makanan yang ada di rumah. Namun tak ditemukan makanan sedikit pun. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah bersabda, “Siapakah yang akan menjamu tamu ini. Semoga Allah merahmatinya.”

Maka berdirilah salah seorang Anshar, yaitu Abu Thalhah seraya berkata, “Saya, Nabi.” Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian ia bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim), “Apakah kamu memiliki makanan?” Sang istri menjawab, “Tidak punya kecuali makanan untuk anak-anak.”

“Kalau mereka minta makan malam, tidurkanlah mereka,” lanjut Abu Thalhah. “Matikan juga lampu. Malam ini kita menahan lapar.”

Keesokan hari keduanya datang kepada Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah takjub dan rida terhadap fulan dan fulanah.”

[nextpage title=”5. Membeli Sumur untuk Dipakai Bersama”]

5. Membeli Sumur untuk Dipakai Bersama

Saat kaum muslimin telah hijrah dari Mekah ke Madinah, mereka kesulitan mendapatkan air. Sumber air utama di kota itu berupa sumur yang telah dimonopoli oleh pemiliknya yang seorang Yahudi. Air dijual dengan harga tinggi oleh pemiliknya itu.

Kemudian Nabi Saw. menyerukan kepada para sahabat, “Siapa yang mau membeli dan memperluas sumur Raumah, maka baginya surga,” (HR Bukhari Muslim).

Utsman bin Affan tidak menyiakan kesempatan itu. Beliau menyambut seruan Nabi dengan mendatangi tempat Yahudi pemilik sumur. Semula Yahudi itu mematok harga sumur  tersebut 20.000 dirham.

Setelah melalui negoisasi yang alot, akhirnya Utsman berhasil membeli separoh sumur itu dengan harga 12.000 dirham. Separuh maksudnya sumur itu akan dipakai bergantian antara Utsman dan pemilik sumur.

Ketika tiba giliran Utsman memakai sumur itu, ia mempersilakan kaum muslimi untuk mengambil air sebanyak mungkin untuk persiapan selama dua hari ke depan. Keesokan harinya, Yahudi pemilik sumur merugi karena tak ada orang membeli air dari sumurnya.

Karena merasa rugi, akhirnya dijuallah sisa haknya atas sumur itu kepada Utsman dengan harga 8.000 dirham. Sejak saat itu sumur tersebut dapat dimanfaatkan dengan mudah bagi siapa saja, termasuk si Yahudi tadi.

Amal jariyah Utsman bin Affan r.a. ini ternyata tetap terjaga hingga kini. Seperti dikutip liputan6.com, wakaf sahabat Utsman bin affan r.a. tersebut terus berkembang, hingga terbentuklah sebidang kebun kurma di dekatnya. Dari sebidang kebun itu kemudian berkembang semakin luas.

Di masa Kerajaan Turki Usmani, wakaf itu dirawat dengan baik. Selanjutnya di bawah kekuasaan Arab Saudi, wakaf itu dikelola melalui menteri pertanian. Hasil dari kebun itu separuh dibagikan kepada anak yatim dan orang miskin, separuhnya lagi disimpan dalam rekening atas nama Utsman bin Affan.

Rekening tersebut dipegang oleh Kementerian Wakaf. “Kekayaan” Utsman bin Affan terus berkembang hingga oleh pemerintah Arab Saudi uang itu digunakan untuk membeli tanah dan membangun hotel Utsman bin Affan. Sama seperti wakaf sumur dan kebunnya, hasil dari hotel tersebut digunakan untuk fakir miskin dan sebagian masuk lagi ke rekening Utsman bin Affan.

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *