DatDut.Com – Membaca aktivitas dan prestasi keilmuan ulama klasik membuat kita tak henti-henti berdecak kagum. Melalui karya-karya peninggalan mereka saja senyatanya kita sudah dapat tersadarkan akan kehebatan mereka.
Hanya pola pikir yang dangkal dan egoisme nalar sebagian kitalah yang tak mengakui, menghargai, dan menyukuri jasa dan kiprah yang mereka perjuangkan.
Membaca itu semua, kita akan menyaksikan sebuah ketekunan usaha yang serius oleh mereka, namun tampak dalam berbagai rupa. Ada kalanya membuat hati kita terenyuh, bibir kita tersenyum, bahkan seringkali kedua pipi kita basah oleh air mata.
Berikut 5 hal unik dan mengesankan dari ketekunan sebagian ulama klasik:
[nextpage title=”1. Menulis Sambil Disuapi”]
1. Menulis Sambil Disuapi
‘Ubayd bin Ya’isy al-Mahamili al-Kufi (w. 228 H) merupakan seorang ulama besar hadis asal Kufah yang wafat pada sekitar sepertiga awal abad ketiga hijri.
Kredibilitasnya yang tinggi di bidang hadis membuatnya digelari al-Hafiz dan al-Hujjah, dua gelar kepakaran hadis yang teramat tinggi. Wah, hebat, kan?
Tidak hanya itu, beberapa ulama hadis kawakan yang popularitasnya melangit di dunia Islam, seperti Imam Bukhari dan Muslim, juga sempat berguru kepadanya.
Keahlian yang beliau capai bukan tanpa perjuangan, lho. Sungguh, kegigihannya dalam memelihara waktu dan mengoptimalkan pemanfaatannya hanya untuk kepentingan (belajar dan mengajar) hadis Nabi sulit ditandingi.
Dalam hal ini, beliau memiliki suatu kebiasaan unik yang akan membuat kita geleng-geleng kepala. Mau tahu, kebiasaan apa itu? Jadi, begini. Selama 30 tahun, Ibnu Ya’isy tidak pernah makan malam dengan menyuap sendiri.
Lha, terus? Beliau meminta saudara perempuannya untuk membantu menyuapkan makanan ke mulutnya, sebab tangannya sendiri sibuk menulis hadis-hadis Nabi, fokus tak henti-henti. Jadi, beliau menulis sambil disuapi, tak sudi bila kegiatan menulisnya harus terhenti oleh menyuap makanan. Subhanallah!
[nextpage title=”2. Membaca Sambil Berjalan”]
2. Membaca Sambil Berjalan
Sebenarnya, banyak tokoh-tokoh besar kita yang suka membaca buku di setiap tempat. Seperti Gus Dur yang, konon, semasa kuliah, biasa membaca buku di dalam bus.
Tetapi, terbayangkah oleh Anda bagaimana membaca buku sambil berjalan kaki? Nah, ulama-ulama kita di masa lalu tidak sedikit yang seperti itu. Ada Abu Bakar al-Khayyath al-Nahwi (w. 320 H), seorang ulama tata bahasa Arab, yang terus-menerus membaca, termasuk ketika berjalan, hingga pernah terjerembab ke dalam jurang.
Ada pula Abu Nu’aim al-Ashfahani (336-430 H), seorang ahli hadis, sejarawan, dan juga sufi, yang seringkali menyimak setoran bacaan murid-muridnya sambil berjalan dari masjid ke rumahnya.
Bahkan, ada pula yang kebiasaan membacanya sambil berjalan menjadi sebab beliau menemui ajal. Beliau bernama Tsa’lab al-Nahwi (w. 291 H), seorang ulama ahli bahasa, hadis, dan qiraah asal Kufah.
Aktivitas membaca selalu dilakukannya dalam kondisi apa pun, termasuk ketika menghadiri undangan atau ketika dalam perjalanan. Suatu ketika, pada hari Jumat bakda asar, beliau pulang dari masjid dengan berjalan kaki.
Sambil berjalan, pandangannya fokus tertuju pada sebuah buku yang dipegangnya, nyaris tak menghiraukan apa pun yang ada di sekelilingnya.
Dari saking khusyuknya membaca, dan juga sebab pendengarannya terganggu, beliau tidak merasa bahwa ada seekor kuda menghampirinya kencang dan menyeruduknya hingga membuatnya terlempar ke dalam sebuah jurang.
Setelah diangkat, kesadarannya sudah tidak sempurna sebab benturan keras di kepalanya hingga akhirnya beliau meninggal dunia. Rahimahumullah Ta’ala.
[nextpage title=”3. Menyimak Bacaan dari Dalam Toilet”]
3. Menyimak Bacaan dari Dalam Toilet
Sekeras-keras kita berusaha untuk dapat selalu membaca dalam setiap kondisi, pastilah ada saat dan tempat tertentu di mana kita tidak dapat melakukannya, seperti saat kita berada di dalam toilet atau WC. Ya, hal ini dikarenakan tempat tersebut adalah tempat yang notabeni kotor sehingga tidak layak untuk aktifitas mulia seperti membaca.
Namun, orang yang benar-benar tidak ingin waktunya berlalu sia-sia, selalu saja menemukan cara cerdas untuk dapat melakukan aktifitas belajar setiap saat. Ya, bagi orang seperti itu, belajar tetap bisa dilakukan meski di dalam toilet, namun tanpa sedikit pun mengurangi kehormatan ilmu.
Lha, bagaimana tuh? Ini dia ceritanya. Konon, Majduddin Abul Barakat Ibn Taymiyah (590-653 H), kakek Taqiyyuddin, merupakan seorang ulama fikih madzhab Hanbali, ahli hadis dan tafsir pula, yang sangat menghargai waktu.
Pengarang kitab al-Muharrar dalam bidang fikih Hanbali itu memiliki suatu kebiasaan yang sangat menakjubkan dan tidak terpikirkan oleh banyak orang.
Kebiasaan apakah itu? Ceritanya begini, setiap kali beliau akan memasuki toilet, beliau memanggil putranya, Abdul Halim, dan berkata, “Bacalah buku ini dengan nyaring sehingga aku dapat mendengarnya (dari dalam toilet)!”
Subahanallah! Selamat mencoba model belajar yang seperti ini di toilet-toilet Anda! 😉
[nextpage title=”4. Mencatat Ide Ketika Mandi”]
4. Mencatat Ide Ketika Mandi
Nama Ala’ al-Din Ibn al-Nafis (w. 687 H) tidak asing lagi dalam dunia kedokteran Islam. Spesialisasinya dalam Fisiologi Sirkulasi Darah terekam jelas dalam sejarah. Sisi kedokterannya tampaknya lebih banyak dilirik oleh para pelajar setelahnya daripada sisi-sisi yang lain dari sosoknya, yang konon juga ahli hukum Islam, hadis dan bahasa.
Keistikamahannya terlihat pada sikapnya yang tegas; menolak keras tawaran para dokter yang merawatnya sesaat sebelum meninggalnya untuk mengonsumsi obat yang mengandung khamr.
Sebelum meninggal, Ibn al-Nafis sempat mewakafkan rumahnya, buku dan harta bendanya untuk Rumah Sakit al-Manshuri. Hingga tutup usia, beliau terus menjomblo.
Semasa hidupnya, Ibn al-Nafis dikenal sangat menghargai waktu, untuk selalu produktif dalam kondisi apa pun. Nah, terkait hal tersebut, ada kisah menarik.
Konon, tatkala pada suatu hari beliau mendapatkan inspirasi di kamar mandi terkait persoalan denyut jantung, beliau segera menghentikan mandinya, bergegas ke ruang ganti pakaian, dan menuliskan apa yang terbetik dalam pikirannya.
Selesai menulis satu artikel, beliau kembali ke kamar mandi dan melanjutkan mandinya. Subhanallah. Sebuah kecintaan, penghargaan dan kesyukuran luar biasa atas nikmat waktu dan ilmu pengetahuan. Inspirasi memang bisa muncul di mana saja, dan bisa hilang kapan saja.
So, segeralah abadikan ide-ide baru Anda sebelum hilang begitu saja oleh gilasan detik-detik yang tak bermakna.
[nextpage title=”5. Mengajak Diskusi dalam Kondisi Sekarat”]
5. Mengajak Diskusi dalam Kondisi Sekarat
Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari al-Kufi al-Baghdadi (113-182 H), yang lebih populer dengan sebutan Abu Yusuf, merupakan putra ideologis Imam Abu Hanifah yang setia melanjutkan estafet perjuangan keilmuan dan mazhabnya.
Abu Yusuf sempat menjadi Qadhi pada masa pemerintahan tiga orang Khalifah Dinasti Abbasiyah, Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Al-Rasyid. Bahkan, konon, beliaulah orang yang pertama kali digelari Qadhi al-Qudhah (Hakim Agung).
Kecintaan Abu Yusuf kepada ilmu tak pernah layu, bahkan hingga detik-detik terakhir kehidupannya. Ceritanya, pada saat beliau berada di atas kasur pembaringan, pingsan dengan nafas yang tersengal-sengal, orang-orang berkerumun menjenguknya. Satu di antara mereka adalah Ibrahim bin al-Jarrah yang tak lain adalah murid beliau.
Nah, tatkala Abu Yusuf siuman, tiba-tiba, tanpa terkira, beliau mengajak Ibrahim berdiskusi. Sontak Ibrahim menolak, sebab kondisi gurunya yang begitu sekarat.
Namun Abu Yusuf memulainya dengan melontarkan sebuah pertanyaan, “Ibrahim, mana yang lebih utama, melempar jamrah (dalam ritual ibadah haji) dengan berjalan kaki atau berkendara?” “Berkendara,” jawab Ibrahim. “Salah!” sangkal Abu Yusuf. “Berjalan kaki.” “Salah juga!”
Akhirnya, Abu Yusuf menjelaskan, “Pada tugu jamrah yang dianjurkan berhenti untuk berdoa (jamrah kesatu dan kedua), lebih utama melempar dengan berjalan kaki. Sementara itu, pada tugu jamrah yang tidak dianjurkan berhenti untuk berdoa (jamrah ketiga), lebih utama melempar sambil berkendara.”
Selang beberapa saat, Ibrahim beranjak keluar kamar. Dan, sebelum langkahnya mencapai pintu, innalillahi wa inna ilaihi raji’un, Abu Yusuf telah meninggal dunia. Rahimahullah Ta’ala.
Beberapa potong kisah di atas yang dikutip oleh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam Qimatuz Zaman ‘indal ‘Ulama’ dari berbagai sumber primer cukuplah menjadi otokritik bagi kita. Mereka sedemikian menghargai waktu, lalu bagaimanakah dengan kita?!