Menu Tutup

Murid Kurang Ajar pada Guru, Semua Gara-gara Kak Seto?

DatDut.Com – Setiap kali keliling daerah dan bertemu para guru, saya sering bertanya, “Kenapa murid-murid sekarang cenderung berani dan kurang ajar, sementara gurunya cenderung tidak berani berbuat apa-apa?”

Umumnya guru-guru dengan seragam menjawab, “Gara-gara Kak Seto!” Dan, jawaban itu bukan sekali dua kali saya dapat, tapi puluhan kali dan di banyak tempat. Saya tidak begitu mengerti kenapa Kak Seto dibawa-bawa dalam masalah ini.

Diakui atau tidak, Kak Seto memang sudah jadi ikon di benak publik terkait perlindungan anak. Mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dikenal publik karena selalu muncul di ranah publik dalam setiap masalah kekerasan dan kasus-kasus yang melibatkan anak. Maka, hingga kini banyak yang masih mengira Kak Seto masih ketua KPAI.

Nah, pada konteks itu pula sepertinya Kak Seto selalu dikait-kaitkan dengan ketidakberdayaan dengan kenakalan dan bahkan kekurangajaran murid terhadap guru, yang kemudian berbuah banyak kasus murid yang berani memukul guru, dan bukan sebaliknya.

Guru seperti ketakutan bersikap pada murid-murid yang kelewat nakal. Bahkan untuk melarang kenakalannya saja, guru perlu berpikir ribuan kali, apalagi membentak dan memukulnya. Nah, kegamangan para guru inilah yang ditangkap oleh anak-anak bandel dan brutal itu. Ia manfaatkan kondisi itu untuk berbuat semaunya, toh guru tak akan berani padanya.

Dalam konteks ini, perlu direnungkan kembali bagaimana definisi dan cakupan “perlindungan anak” itu. Apakah kita memang perlu mengekor mentah-mentah teori dan definisi dari Barat soal “perlindungan anak” lalu menerapkannya di sini dengan tanpa menyaring dan menyesuaikannya berdasarkan situasi dan kondisinya?

Kalau itu yang terjadi, kasihan sekali para guru itu. Dulu waktu mereka jadi murid, mereka jadi korban dari kekuasaan penuh guru-gurunya dulu. Sekarang, mereka jadi bulan-bulanan murid-murid yang merasa dapat angin segar karena merasa dilindungi oleh dalih “perlindungan anak”.

Saya perlu juga menegaskan bahwa zaman memang telah berubah. Tapi, membiarkan anak-anak tumbuh hanya raganya, tanpa jiwa, itu juga berbahaya. Mempedulikan perlindungan raga anak, tidak pada perlindungan jiwa anak juga berbahaya.

Anak-anak yang selalu dimanja, dipenuhi, dibela, adalah anak-anak yang tidak akan tumbuh sehat jiwanya. Ia tak akan berkembang jiwanya, sementara raganya tumbuh secara tak terkendali. Inilah yang membuat anak-anak itu nakal, bandel, anarkis, dan bahkan cenderung brutal.

Yang juga perlu dicamkan juga KPAI perlu menggali nilai-nilai kearifan lokal yang memang sudah terbukti berhasil dalam pendidikan anak dan menjadikannya punya karakter dan jiwa sebagai anak Indonesia, bukan anak dari negeri di luar sana.

Biar saja dia dihukum berdiri di depan kelas bila dia salah. Sesekali guru boleh menjewer bila si murid memang sudah kelewat nakalnya. Sekolah pada batas-batas tertentu boleh menghukum siswa untuk membersihkan toilet sekolah atau mengitari lapangan olahraga. Dan, orangtua juga diberitahu soal ini, agar mereka tidak kaget dan emosional membela anaknya yang sebetulnya sedang melakukan kesalahan.

Menurut saya, ini penting agar memori di benak publik soal kekurangajaran anak tak lagi dikait-kaitkan dengan Kak Seto. KPAI juga tak dicatat dalam sejarah sebagai lembaga yang turut membuat anak-anak Indonesia menjadi tidak berbudi pada guru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *