DatDut.Com – Pada usia 20 tahun (1888), Darwisy kembali ke Yogyakarta dan ia pun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Dua tahun berselang pada usia 22 tahun, Darwisy menunaikan ibadah haji.
Kesempatan menunaikan ibadah haji tersebut ia pergunakan sebaik-baiknya untuk belajar pada seorang guru bermazhab Syafi’i yang bernama Sayid Bakir Syaththa di Makkah, selama kurang lebih dua tahun. Tokoh inilah yang mengganti namanya menjadi K.H. Ahmad Dahlan, terinspirasi dari nama mufti Syafiiyyah dari Kota Mekah, Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan.
Pada Usia 35 tahun, untuk kali kedua Kiai Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji bersama putranya, Siraj Dahlan yang masih berumur 13 tahun. Selama 1,5 tahun mereka bermukim di Mekah guna memperdalam ilmu fiqih pada Syaikh Saleh Bafadal, Syaikh Sa’id Yamani, dan Syaikh Sa’id Babusyel. Beliau juga belajar ilmu Hadis pada mufti mazhab Syafi’i, ilmu falaq pada Kiai Asy’ari Bawean, ilmu qiraat (langgam bacaan al-Quran) pada Syaikh Ali Misri Mekah.
Kepulangannya yang kedua dari Makkah inilah yang kemudian menjadi tonggak Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 M. Sahabat santrinya dulu, yang telah dikenal sebagai Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ary mendirikan Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M.
Bakat K.H. Ahmad Dahlan dalam memimpin sudah terlihat dari kecil. Darwisy kecil gemar bermain petak umpet, gobag sodor, dan sepak bola. Ia tak pernah absen bermain bola bersama teman-temannya ketika menjelang sore. Biasanya, Darwisy dan teman-temannya bermain sepak bola seusai mengaji pada sore hari di bawah bimbingan Kiai Kamaludiningrat di Masjid Gede Kauman.
Darwisy dan kawan-kawannya sering bermain bola tak jauh dari tempat mereka mengaji, yakni di alun-alun utara, atau sesekali di alun-alun selatan yang tak jauh dari rumahnya. Walaupun permainan yang berlangsung sering tidak berpihak pada timnya, tidak menjadikan jiwa dan raga Darwisy lesu. Ia tetap semangat walaupun telah dicederai pihak lawan. Bahkan ia tidak mendendam akibat permainan curang itu. Di sinilah etos kedisiplinan dan kejantanan dijunjung tinggi oleh Darwis.
Tak heran jika kelak Darwisy yang kemudian dikenal sebagai K.H. Ahmad Dahlan berubah menjadi orang besar dan berkharisma dalam memimpin organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan. Sejak kecil, beliau secara alamiah memang terlatih sebagai pemimpin yang dicintai.
Saat memimpin, beliau menekankan strategi dan kerja sama yang dibangun bersama dalam tim. Hingga kini, Muhammadiyah yang didirikan pada 1912 dikenal sebagai organisasi dengan kepemimpinan secara kolegial. Kepemimpinan model ini tidak menonjolkan kharisma seseorang, melainkan dengan kerja sama dan mencari titik temu jika terjadi perbedaan di antara para pemimpin.
Berdasar karakter kepemimpinan tersebut, maka proses generasi pelanjut dapat berlangsung nyaris tanpa hambatan. Masyarakat pun akan lebih mengenal amal usaha Muhammadiyah, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya, tinimbang nama pemimpinnya.
Langkah yang dipilih K.H. Ahmad Dahlan demi mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), Magelang, dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis, Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.
K. Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Tersirat jelas pada sebuah nasihat dalam bahasa Arab yang ia tulis untuk dirinya sendiri:
“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab (perhitungan), surga, dan neraka. Dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat padamu, dan tinggalkanlah lainnya.” (Teks ini merupakan terjemahan Jarnawi Hadikusumo).
Selain itu, kebiasaan K.H. Ahmad Dahlan mengajar pendidikan agama dengan media biola terbilang fenomenal dan tidak lumrah bagi masyarakat Kauman—tempatnya tinggal—kala itu. Mereka bahkan menganggap apa yang diajarkan oleh Kiyai Dahlan adalah pelajaran orang kafir.
Kendati demikian, Kiai Dahlan terus menjalankan kebiasaan ini tanpa merasa takut atau gentar. Dalam banyak kesempatan ia malah terus bermain biola. Sesungguhnya, dengan biola, Kiai Dahlan ingin mengajarkankan pada para santrinya bahwa hidup adalah keselarasan. Jika tidak selaras sesuai tuntunan agama, maka hidup akan berantakan. Seperti halnya biola, jika tidak dipetik dengan piawai, bunyi yang dihasilkan tidak beraturan.
- Pengumuman Kelulusan Sertifikasi Dai Moderat ADDAI Batch 3 - 2 September 2023
- ADDAI Akan Anugerahkan Sejumlah Penghargaan Bergengsi untuk Dai dan Stasiun TV - 18 November 2022
- ADDAI Gelar Global Talk Perdana, Bahas Wajah Islam di Asia Tenggara - 7 Oktober 2022