Menu Tutup

Ini Pandangan Gus Dur tentang Jihad dalam Konteks Indonesia

DatDut.Com – Salah satu yang menarik dari sosok Gus Dur adalah pandangan-pandangannya yang segar dan sering kontroversial. Salah satu yang unik terkait pandangan Gus Dur seputar jihad di Indonesia.

Pandangan Gus Dur mengenai jihad di Indonesia ini disarikan dari pidatonya yang dimuat oleh majalah Aula (03/XIX-03/97), pada acara buka puasa bersama PW GP Ansor bersama OKP dan para pemimpin umat Kristiani Jawa Timur, 4 Februari 1997 di Hotel Simpang Surabaya.

Dalam pandangan Gus Dur, mengutip kitab I’anah al-Thalibin, jihad itu fardu kifayah yang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin (Indonesia) paling tidak sekali setiap tahun (al-jihad fardhu kifayah marrah kull ‘am).

Menurutnya, bentuknya bisa bermacam-macam. Pertama, itsbat wujudillah (menegakkan wujud Allah). Contohnya, orang azan. Orang azan itu sudah berjihad karena ia telah membuktikandan memantapkan wujudnya Allah. Kalimat azan yang disuaralantangkan merupakan penegasan bahwa Allah itu Mahabesar dan Mahaada.

Kedua, iqamat hududillah (menegakkan hukum Allah). Berkaitan dengan menegakkan hukum Allah ini masih ada kontroversi di antara ulama, namun yang perlu dicatat bahwa dalam penjelasannya tidak terdapat sedikit pun ungkapan yang mengharuskan dengan memakai cara-cara kekerasan.

Berkaitan dengan yang kedua tersebut, Gus Dur bercerita. Suatu ketika Gus Dur bepergian bersama paman dari ibunya naik Kereta Api hendak ke Jakarta. Ketika itu bulan puasa. Pada waktu sahur paman ibu Gus Dur sahur. Gus Dur bersama paman ibunya naik kereta dari Jombang jam 06 pagi. Sampai di Kertosono jam 06.15. Pada saat menunggu kereta tiba-tiba paman ibu Gus Dur mampir ke restoran. Oleh GusDur kemudian ditegur.

“Lho, Kakek kok lapar lagi. Ini kan masih baru Kertosono. Hanya 16 km dari Jombang?”

“Yang penting itu perginya. Jangan diukur jaraknya. Ini maunya pergi jauh. Dari pada nanti dalam kereta tidak dapat makan, lapar. Dari sekarang saja makan. Sudah betul, boleh tidak puasa. Wong niatnya berjalan jauh kok,” jawab paman ibu Gus Dur.

Dari sini Gus Dur berpandangan bahwa hukum agama itu bisa begitu longgar dan bisa sempit. Tergantung bagaimana kondisinya, yang penting dipakai untuk diri sendiri. Gus Dur menekankan bahwa dalam keterangan I’anah al-Thalibin tidak ada penjelasan yang bernuansa berlaku galak dan bengis dalam penerapan jihad kedua ini.

Dengan berpuasa seseorang telah berjihad menegakkan hukum Allah. Namun tidak jarang ditemukan berpuasa dengan tidak batal belum cukup bagi sebagian orang. Berjihad itu dengan harus melarang orang lain yang tidak berpuasa bahkan dengan cara-cara yang keras. Namun pada sebagian orang ada pula yang keterlaluan, sudah diingatkan baik-baik untuk berpuasa ia tidak mau malah membuka warungnya dengan tidak bertirai. Ini yang repot.

Ketiga, qital fi sabilillah (beperang di jalan Allah). Menurut Gus Dur yang mengambil konsep jihad dari I’anah al-Thalibin, hal ini apabila kaum muslimin diserang. Kalau tidak diserang, maka tidak terjadi perang.

Keempat, daf’u dharar ma’shumin (mencegah kerusakan dari orang yang dilindungi Islam). Siapakah yang ada dalam lindungan Islam? Jawabannya, orang muslim atau nonmuslim yang hidup dalam suatu masyarakat atau suatu negara. Jadi, hidup bersama ini merupakan ukuran, yaitu ukuran untuk menerapkan jihad secara tepat.

Bentuknya, pertama berupa bi al-ith’am fi halatil idhrar (penyedian pangan di kala dibutuhkan). Gus ur menyontohkan dalam hal ini pada konsep Dolog, Bulog (era Orde Baru), yaitu membuat harga makanan terjangkau oleh rakyat kecil dan tidak boleh ada penimbunan barang.

Kemudian kedua, wa al-ikhsya’ li satril ‘aurat (sandang yang cukup untuk semua warga negara). Seumpamanya, setiap orang perlu tiga stel pakaian, perorang butuh tiga meter kain, maka kira-kira setahun butuh sepuluh meter. Ini berarti bangsa ini kira-kira harus menyediakan 1,8 milyar meter kain tekstil setiap tahun untuk melindungi aurat warganya. Maka, ini namanya sudah berjihad, yaitu dengan menyediakan stok tekstil.

Kemudian terakhir ada konsep iskan (penyedian papan), dan tsaman al-dawa’ wa ujratit tamrid, (harga obat dan biaya perawatan yang terjangkau oleh rakyat). Dalam prakteknya ini semisal puskesmas, bidan di desa-desa atau di kecamatan.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa jihad itu sangat mudah sekali, gampang untuk segera diaktualisasikan dan bahkan sudah dikatakan teraplikasikan dalam bentuk nyata sesuai dengan bidang garapan masing-masing warga masyarakat

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *