Menu Tutup

Jangan Dikit-dikit Tanya Mana Dalilnya pada Ustaz dan Kiaimu! Itu Tanda Kurang Adab

DatDut.Com – Adakah yang punya bayi umur setahun? Punya atau tidak, pasti kamu tahu jenis makanan apa yang bisa dikonsumsi bayi seumuran itu. Yang pasti bukan gorengan, sate kambing atau es kopyor. Bagaimana jika si bayi kita kasih beras?

Pasti nggak mungkin. Berpikir seperti itu pasti dianggap becanda, apalagi benar-benar mencobanya, mungkin kamu akan dianggap nggak waras. Hehe. Bayi dan beras di atas itu sekedar sebuah tamsil, sebuah permisalan yang merefleksikan kondisi faktual kekinian. Kondisi yang bagaimana tuh?

Begini ceritanya. Di suatu tempat dan suatu saat, ada seorang yang memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu sehingga menjadikannya rajin dalam menghadiri majelis ilmu yang diselenggarakan di kantornya tiap pekan.

Diisi oleh beberapa penceramah yang di antaranya adalah pengisi tetap, materi yang dibawakannya pun terdiri dari berbagai macam tema. Ada yang mengenai akhlak, sirah nabawiyah, tafsir ataupun tema-tema yang tengah up to date.

Dalam sebuah kesempatan, saat sang penceramah memberikan waktu untuk tanya jawab, si fulan tersebut bertanya tentang sesuatu hal. Dan di penghujung pertanyaannya, dia menyelipkan kalimat,”Apakah ada dalilnya?”

Sebenarnya tidak salah menanyakan hal itu, tapi hal itu justru menimbulkan pertanyaan di benak saya. Apakah sebegitu perlunyakah dalil bagi seorang awam seperti kami ini? Apakah tidak tepat jika kami mencukupkan diri dengan perkataan orang yang lebih alim, faqih lagi mengerti agama? Haruskah semua yang kami dengarkan harus berakhir dengan “Quran surah…” atau “diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim..dsb ”?

Sejenak, saya teringat pada adik bayi kita di atas. Dalil itu ibarat padi. Dia berasal dari hamparan sawah yang luas, yang kemudian dipanen oleh pak tani dan bu tani. Berbagai ragam beras dihasilkan, dari yang baik mutunya sampai yang kurang baik. Tapi yang pasti, nggak ada beras plastik. Setelah dipanen, apakah langsung bisa dimakan?

Tentu tidak, bahan pangan tadi harus diolah terlebih dahulu. Yang tadinya berwujud beras, kecil tapi keras, harus ditanak dulu. Baru kalau sudah berwujud nasi, kita bisa mengkonsumsinya.
Lalu apakah anak kita yang umurnya setahun itu sudah bisa makan sendiri?

Ternyata tidak, dia harus disuapi olahan nasi yang barusan dimasak oleh ibunya. Dipenyet-penyet biar halus atau kalau nggak dibikin bubur sekalian. Nah, itulah kita: bayi yang masih harus disuapi.
Kita, yang awam dalam beragama, yang masih harus membutuhkan guru dalam mengkaji ilmu.

Ilmu yang harus diperoleh secara talaqqi (berguru) melalui sanad (jalur keilmuan) yang jelas, yakni kita belajar dari guru kita, guru kita berlajar dari gurunya, gurunya belajar dari gurunya lagi, terus bersambung dan akhirnya sampai pada ulama salaf, tabi’ittabi’in, tabi’in, sahabat dan berpangkal pada pembawa risalah, Rasullullah shallallaahu’alaihi wasallam.

Padi tadi ibarat peninggalan nabi yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan beliau yang biasa kita sebut sebagai hadits qauliyah (ucapan), fi’liyah (tindakan), dan taqririyah (keputusan). Bahan pokok ini harus melalui proses dahulu oleh ahlinya, itulah permisalan untuk mendiskripsikanahli ilmu / ulama. Mereka yang mengerti cara mengolahnya agar bisa dikonsumsi dengan perangkat ilmu yang mereka miliki.

Ahli tafsir (mufassirin) ialah mereka yang mampu mengurai Quran dengan ilmunya. Ulama hadits (muhadditsin) ialah mereka yang mampu menyimpulkan mana hadits mutawattir, shahih, hasan, dha’if, maudhu’ dan lain sebagainya.

Sedangkan ulama fiqih (fuqaha) adalah ahli istinbath sehingga kita bisa mengetahui mana yang wajib-sunah-mubah-makruh-haram, yang belum bisa kita peroleh hanya dengan membaca Quran maupun hadits, atau kitab-kitab yang ditulis oleh para ahli hadits.

Orang yang menyuapi kita itu, adalah guru-guru kita yang memberikan bimbingannya berdasar keilmuan yang dimilikinya. Begitulah kira-kira kisah padi dan bayi yang membuat saya masih tidak mampu berkata “Mana dalilnya?” kepada pak guru, asatidz atau masyayikh, karena dijawab pakai dalil apa pun, saya mesti juga nggak tahu benar tidaknya.

والدليل عليه أن وجود الأدلة بالنسبة إلى المقلدين وعدمها سواء؛ إذ كانوا لا يستفيدون منها شيئا؛ فليس النظر في الأدلة والاستنباط من شأنهم، ولا يجوز ذلك لهم ألبتة

“Dasarnya adalah ada dan tidaknya dalil bagi orang awam itu sebenarnya sama saja. Karena mereka belum bisa mengambil faedah dari dalil-dalil itu. Menganalisis dalil-dalil syar’i bukanlah tugas mereka. Bahkan tidak boleh sama sekali mereka melakukan itu.” (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 337)

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *