Menu Tutup

Ini 5 Keunikan di Balik Pena Khas Pesantren

DatDut.Com – Beberapa waktu lalu telah penulis bahas tentang keunggulan makna ala pesantren salaf. Kini saya ingin ungkapkan fakta unik bagaimana santri menyiapkan pena untuk memaknai kitab. Tetapi, di masa sekarang, tradisi memaknai dengan pena khusus makna tradisional ini sudah tergolong langka. Digantikan dengan pena makna yang lebih instan bermerek Hi-tech.

Namun, sebagus apa pun hasil coretan makna dengan pena Hi-tech, tetap tak mengalahkan goresan pena makna dan tinta tradisional. Tinta makna tradisional menempel di atas kertas dan tidak meresap. Beda dengan tinta modern yang meresap, sehingga kelak akan pudar, lebih-lebih jika terkena air atau hawa lembab. Tinta makna tradisional yang sempurna proses pembuatannya akan menghasilkan tulisan yang semakin lama semakin hitam.

Penasaran bagimana proses pembuatan pena dan tinta makna ala pesantren salaf? Berikut ini lima tahapnya.

1. Serat Batang Pisang

Serat merupakan bahan dasar untuk menampung air dan tinta cair. Serat yang dipakai adalah dari batang pohon pisang yang telah dipetik buahnya. Batang pisang itu dikelupas hingga tinggal batang intinya. Nah, batang inti yang disebut ares (Jawa) itulah dipotong kecil-kecil.

Saat pemotongan nampak serat-serat yang harus diambil sebelum dua potongan kecil terpisah. Proses ini biasa dilakukan dua orang. Yang seorang menarik potongan agar serat batang pisangnya nampak, dan yang seorang mengambilnya dengan cara memilin serat itu memakai kayu bercabang. Serat itu terus dipilin hingga terkumpul cukup banyak. Serat selanjutnya dijemur hingga kering.

2. Menggosok Tinta

Tinta makna sebenarnya adalah tinta cina. Biasanya berbentuk batangan. Butuh ketekunan dan kesabaran untuk melebur batangan tinta yang keras itu agar berubah menjadi tinta. Sebatang tinta cina digosokkan ke piring berisi air secukupnya.

Proses ini memakan waktu cukup lama. Kalau dipaksakan, misalnya biar cepat lalu tinta batangan digosok dengan batu asah, maka hasilnya tinta akan banyak gumpalan dan tidak nyaman dipakai.

3. Wadah Kuningan

Selanjutnya harus menyiapkan wadah yang terbuat dari kuningan/tembaga. Kenapa harus kuningan? Proses penyatuan antara tinta yang sudah cair dan batang pisang, selalu menimbulkan bau tak sedap. Nah, biasanya kalau menggunakan wadah kuningan, tinta tidak menimbulkan bau tersebut.

Biasanya wadah tinta kuningan yang disediakan di toko-toko peralatan tulis pesantren terlalu kecil. Santri menyiasati hal ini dengan menggunakan wadah berbahan plastik. Untuk mencegah timbulnya bau busuk, di dalamnya disertakan sebuah uang logam kuning. Uang pecahan/receh lima ratusan kan ada yang warnanya kuning. Pemilihan wadah dan pembuatan tinta yang tidak sempurna biasanya menghasilkan tinta yang berbau busuk.

4. Batang Pena dan Mata Pena

Batang pena dan mata pena makna adalah bagian selanjutnya yang harus dipersiapkan. Batang pena menyediakan lobang seukuran pangkal mata pena pada ujungnya. Mata pena dipasang pada lobang itu. Biasanya sudah pas sehingga bisa menancap kokoh.

5. Mengasah Mata Pena

Proses yang paling akhir dan membutuhkan kemampuan khusus adalah mengasah mata pena. Mengasah mata pena hingga nyaman dan baik dipakai, membutuhkan skill dan pengalaman. Tidak setiap santri bisa menghasilkan mata pena yang nyaman dipakai orang lain. Terkadang ada yang sekedar bisa mengasah untuk dipakai sendiri.

Dalam mengasah mata pena, biasanya menggunakan batu asah untuk pisau. Ada juga yang memakai amplas no. 1 yang paling halus. Mata pena yang baru diasah lalu ditusuk-tusukkan ke dalam pasir halus. Ini berfungsi untuk menghaluskan hasil asahan. Lalu pena dites dengan mencelupkan ke tinta lalu mencoret-coret diatas kertas untuk mengetahui apakah hasil asahan sudah sesuai yang diinginkan atau belum.

Cukup rumit ya prosesnya. Karena itulah, santri zaman sekarang memilih yang lebih instan dan enak, yaitu menggunakan pena Hi-tech dengan ujung berukuran 0,1 mm. Secara ekonomi pena tradisional sangat murah dan awet.

Sebatang tinta yang telah dilebur dan disatukan dengan serat bisa dipakai berbulan-bulan. Kalau terasa agak kering tinggal menambahkan air. Kalau tinta sudah agak pudar warnanya tinggal menambahkan tinta lebur lagi. Sedang pena Hi-tech, selain harganya mahal juga cepat habis. Semakin jarangnya santri yang memakai pena makna tradisional membuat pemakaian pena makna tergolong fenomena yang semakin langka di kalangan santri.

nasrudin maimun

Kontributor : Nasrudin | Penggemar martabak dan bakso

FB: Nasrudin El-Maimun

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *