Menu Tutup

Ini 5 Karamah Kiai Kholil Bangkalan yang Menakjubkan

DatDut.Com- Siapa yang tidak kenal dengan kiai yang satu ini, Kiai Kholil Bangkalan. Tidak berlebihan jika beliau dijuluki “Syaikhana” Kholil, karena mayoritas kyii-kiai dan ulama Nusantara berguru dan nyantri kepada beliau (Baca: Kisah Nyentrik Kiai Kholil Bangkalan dengan 5 Muridnya).

Nama lengkap beliau Muhammad Kholil, dilahirkan pada 11 Jamadil akhir 1235 atau 27 Januari 1820 M. di Bangkalan-Madura. Wafat dalam usia 103 atau 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341/14 Mei 1923 M. Ayah beliau bernama K.H. Abdul Lathif yang bernasab kepada Sunan Gunung Jati.

Belajar agama harus punya sanad atau tranmisi keilmuan. Kata Ibnul Mubarok al-Isnadu minad din, laulal isnad laqola man sya’a ma sya’a “Sanad (keilmuan) itu bagian agama, kalau tidak ada sanad tentu orang-orang berkata semaunya.” Nah, demikian juga Syaikhana Kholil memiliki transmisi keilmuan kepada Kiai Muhammad Nur PP. Langitan-Tuban, PP. Cangaan- Bangil, PP. Keboncandi, Kyai Nur Hasan PP. Sidogiri dll.

Pada 1276 H atau 1859 M., beliau nyantri ke Mekah kepada Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syekh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani dll.

Sependek penelusuran saya dari beberapa sumber—Buku Biografi dan Karamah Kiai Kholil Bangkalan dll—beliau memiliki 25 Karamah, berikut ini 5 Karamah-nya yang paling nyentrik menurut saya:

1. Tertawa Keras saat Salat

Pada suatu hari, saat salat jamaah yang dipimpin oleh seorang kiai di sebuah pesantren tempat Kiai Kholil muda mencari ilmu, beliau tertawa cukup keras sehingga teman-temannya takut kalau-kalau kiai akan marah karena sikapnya itu.

Benar dugaan mereka, setelah selesai salat sang kiai menegur Kiai Kholil muda atas sikapnya tersebut yang memang dilarang dalam Islam. Ternyata, Kiai Kholil muda masih terus tertawa meskipun kiai sangat marah terhadapnya.

Akhirnya Kiai Kholil muda menjawab bahwa ketika salat berjamaah berlangsung dia melihat sebuah berkat (makanan yang dibawa pulang sehabis kenduri) di atas kepala sang Kiai. Mendengar jawaban tersebut, sang kiai sadar dan malu atas salat yang dipimpinnya. Karena sang kiai ingat bahwa selama salat berlangsung, dia memang merasa tergesa-gesa untuk menghadiri kenduri sehingga mengakibatkan salatnya tidak khusyuk.

2. Ke Mekkah Naik Kerocok

Suatu sore di pantai Bangkalan, Kiai Kholil ditemani oleh Kiai Syamsul Arifin (Abahnya Kiai As’ad Syamsul Arifin Asembagus-Situbondo), salah satu muridnya yang juga sahabatnya tengah berbincang tentang pengembangan pesantren dan persoalan umat Islam di daerah Madura. Persoalan demi persoalan dibicarakan, dan tidak terasa matahari hampir tenggelam. Sedangkan kiai Kholil dan sahabatnya tersebut belum salat Asar.

“Kita belum salat Asar, Kiai,” kata Kiai Syamsul Arifin.
“Astaghfirullah…,” Kiai Kholil menyadari kekhilafannya.

Kiai Syamsul berkata bahwa saat itu waktu sudah hampir habis dan tidak mungkin bisa melakukan salat Asar secara sempurna. Kiai Kholil memohon agar Kiai Syamsul mencari Kerocok (sejenis daun aren yg dapat mengapung di air). Kiai Syamsul heran, untuk apa Kerocok itu, bertanyalah beliau kepadanya. Kiai Kholil hanya menjawab dengan tersenyum sembari berkata, “Ya, kita pakai ini untuk pergi ke Mekah.”

Setelah mendapat kerocok, Kiai Kholil naik ke atasnya dan diikuti oleh Kiai Syamsul. Beberapa saat Kiai Kholil menatap ke arah barat. Dan tiba-tiba kerocok yang dinaikinya melesat dengan cepat dan sulit diikuti pandangan mata. Sesampainya di Mekah, azan salat Asar baru saja dikumandangkan. Setelah mengambil air wudu, dua kiai besar itu segera menuju saf pertama berjamaah di Masjidil Haram.

3. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk

Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk nyabis (Bahasa Madura artinya sowan) ke Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, didapati beliau sedang mengajarkan kitab Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ jawab Mbah Kholil.

Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”

“Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kiai penangkalnya,” kata petani dengan nada memohon penuh harap.

Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai Kholil kebetulan sampai pada kalimat “qama zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada kalimat “qama zaidun”.

“Ya… Karena pengajian ini sampai qoma zaidun, ya.. qoma zaidun ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap. “Sudah, Pak Kiai?” ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya. “Ya, sudah,” jawab Mbah Kholil menandaskan.

Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.

Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.

Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi.

Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.

4. Membelah Diri

Karamah lain dari Kiai Kholil adalah kemampuannya membelah diri. Beliau bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Kiai Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup. Para santri heran, sedangkan beliau sendiri tampak tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Kemudian beliau masuk rumah, ganti baju.

Beberapa minggu kemudian keanehan itu terjawab. Pasalnya, ada seorang nelayan nyabis ke Kiai Kholil. Dia menyampaikan terimakasihnya karena saat perahunya pecah di tengah laut ditolong oleh Syaikhana Kholil.

“Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Kiai Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karamah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar K.H. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman.

5. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika

Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” diterangkan bahwa Kiai Kholil termasuk salah satu guru Syekh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karamah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:

“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura itu berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil, muncul Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata “Mana orang itu?! Biar saya bacok sekalian.

Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.”

Karamah-karamah di atas terasa aneh dan janggal di otak realistis kita. Karena memang karamah bukan dicerna pakai otak tapi dengan keyakinan. Karena otak atau teknologi kita saja yang sejatinya belum sampai ke sana. Dulu di zaman Nabi mustahil akan ada pesawat terbang. Tapi kini itu bukan mustahil.

Dalam kitab al-Luma’ dikisahkan suatu waktu santrinya Syekh Yazid Al-Busthomi bertanya kepada gurunya “Bisa enggak manusia terbang?” Syekh Yazid menjawab “Loh, kamu kok tanya begitu! Syetan saja bisa terbang dari timur ke barat dalam waktu sekejap! Itu syetan atau jin apalagi manusia yang telah Allah muliakan, walaqod karromna bani adama ‘Sungguh kami telah muliakan Bani Adam’. Sang santri bertanya lagi “Bisa enggak manusia berjalan di atas air?” Dengan agak kesal sang guru menjawab “Kamu itu bagaimana, itik, bebek saja bisa berjalan di atas air, padahal itu binatang, apalagi manusia.

Artinya, manusia itu bisa terbang dan berjalan di atas dengan otak atau hatinya. Otaknya menciptakan pesawat, kapal laut dan kapal selam sedangkan hatinya menciptakan karamah-karamah. Wallahu a’lam

alvianKontributor: Alvian Iqbal Zahasfan | Alumni PP. Nurul Jadid, pecinta wali

Baca Juga: