Menu Tutup

Idhatun Nasyi’in, Kitab Pembakar Semangat Kaum Muda

DatDut.Com – Kitab Idhatun Nasyi’in adalah karya Syekh Musthafa al-Ghalayini. Lahir di Beirut pada tahun 1886 M/ 1303 H, dan wafat 17 Februari 1944 M. Beliau seorang ulama salah satu alumni al-Azhar. Tak hanya sebagai ulama besar, al-Ghalayini juga merupakan ahli bahasa, ahli hukum, wartawan, penceramah, dan pakar sastra.

Setelah kembali ke Beirut beliau bergabung dan mengajar di Universitas Uthmaniyyah. Selain itu, ia juga mengajar di beberapa sekolah di Beirut. Salah satunya  adalah Universitas Islam milik Syaikh al-Azhary, Madrasah Sulthaniyyah dan Universitas Syar’iyyah. Sebagai  wartawan dan pengarang al-Ghalayini telah menerbitkan majalah Al Nibras pada tahun 1902 M.

Idhatun Nasyi’in adalah salah satu karyanya yang populer di kalangan pesantren. Selain kitab ini, karyanya yang populer adalah Jami’ ad-Durus al-Lughawiyyah yang membahas berbagai masalah rumit ilmu nahwu. Idhatun Nasyi’in sendiri merupakan satu dari beberapa karya tulisnya tentang pendidikan, politik, kemasyarakatan, motivasi, dan metode pengajaran.

Kitab Idhatun Nasyi’in memang menadapat tempat tersendiri di pesantren. Bahkan di antaranya ada yang menjadikan kitab ini sebagai materi pelajaran pokok. Ada juga yang menjadikannya sebagai kitab kajian untuk pengajian bandongan sehari-hari atau dalam pangajian kilatan bulan Ramadhan. Apa saja fakta di balik tenarnya kitab Idhatun Nasyi’in? Berikut ini 5 ulasannya:

1. Kosakata Bahasa yang Unik

Kitab setebal 192 halaman ini terbagi dalam 46 bab. Berbeda dari umumnya kitab pesantren yang arti kosakatanya rata-rata mudah dan akrab terdengar di telinga santri, Idhatun Nasyi’in memiliki kosakata yang cenderung kontemporer. Bahasa-bahasa ilmiah dan akademik yang telah diserap dalam bahasa Arab banyak dijumpai dalam kitab ini.

Selain istilah tertentu, ungkapan-ungkapan dengan gaya bahasa yang tinggi banyak menghiasai uraiannya. Mungkin memahami bahwa tidak semua pembacanya akan mengerti dengan arti kata maupun ungkapan yang dipakai, dalam setiap halaman nyaris selalu disertakan catatan kaki untuk menjelaskan arti padanan kosakata tertentu dalam halaman tersebut.

2. Berasal dari Artikel Bersambung

Dalam mukadimah kitab ini, Syekh Musthafa menjelaskan bahwa Idhatun Nasyi’in awalanya adalah tulisan-tulisan yang ia muat dalam surat kabar al-Mufid dengan judul Idhatun Nasyi’in. Dalam tulisan tersebut, beliau memakai nama pena Abu Fayyadh.  Tulisan-tulisannya ternyata banyak diminati pembaca sehingga diusulkan agar dibuat dalam bentuk buku.

3. Pendorong Semangat Pemuda

Sebagai kitab nasihat dan motivasi, kitab ini memang ditujukan untuk kalangan muda pelajar Islam. Dari 46 bab yang ada, kesemuanya merupakan anjuran dan motivasi meliputi nasionalisme, keberanian, pendidikan dan akhlak.

Dibandingkan dengan kitab sejenis di pesantren, Ta’lim al-Muta’alim misalnya, Idhatun Nasyi’in bisa dikatakan adalah pelengkap sisi yang kurang dari Ta’lim.

Kalau Ta’lim al-Muta’alim lebih menekankan tatakrama dan santri menjadi cenderung pasif, maka Idhatun Nasyi’in mendorong pelajar agar kritis dan terbuka.  Sehingga pembelajaran kitab ini dilakukan setelah penanaman adab ala Ta’lim sebagai penyeimbang.

4. Penanaman Nasionalisme

Hal yang paling menarik dari kitab ini adalah penanaman nasionalisme dan cinta tanah air. Al-Ghalayini menjelaskan, nasionalisme yang sebenarnya bukanlah hanya kecintaan pada bangsa dan negara.

Beliau mengatakan, “Wathaniyyah (cinta bangsa dan tanah air) yang sejati adalah cinta kebaikan dan mengabdi pada tanah air. Nasionalis sejati adalah orang yang rela mati demi kehidupan tanah airnya, rela sakit demi kesehatan bangsanya.”

5. Diajarkan Sejak Zaman Perjuangan

Menurut H.M. Fadlil Said An-Nadwi, Penerjemah Idhatun Nasyi’in ke dalam Bahasa Indonesia, kitab ini telah diajarkan di pesantren-pesantren pada zaman penjajahan Belanda. Dengan kitab yang berbahasa Arab, pihak penjajah sering tidak menyadari “bahaya” dari kitab ini.

Namun, akhirnya penjajah tahu bahwa kitab tersebut memuat ajaran yang membangkitkan semangat perlawanan umat Islam, khususnya generasi muda. sehingga akhirnya kitab Idhatun Nasyi’in dilarang pembacaannya.

Jika melihat muatan kitab ini, memang sangat cocok dan bisa menjadi bahan untuk membangitkan perlawanan atas penjajahan kala itu.

Penjelasan tentang semangat kebangsaan, memajukan umat, keberanian dan sebagainya akan sangat tepat untuk mengusik pembaca dan pendengar dalam kajian kitab ini. Inilah sebagian cara para ulama pesantren zaman dahulu untuk mendorong terwujudnya kemerdekaan.