Menu Tutup

Ketika Santri Melanggar, Ini 5 Hukuman ala Pesantren (Jangan Kaget!)

DatDut.Com – Santri di pesantren tak seluruhnya patuh dan taat pada aturan pesantren. Karena memang santri di pesantren memiliki latar belakang dan sejarah berbeda-beda. Ada yang sudah terdidik baik di keluarganya, ada yang dipesantrenkan karena keliwat nakal, ada pula orang yang taubat dari dunia kejahatan.

Perbedaan latar belakang tersebut menimbulkan bermacam-macam model watak dan perilaku santri. Ada yang patuh dan nurut, ada pula yang brutal dan bengal, bahkan ada yang liar suka berontak.

Santri yang cenderung ke arah pelanggaran aturan di pesantren pasti akan berhadapan dengan hukuman. Cepat atau lambat aksinya akan terbongkar dan akhirnya berbuah hukuman. Hukuman yang terlaku di pesantren tidak berupa hukuman fisik yang berbahaya. Lebih sering berupa hukuman yang arahnya mendidik. Hukuman fisik yang mungkin paling berat adalah digunduli.

Namun ada juga santri pelaku kriminal yang harus merasakan beberapa pukulan dan tamparan karena aksinya sudah kelewatan atau justru melawan pengurus. Nah, mari kita tengok apa saja hukuman terpopuler yang diterapkan di pesantren. Bagi alumni pesantren mungkin sekalian nostalgia waktu dihukum oleh Kamtib pesantren.

1. Ngaji

Ini hukuman paling ringan. Diterapkan kepada santri yang tidak ngaji atau sering tidak berangkat sekolah madrasah. Bagi pesantren yang mempunyai sekolah formal, banyak mencatat alpa di absen bisa juga berbuah hukuman ini.

Si santri yang dihukum ngaji harus membaca surat Yasin, Waqiah, atau pun Juz Amma, sesuai keputusan pengurus. Caranya, harus berdiri di depan masjid atau kantor kamtib ataupun di halaman madrasah. Jadi bukan baca alquran dengan santai sambil duduk dan bersial, tapi berdiri di tempat terbuka, kadang waktu panas, dan banyak santri lain melihat.

2. Digundul atau Dibotak

Digundul adalah hukuman yang setingkat lebih berat ketimbang disuruh ngaji atau baca Alquran. Pelanggaran yang dilakukan misalnya pergi jauh dari pesantren tanpa izin, sudah berkali-kali kena hukuman ringan tetapi masih melanggar dan sebagainya.

Biasanya pengurus keamanan tidak telaten untuk mencukur santri sampai bersih gundul. Triknya, rambut santri berkelakuan lebih tersebut dicukur acak-acakkan hingga tak mungkin dirapikan lagi selain dengan cara digundul.

Nanti di asrama, santri tersebut baru merapikan kepalanya dengan cukuran gundul. Sebagai tambahan, hukuman dengan digundul biasanya dikombinasikan dengan hukuman lain. Hal itu dilakukan biasanya karena pelanggarannya sudah semain berat.

3. Diceburkan ke Kolam atau Disiram Air Comberan

Beberapa pesantren memiliki kolam pemandian yang besar. Ada juga yang mempunyai kolam penampungan air limbah atau comberan yang besar. Kolam pemandian pada hari-hari tertentu, karena sudah waktunya dikuras dan dibersihkan, akan menimbulkan bau kurang sedap.

Pada saat itulah hukuman model ketiga ini dilaksanakan. Santri pelaku pelanggaran berat level 3 ini diceburkan ke kolam yang bau setelah dibotaki sebelumnya, lalu nanti berdiri di tempat terbuka sambil membawa papan tulis mengumumkan “dosanya”.

Pesantren lain yang memiliki comberan, menggunakan air comberan untuk menmberi efek jera terhadap pelaku pelanggaran. Hem, gak asyik kalau kepala gundul disiram comberan, ya.

4. Denda dan Sita Benda Terlarang

Hukuman berupa denda sebenarnya tergolong kontroversi dalam fikih. Menurut mayoritas ulama Syafi’iyyah tidak boleh menghukum dengan cara denda ataupun menyita harta benda sebagaimana disebutkan dalam kitab Bughyah Al-Mustarsyidin, I’anah At-Thalibin, Hasyiyah Al-Jamal, dan lain-lain.

Namun sebagian ulama menghukumi boleh mengambil (menyita) harta benda dengan tujuan menimbulkan efek jera bagi pelakunya, seperti yang disebutkan dalam kitab Madzahib Al-Arba’ah atau dalam Syarah Al-Yaqut An-nafis.

Karena masih ada ulama yang berpendapat boleh menghukum atau membuat jera dengan mengambil harta, maka inilah yang dijadikan dasar oleh pengurus. Selain itu, kalau benda terlarang untuk dibawa ke pesantren tidak disita, tentu sulit mengatasi masalah tersebut.

Benda-benda sitaan ini biasanya dihancurkan di depan umum untuk memperingatkan santri lain. Jadi, kalau Anda nekat memberi HP dan sejenisnya pada anak Anda di pesantren, jangan galau kalau nanti terjaring razia dan HP tersebut disita pengurus.

Ada juga pesantren yang sama sekali tidak menerapkan hukuman berupa denda. Alasannya karena anak orang kaya yang kurang ajar justru menyombongkan diri dengan memberi denda dua kali lipat dari yang ditetapkan. Sehingga, karena denda berpotensi mengenakkan yang kaya, siram air comberan merupakan pilihan yang lebih pantas untuk semua kalangan.

5. Dikembalikan ke Orangtua

Untuk urusan berat, pelanggaran berulang kali, pengurus akan memberikan hukuman terakhir mereka. Pengembalian kepada orangtua. Ada yang lebih ramah dengan menentukan masa hukuman, yaitu dikembalikan ke orangtua selama setahun. Berarti setahun kemudian si anak boleh didaftarkan lagi ke pesantren yang menghukumnya.

Pelanggaran yang dilakukan biasanya terkait minuman keras, narkoba, hubungan khusus dengan lawan jenis maupun sesama jenis, dan pelanggaran syariat lainnya. Kok ada hubungan sesama jenisnya? Kan sudah saya katakan, latar belakang santri macam-macam, siapa tahu ada yang punya bakat untul jadi pelaku LGBT. Nah ancamannya ya hukuman berat.

Itulah beberapa contoh hukuman khas pesantren. Untuk kekerasan fisik, sebenarnya sangat hati-hati penerapannya. Tetapi dalam kasus tertentu, kadang kekerasan fisik juga diperlukan karena kebandelan pelakunya. Meskipun pernah ada pemberitaan santri tewas karena dihajar senior, namun itu hanya sekelumit saja dari sekian banyak pesantren yang bijak dan tidak melewati batas.

Nah, kalau kelak anak Anda mengadukan bahwa ia baru dihukum begini dan begitu, hendaknya Anda sebagai orangtua tidak langsung demo ke pesantren. Sadarilah bahwa anak tersayang Anda sedang dalam proses ditempa untuk menjadi lebih baik.

Ibarat menyetor kain ke penjahit, bukankah kita harus rela kain itu dipotong dan sobek-sobek untuk jadi baju atau celana? Dari sisi “mengolah” santri, saya pakai perumpamaan dengan penjahit.

Kalau perlu, minta klarifikasi baik-baik dengan pihak pengurus dengan bahasa santun. Baru kalau sudah melewati batas normal dalam kekerasan fisik, mungkin pengurus pesantrennya perlu diberi peringatan keras agar tidak sewenang-wenang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *