DatDut.Com – Dalam beberapa hari ini masyarakat Indonesia, terutama umat Islam, mendapat tamu agung. Kunjungan bersejarah Grand Syaikh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thayyeb, berada di Tanah Air hingga Jumat (26/2) lusa.
Media massa Tanah Air, khususnya media Islam baik yang cetak maupun yang online, berlomba-lomba memberitakan agenda dan kegiatan Grand Syaikh selama di Indonesia. Pemberitaannya pun beragam, tentu sesuai ideologi dan kepentingan para pemilik medianya.
Nah, mumpung Grand Syaikh ada di sini, saya sebetulnya ingin curhat pada beliau. Ada banyak hal berkecamuk dalam batin saya mengenai berbagai hal, terutama terkait cara saya ber-Islam. Masih ada banyak kebingungan di saya. Selama ini saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Andai bisa duduk semeja dengan beliau, saya ingin sampaikan curhatan saya ini. Sebagiannya sih mungkin lebih mirip sebagai “protes” atas banyak hal, tentang pemahaman saya soal Islam. Setelah saya timbang-timbang di antara banyak kegalauan yang bersemayam di kepala saya, berikut 5 curhatan yang sangat saya perlukan jawabannya:
[nextpage title=”1. Syiah Itu Tidak Kafir, Tapi Apakah Juga Tidak Sesat?”]
1. Syiah Itu Tidak Kafir, Tapi Apakah Juga Tidak Sesat?
Kemarin publik di Tanah Air dihebohkan dengan berita di berbagai media mengenai pernyataan Grand Syaikh terkait Syiah. Berdasarkan beberapa situs online, Grand Syaikh berpendapat bahwa Syiah itu tidak kafir dan bersaudara dengan Sunni. Kontan saja pernyataan itu menimbulkan pro-kontra, terutama di jagad maya.
Bagi pihak yang selama ini selalu “menjual” isu “Syiah bukan Islam”, tentu pernyataan itu mengecewakan. Tetapi sebaliknya, kelompok Syiah dan para simpatisan, tentu ini menjadi peluru baru yang bisa membungkam para penentangnya.
Nah, pernyataan Grand Syaikh soal Syiah tidak kafir, membuat saya bertanya. Apakah bila Syiah dinyatakan tidak kafir, itu juga berarti Syiah tidak sesat? Ini sependek pemahaman saya bahwa kafir dan sesat itu sesuatu yang berbeda. Meskipun semua yang kafir itu sesat, tapi kan tidak semua yang sesat itu kafir.
[nextpage title=”2. Jilbab atau Hijab Itu Kewajiban Agama atau Bukan?”]
2. Jilbab atau Hijab Itu Kewajiban Agama atau Bukan?
Publik Tanah Air hingga kini masih belum tuntas dalam memahami apakah jilbab itu termasuk kewajiban agama atau bukan. Sebagai kaum Hawa, saya juga butuh jawaban ini. Sampai hari ini saya masih bingung kalau ditanya orang.
Soalnya konon ada beberapa alumni Al-Azhar yang berpendapat bahwa jilbab atau hijab tidak wajib. Jawaban Grand Syaikh soal ini bisa sangat melegakan, terutama bagi orang-orang yang tak pernah belajar di Timur Tengah, khususnya di Mesir, seperti saya.
[nextpage title=”3. Alumni Al-Azhar Kok Ada yang Liberal?”]
3. Alumni Al-Azhar Kok Ada yang Liberal?
Hingga hari ini saya masih terheran-heran, kok ada alumni Al-Azhar berpandangan liberal. Bahkan dari berbagai pendapatnya yang beredar di masyarakat, ia sudah mirip kayak orang ateis. Pendapat-pendapatnya bukannya menentramkan, tapi malah meresahkan.
Bukannya manhaj (haluan) Al-Azhar moderat?! Apakah dalam kasus orang-orang seperti itu, ajaran wasathiyyah (garis moderat) gagal dipahaminya, atau memang kurikulumnya memungkinkan alumninya menjadi liberal?! Kalau tidak dari Al-Azhar, apakah Mesir memungkinkan seseorang menjadi liberal? Lalu, apa langkah Al-Azhar untuk alumninya yang justru “menjajakan” sesuatu yang bertentangan dengan misi besar Al-Azhar. Atau, wasathiyyah itu cenderung memungkinkan seseorang menjadi liberal?
[nextpage title=”4. Hijab Syar’i Ada atau Tidak?”]
4. Hijab Syar’i Ada atau Tidak?
Belakangan muncul istilah hijab syar’i, mengikuti trend pensyar’ian berbagai produk komersial. Ini juga sekaligus antitesis dari hal-hal yang sifatnya konvensial. Nah, yang menjadi kebingungan saya, kok setelah berhijab, masih diberi lebel syar’i lagi. Padahal, berhijab sendiri sudah merupakan bagian dari pengamalan agama. Ya, ini tentu bagi yang meyakini bahwa berhijab merupakan kewajiban agama.
[nextpage title=”5. Jihad Umat Islam Saat Ini?”]
5. Jihad Umat Islam Saat Ini?
Sebagai ketua Majlis Hukama al-Muslimin yang menaungi para pemimpin Islam terkemuka, Grand Syaikh tentu juga resah dengan fenomena radikalisme di negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Melalui lembaga ini, Grand Syaikh kan juga membawa misi perdamaian dan semangat antikekerasan.
Nah, pertanyaannya, kenapa misi-misi mulia tersebut tak begitu menarik bagi kaum muda. Faktanya, minat terhadap kecenderungan radikal justru malah tumbuh subur. Anak-anak muda radikal diam-diam semakin banyak. Bahkan, sebagian kaum muda menganggap bahwa menjadi Islam yang memang harus radikal. Maka, tak heran bila para pengebom itu, para martir itu, sebagian besarnya justru anak muda.
Mereka bingung mengapa para pemimpinnya justru mematikan fungsi dan makna kata jihad. Bahkan, banyak pemimpin umat Islam menjadi phobia terhadap kata jihad. Mereka aneh, kata ini begitu mulia dalam Alquran dan hadis, umat Islam terdahulu juga bangga dengan kata ini, tapi mengapa belakangan kata ini seperti dikebiri maknanya?
Kaum muda, seperti saya, biasanya bertanya-tanya, apa yang mesti dilakukan menghadapi berbagai serangan langsung dan tidak langsung musuh-musuh Islam, yang memang terang-terangan memusuhi Islam dan kaum Islam? Apakah hanya diam saja lalu membiarkan umat Islam dari populasi dunia dan Islam menjadi agama terasing?
Saya butuh mendapat jawaban dari semua pertanyaan ini. Andai saya bisa duduk semeja dengan beliau. Jika tidak pun, semoga ada yang menyampaikan ini kepada beliau.