Menu Tutup

Ketika Tuhanmu Bernama Internet dan Kamu Beriman pada Google

DatDut.Com – Aku pergi ke sebuah kampung, sebuah kampung kecil di pinggiran kota Magelang. Bahkan kalau kau tanyakan Google, mungkin dia akan menanyakan kembali. Pemandangan di sini masih asri. Mulai dari pepohonan, sawah, dan perumahan masih amat apik. Tanpa sedikit pun tercemari oleh udara dan hawa kota.

Para masyarakat di sini juga sangat ramah, tanpa memandang kau ini berasal dari ras apa. Tapi, bukan itu yang kali ini akan kuceritakan, apalagi akan kuterangkan dengan amat rinci. Itu hanya sebuah perkenalan kecil sebelum kubawa ke dalam cerita yang sesungguhnya. Sebuah kerisauan “kecil” dari seseorang yang kukenal. Kakekku.

Kala itu aku sedang berdiam diri, memandangi kolam ikan di belakang rumah, seperti orang bengong. Tiba-tiba kakek menghampiri dan duduk di sebelah ku, tanpa permisi, dan juga salam. Iya, sebenarnya juga biasa saja. Toh ini juga rumahnya.

“Ikannya bagus ya, besar lagi” ucapnya membuka pembicaraan, “iya, bagus, Kakek,balasku seadanya. Aku pandangi mukanya sekilas. Tidak lama alias cepat. Terlihat sekali dari guratan wajahnya bahwa ia sudah amat tua. Keriput di wajahnya itulah buktinya. Begitu juga dengan barisan urat di mukanya.

“Nak, kamu punya handphone?” kakek bertanya lagi. “Punya satu, Kakek,jawabku seadanya lagi.

Ia lalu merogoh ke dalam saku celananya, mengambil sebuah kotak kayu dengan ukiran sederhana. Aku kira awalnya adalah sebuah handphone, tapi ternyata tempat penyimpanan rokok. Tangannya lalu mengambil satu batang dari tempatnya, lalu ia bakar dengan korek api yang dia ambil dari kantongnya juga.

“Fiuuuh.” Terdengar seperti itu, sesaat setelah ia menarik batang tembakau dengan amat dalam, dan dengan nikmatnya ia lepaskan. Membuat ku ingin mencicipi.

“Dulu, anak kecil bermain dengan riangnya di halaman rumah, tanpa beban juga masalah. Mereka mainkan petak umpet, bentengan, dan juga kalau tak salah engrang. Amat indah saat memandangi anak kecil bermain seperti itu.” Ucapnya dengan panjang kali lebar.

Dia tarik lagi batang tembakaunya dengan nikmat. “Fiuuh,” terdengar seperti itu lagi.

“Sekarang sudah jarang, ya Nak, mungkin malah sudah punah permainan tradisional itu. Aku tak pernah melihatnya lagi,” lanjut kakek lagi. Terlihat raut kecewa bercampur kesedihan saat menyatakan kalimat ini, yang agak sedikit menggoyang sukmaku. “Hmm, iya, Kek,” jawabku setengah hati, karena aku pun merasa tersindir dengan hal itu.

“Iya, aku pamit dulu, ya. Masih banyak urusan di kebun, yang aku belum aku selesaikan.” Kakek pamit lalu bangkit dari duduknya. “Yang betah di kampung ini ya. Hehehe.” Tambahnya lagi, dengan tersenyum.

Aku termangu, menelan semua kata-kata akek yang mengitari pikiranku, hingga alam bawah sadarku.  Seorang manusia kampung yang bahkan jauh dari hiruk pikuk masyarakat kota, yang urusannya hanya mengurus kebun, ayam, rumah, kebun lagi dan terus saja seperti itu. Bisa membuat ku termangu selama ini.

Bagai seorang Rossi yang terjungkal karena senggolan Marquez, aku terhempas dengan amat jauh, dan juga dalam. Membuat ku makin jauh dari lintasan, dan tertinggalkan. Ucapan polosnya, membuat ku terus termenung hingga esok hari, dan berhasil membuat ku tidur tak nyaman. Berhari-hari.

***

Awalnya, Internet berasal pada jaringan komputer yang terdiri dari beberapa komputer yang dihubungkan menggunakan kabel yang membentuk sebuah jaringan (network) yang awalnya bernama ARPAnet (Advanced Research Agency), yang dikembangkan pertama kali oleh Departemen Pertahanan Amerika.

Sampai akhirnya berkembang menjadi internet, dan mulai tren di akhir 90-an. Setelah itu banyak berdiri Perusahaan berbasis cyber macam Google, Facebook dll. Itu sejarah internet yang sekilas pernah kubaca dalam buku mata pelajaran TIK. Saat masih sekolah menengah dulu, yang bahkan untuk mengingatnya saja sudah setengah hidup. Alias hampir lupa.

Memang benar, kehadiranya banyak memberi manfat kepada kita sesaat setelah mulai booming di akhir tahun 90-an, yang berdampak amat besar terhadap kehidupan umat manusia hingga kini. Tetapi, kehadiranya juga bagai pisau bermata dua, yang bisa jadi positif ataupun menjadi negatif, tergantung sang pemakai.

Yang ada dalam pikiranku, mungkin internet ini yang jadi penyebab anak zaman sekarang mulai lupa akan permainan tradisional. Jangankan memainkan, saat ditanya nama permainan tersebut mungkin tidak tahu.

Tanpa menghakimi siapa pun, ataupun men-judge pihak manapun. Aku pikir kenapa sih kita bisa amat candu dan tergantung sekali dengan internet. Internet sebagian dari hidup, mungkin sudah amat menjiwai dalam dada kita.

Saat melihat realitas, aku pun hanya bisa menggigit jari dan memegang jidat. Bagaimana tidak? Wong masyarakat sekarang amat terpaku pada internet, dan lagi selalu saja berpangku pada internet. Kalau kalian tak percaya, sila amati sekeliling dan perhatikan dengan baik.

Istilah Mbah kini disematkan pula ke search engine paling besar, yakni Google. Semoga saja hanya berpangku, ya, bukan mengimani. Kalau sampai mengimani bisa gawat. Nanti ada agama Google. Waduh!

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *