Menu Tutup

Gara-gara NU, Mahasiswa Ini Tak Disetujui Menikah dengan Pujaan Hatinya yang dari Keluarga Salafi

DatDut.Com – Seorang mahasiswa tingkat akhir datang beberapa waktu lalu. Dengan wajah yang sendu, dia mencurhatkan masalahnya tentang orangtua calonnya yang enggan menyetujuinya karena ia keluarga NU-Aswaja, sementara sang calon dari keluarga beraliran salafi yang fanatik.

Meski saya belum tahu pasti alasan sebenarnya orangtua calonnya enggan menyetujui, tapi si mahasiswa benar-benar menyebut itu satu-satunya alasannya. Karena hal itulah yang disampaikan oleh calonnya padanya.

Bagi saya sejauh ini si mahasiswa bisa dipercaya. Wajahnya tampan dan sepertinya kufu dengan calonnya, setidaknya secara fisik. Kesehariannya setahu saya juga saleh. Ia tergolong mahasiswa yang cerdas dan tampaknya dari keluarga berada.

Dalam hati saya membatin. “Lha kok sampai segitunya. Terlepas ini soal kebenaran yang diyakininya, tapi hingga melarang apa yang dihalalkan Allah bukan atas alasan yang prinsip tapi furu’, agak aneh juga.”

Saya menduga-duga, jangan-jangan fenomena ini cukup banyak di sekitar kita. Padahal, sudah terlalu banyak penghambat-penghambat perjodohan di masyarakat kita, seperti beda agama, beda suku, beda usia, dan perbedaan-perbedaan lainnya, yang kadang menyulitkan dua orang yang saling mencintai dan ingin melanjutkan dalam ikatan suci bernama pernikahan.

Fenomena seperti ini dulu juga pernah banyak saya temui di kampung saya. Meskipun konteksnya saat itu bukan dengan salafi, tapi kadar masalahnya kurang-lebih sama. Waktu itu di kalangan umat Islam terbangun suatu pandangan umum, seolah-olah ada masalah antara NU-Muhammadiyah, yang tak mungkin disatukan. Toh, seiring perjalanan waktu, pandangan itu terkikis juga. Sekarang sudah relatif lebih cair.

Nah, dari jauh-jauh hari saya menduga, masalah-masalah seperti ini itu buah dari banyaknya ustaz atau kiai yang lebih menekankan pada perbedaan daripada persamaan. Hal-hal yang tak perlu dibesar-besarkan, malah ditonjolkan. Karena, masing-masing punya dasar dan dalilnya. Perbedaannya toh pada ranah ijtihadiah, yang kalau salah sekalipun dapat 1 pahala.

Di akhir tulisan ini, saya ingin menyerukan pada para tokoh-tokoh agama sebagai berikut: “Wahai para ustaz atau kiai atau siapa pun yang selalu menekankan perbedaan dan bahkan mengkomodifikasikan perbedaan, berhentilah! Korban kalian telah berjatuhan! Segera sadarlah atau Tuhan akan memaksamu sadar dari kepongahan atas kebenaran versi sendiri. Jangan sampai gara-gara kalian semakin banyak orang yang saling mencintai dan ingin menikah, justru terhambat menikah.”

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *