Menu Tutup

Temukan 5 Filosofi Hidup di Balik Bait-bait Alfiyyah Ibnu Malik

DatDut.ComAlfiyyah Ibnu Malik merupakan satu dari kitab Nahwu yang sangat popular di kalangan pesantren. Kitab pedoman tata bahasa arab (Nahwu) ini juga terkenal di berbagai belahan dunia. Dalam versi bahasa Inggris, Alfiyyah disebut sebagai The Thousand Verses.

Dalam kurikulum pesantren, kitab Alfiyyah yang berisi kaidah-kaidah Nahwu tersaji dalam 1002 bait ini merupakan salah satu hapalan terberat. Hapal bait-bait Alfiyyah juga menjadi salah satu syarat kenaikan kelas di berbagai pesantren. Targetnya tergantung kebijakan masing-masing pesantren. Ada yang harus hapal 500 bait, ada pula yang mengharuskan hapal seluruh nazam dalam kitab tersebut.

Kitab ini ditulis oleh Muhammad bin Abdillah bin Malik al-Thay, yang lahir di Jayyan, tahun 600 H. Daerah ini cuma kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Alfiyyah merupakan salah satu dari karyanya. Kitab ini adalah versi ringkas dari karyanya yang lain, al-Kafiyah asy-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Alfiyyah terdiri dari 80 bab, yang setiap babnya berisi beberapa bait. Yang terpendek berisi 2 bait saja yaitu bab “al-Ikhtishahsh“, dan yang terpanjang adalah bab “Jamak Taksir” yang berisi 42 bait.

Di sela kerumitan dan kedalaman makna yang tersirat dalam setiap baitnya, yang merupakan isyarat atau rumusan kaidah bahasa Arab, bait-bait Alfiyyah juga memberi inspirasi dan penafsiran di luar kontek Ilmu Nahwu. Pemaknaan itu mirip tafsir isyari pada Alquran. Banyak bait-bait dalam Alfiyyah yang ditafsirkan berbeda sehingga menghasilkan kata hikmah yang indah. Berikut ini 5 di antaranya.

[nextpage title=”1. Keharmonisan Rumah Tangga”]

1. Keharmonisan Rumah Tangga

Bait ke 25 dan ke 26 berbunyi:

  • فَارْفَعْ بِضَمٍّ وَانْصِبَنْ فَتْحًا وَجُرّ #  كَسْراً كَذِ كْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ
  • وَاجْزِمْ بِتَسْكِيْنِ وَغَيْرُ مَاذُكِرْ #  يَنُوْبُ نَحْوُ جَا أَخُوبني نَمِرْ

Rafa’kanlah dengan dlammah, nashabkan dengan fathah, jerkanlah dengan kasrah seperti dalam lafadz ذِكْرُ اللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ

Jazmkanlah dengan sukun, dan selain yang telah disebutkan ada penggantinya seperti lafadl جَا أَخُو بني نَمِر

Bait yang menjelaskan tanda i’rab (perubahan tanda baca tiap akhir kata) ini dimaknai sebagai poin-poin penting dalam membentuk keluarga yang harmonis. Suami dan istri haruslah kompak (dhamm: makna aslinya kumpul), saling terbuka (fath: terbuka), membuang hal yang menimbulkan perpecahan, (jurra kasran: seretlah perpecahan), selalu berdoa kepada Allah Swt, dan meneguhkan pendirian dalam istiqamah.

[nextpage title=”2. Teguh Pendirian dalam Berbagai Keadaan”]

2. Teguh Pendirian dalam Berbagai Keadaan

لِلرَّفْعِ وَالنَّصْبِ وَجَرِّ نَا صَلَحْ  #  كَاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَحْ

Dlamir -na, baik untuk dhamir rafa’, nashab, jar tetap memakai lafadz -na

Seperti ungkapan اعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَاح (kita telah memperoleh anugerah yang banyak)

Bait ini adalah penjelasan bahwa نا (bentuk muttashil dari نحن) digunakan sebagai dhamir muttashil rafa’, nashab, jar, dengan tetap menggunakan redaksi kata –na. Tanpa perubahan. Lain halnya dengan dhamir orang pertama misalnya, untuk muttashil rafa’-nya berupa تُ, sedangkan dalam nashab dan jar-nya menggunakan ي.

Makna hikmahnya, jadilah seperti dhamir muttashil -na yang teguh pendirian dan pemahaman meski dalam keadaan apa pun. Tidak terpengaruh oleh perubahan dan pengaruh aliran-aliran lain.

[nextpage title=”3. Berusaha Semaksimal Mungkin”]

3. Berusaha Semaksimal Mungkin

وَفِي اخْتِيَارِ لَايَجِئُ اٌلمُنْفَصِلْ  #  إِذَا تَأَتَّى اَنْ يَجِئُ اْلمُتَّصِلْ

Dalam keadaan ikhtiyar (tidak kepepet) tidak boleh mendatangkan dhamir munfasil

Selagi masih memungkinkan memakai dhamir muttashil

Dhamir munfashil merupakan dhamir yang bisa berada di awal kalimat dan bisa terletak setelah illa. Dhamir muttashil selalu berada menyatu dengan kata yang memuatnya. Bait ini dijadikan kalam hikmah, janganlah meminta batuan orang lain selagi masih bisa dilakukan sendiri.

Dikisahkan, salah seorang ulama ditanya manakah yang lebih utama antara makan dengan memakai tangan langsung dan memakai sendok. Ia menjawab, utama pakai tangan langsung. Dalilnya bait Alfiyyah di atas. Karena memakai tangan tidak bergantung pada orang lain, sementara memakai sendok memerlukan peran orang lain.

[nextpage title=”4. Pilihlah Pemimpin yang Mumpuni”]

4. Pilihlah Pemimpin yang Mumpuni

وَلَا يَجُوْزُ اْلإِبْتِدَا بِالنَّكِرَةِ  #  مَالَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدِ نَمِرَةِ

Tidak diperbolehkan membuat mubtada’ dengan memakai isim nakirah

Selagi tidak memberi manfaat, seperti pada lafad عِنْدَ زَيْدِ نَمِرَ”

Ketentuan dasar pembentukan mubtada’ haruslah berupa isim makrifat, bukan nakirah. Ibarat mubtada’, pemimpin haruslah orang yang berpengetahuan luas dan makrifat di bidangnya. Bisa juga berarti, memilih pemimpin haruslah orang yang telah diketahui (ma’ruf) rekam jejaknya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

[nextpage title=”5. Cita-cita Bisa Terhalang Cinta”]

5. Cita-cita Bisa Terhalang Cinta

فَأَلِّفُ التَّأْنِيْثِ مُطْلَقَا مَنَعْ  #  صَرْفَ اَّلذِيْ حَوَاهُ كَيْفَمَا وَقَعْ

Alif ta’nits muthlaq dapat mencegah tanwin dari isim yang mengandunginya, bagaimanapun keadaan isim itu

Kecintaan (al-ulfu, kata lain dengan tetap menggunakan hamzah, lam dan fa’) kepada wanita bisa menjadi salah satu penghalang seseorang menggapai kesuksesan. Hal ini sering terjadi khususnya para santri yang akhirnya harus “pensiun” awal dari mondoknya karena terjerat cinta. Dalam kehidupan nonsantri pun, terkadang cinta justru mengalihkan kita dari tujuan pencapaian yang semula telah ditetapkan.

Itulah 5 contoh di antara sekian makna isyari dari bait-bait Alfiyyah. Pemaknaan isyari seperti di atas perlu juga disampaikan oleh para pengajar kitab-kitab Nahwu, karena hal itu justru menambah semangat para santri untuk mempelajari kitab Alfiyyah. Ada semacam kepuasan tersendiri bila menemukan makna lain dari bait-bait hapalan itu.

 

Baca Juga: