DatDut.Com – Beberapa tahun belakangan marak sekali munculnya media-media online baru yang berlabel dakwah dengan berbagai nama. Bak jamur di musim hujan, hampir tiap hari muncul media baru.
Karena begitu banyak jumlahnya, maka pertumbuhan media-media ini menjadi tidak sehat. Salah satunya budaya kopas yang melanda media online. Ternyata banyak pemilik atau pengelola media online hanya bermodal kopasan tanpa malu dan sungkan.
Hal yang sama juga terjadi di media sosial. Orang tanpa sungkan mencomot satu tulisan lalu mengubah beberapa bagian dan diberi label baru seolah-olah itu miliknya. Yang dikopas biasanya sesuatu yang menggugah atau bernuansa agama. Nah, pengkopas sering kali tidak sadar bahwa dia sedang melakukan kemungkaran dengan berkedok kebajikan.
Inilah yang kemudian menarik perhatian Ustaz Ahmad Sarwat, Direktur Rumah Fiqih Indonesia, yang mencurahkan isi hatinya di status Facebooknya sebagai berikut:
Berdakwah lewat media adalah suatu tantangan di zaman modern. Banyak aktivis dakwah yang kemudian digenjot habis-habisan dalam berdakwah lewat media.
Tapi yang jadi masalah, dakwah bukan cuma sekedar kerja menyampaikan sesuatu dan selesai. Konten atau materi dakwah sejak dulu selalu jadi kendala utama semua media dakwah.
Para pemilik portal dakwah, radio dakwah, TV dakwah, termasuk media cetak dakwah macam majalah rata-rata punya problem dasar terberat : tidak punya konten.
Rupanya benar sekali pepatah mengatakan dalam bahasa Arab :
فاقد الشيء لا يعطيه
Orang yang tidak punya apa-apa tentu tidak bisa memberi apa-apa.
Jangankan untuk menggigit, sekedar untuk unjuk gigi saja kita kudu punya gigi. Saya sulit membayang lomba menggigit yang pesertanya ompong semua.
Ujung-ujungnya media dakwah tekor konten itu mulai melakukan tindakan tidak terpuji. Mirip dengan murid bandel yang malas belajar dan hanya mengandalkan nyontek teman kanan kiri. Maka media dakwah itu pun akhirnya sama saja dengan murid tukang nyontek itu.
Kadang caranya teramat kasar yaitu copas seenaknya tanpa sama sekali menyebutkan sumbernya. Nama penulisnya dibuang dan diakui begitu saja sebagai karya mereka. Padahal yang empunya materi bisa dengan mudah mengenali karyanya sendiri.
Apalagi karya aslinya masih ada. Cukup digugling sejenak dan langsung dengan mudah bisa dibandingkan mana sumber aslinya dan mana hasil jarahannya. Tanggal tayangnya langsung menjelaskan yang mana pemilik materi asli dan yang mana malingnya.
Akhirnya cara semacam ini sudah keluar dari tujuan asli berdakwah. Pelakunya bukan lagi orang yang pantas digelari aktifis dakwah. Kelasnya cuma selevel dengan maling kelas teri pada umumnya, tapi berkedok dakwah.
Ini bukan nyindir tapi nuduh . . .