Menu Tutup

Ini 5 Fatwa Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub yang Berkearifan Lokal dan Tak Berbau Arab

DatDut.Com – Meski tak lagi menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA., selalu menarik perhatian. Gagasan dan pendapatnya selalu saja menggelitik dan kritis. Pemikirannya seputar polemik Rukyatul Hilal, juga pendapatnya terkait “Islam Nusantara”, menimbulkan pro-kontra, khususnya di media sosial.

Khusus terkait isu Islam Nusantara, Pak Kiai diberitakan oleh berbagai media online menolak istilah tersebut. Bahkan, seringkali dipahami bahwa beliau yang juga menjabat sebagai Rais Syuriah PBNU Komisi Fatwa menolak tema Muktamar NU yang dibuat oleh sejumlah tokoh NU yang lain.

Lebih parahnya lagi, hal tersebut diartikan sebagai sebuah indikasi “perpecahan” di tubuh NU. Hm.. Jangan-jangan, kesimpulan yang seperti ini yang dikehendaki oleh media-media yang selalu memberi judul provokatif untuk pemberitaan tersebut?

Nah, sebelum kita terbawa dan tersulut oleh judul yang dimunculkan, ada baiknya kita baca dulu isinya dengan tuntas. Setidaknya, dengan begitu, kita akan lebih tercerahkan, bahwa Pak Kiai sebenarnya tidak menolak Islam Nusantara.

Beliau hanya menyoal bagaimana esensinya? Dan, dengan perincian yang disebutkannya, dapat diketahui bahwa beliau sepakat dengan ide yang diusung oleh tema tersebut. Bahkan, sejak jauh-jauh hari, telah banyak “fatwa” beliau yang bernafaskan Islam Nusantara. Berikut 5 contoh di antaranya:

[nextpage title=”1. Dakwah Islam Harus Berkearifan Lokal”]

1. Dakwah Islam Harus Berkearifan Lokal

Dalam sebuah Seminar Nasional bertema “Studi Islam Kontekstual” yang diselenggarakan oleh Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta pada 24 Maret 2014, Imam Besar Masjid Istiqlal turut diundang menjadi salah seorang narasumber.

Di tengah pemaparannya mengenai pemahaman hadis kontekstual, beliau sempat menyampaikan beberapa poin penting terkait hubungan agama dengan budaya atau tradisi, antara lain, bahwa dakwah Islam haruslah berkearifan lokal.

Menurutnya, andaikan para pembawa dan penyebar Islam ke tanah Jawa (Indonesia), dalam hal ini Walisongo, tidak luwes dalam menyikapi tradisi-tradisi lokal, niscaya ajaran Islam yang mereka dakwahkan tidaklah mudah diterima oleh masyarakat kala itu. Karena itulah mereka tidak serta-merta mungusik tradisi yang ada.

“Hal-hal yang bersifat budaya (kultural) tidak langsung dihilangkan, sepanjang hal itu tidak merupakan akidah dan ibadah, maka para wali menempuh kebijaksanaan-kebijaksanaan adaptif dengan budaya-budaya Jawa” (Setan Berkalung Surban, 15).

Lebih jauh lagi, para wali bahkan menghormati pemeluk agama lain. Terbukti dengan kesediaan mereka yang bermukim di Kawasan Utara Jawa Tengah, untuk tidak menyembelih dan atau mengonsumsi daging sapi atau kerbau dengan alasan agar tidak menyakiti hati masyarakat yang waktu itu masih banyak yang memeluk agama lain (Hindu). Selain dalam seminar tersebut, pandangan beliau ini juga sering diungkapkan dalam berbagai ceramah dan tulisan.

[nextpage title=”2. Tidak Harus Berbau Budaya Arab”]

2. Tidak Harus Berbau Budaya Arab

Tentang hal ini, saya kutipkan ungkapan Pak Kiai yang memuji pola dakwah para wali yang tidak memaksakan budaya Arab.

“Kendati mereka (para wali) banyak berasal dari negeri Arab, namun mereka tidak serta-merta mengubah secara radikal budaya lokal dengan budaya Arab. Mereka justru membaur dan meleburkan diri dengan budaya lokal alias budaya Jawa.”

“Arsitektur masjid-masjid yang mereka tinggalkan, semisal Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya, Masjid Agung Demak, Masjid Menara Kudus, dan lain-lain menunjukkan bahwa para dai itu sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga mereka tidak menggantinya dengan budaya Arab,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Pak Koai mengatakan, “Bagi para dai, bangunan itu bukan akidah dan bukan ibadah, melainkan bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam, budaya-budaya tersebut tetap mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak merasa kaget untuk memasuki masjid karena mereka merasa masuk ke rumah adat mereka sendiri.”

“Menurut catatan para ahli, para dai di samping melestarikan budaya fisik seperti arsitektur Jawa dalam bangunan masjid, mereka juga melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesan-pesan keislaman kepada masyarakat Jawa.”

Beliau juga sempat mengkritik pola dakwah para dai belakangan, “Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut di atas. Dalam masalah sosial budaya, tampak ada sebuah pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian harus dengan jubah dan ubel-ubel surban yang membungkus kepala. Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah, kendati sebenarnya kubah bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium.” (Setan Berkalung Surban, 111-112).

[nextpage title=”3. Tidak Gampang Mengkafirkan dan Membidahkan”]

3. Tidak Gampang Mengkafirkan dan Membidahkan

Menanggapi fenomena gerakan kaum takfiri, yang sangat mudah sekali menuduh kafir dan bidah sesama muslim hanya karena perbedaan pandangan dalam pola keberagamaan yang tidak prinsipil, Pak Kiai menegaskan sebagai berikut:

“Menuduh sesama muslim sebagai kafir akan berkonsekuensi sangat berbahaya, karena bisa jadi justru yang menuduhlah yang menjadi kafir. Demikian pula menuduh sesama muslim sebagai pelaku bidah.”

“Apabila orang yang dituduh sebagai pelaku bidah itu tidak melakukan bidah, maka justru yang menuduhlah yang menjadi pelaku bidah. Maka menuduh sesama muslim sebagai pelaku syirik, pelaku bidah, dan sebagainya sangat perlu dihindari, kecuali dia sudah jelas melakukan perbuatan-perbuatan itu.”

“Untuk memperbaiki perilaku sesama muslim yang dinilai masih belum sesuai dengan ajaran Islam, hindarilah menggunakan kata-kata bidah, syirik, atau kafir. Sebab ternyata ungkapan-ungkapan ini tidak efektif untuk memperbaiki perilaku itu. Gunakanlah kata-kata lain yang tidak menyinggung perasaan dan meresahkan, lanjutnya.” (Makan Tak Pernah Kenyang, 36-38).

[nextpage title=”4. Anti-Anarkisme, Radikalisme, dan Terorisme”]

4. Anti-Anarkisme, Radikalisme, dan Terorisme

Rasanya sudah umum diketahui bahwa Pak Kiai termasuk salah seorang tokoh ulama Nasional yang anti segala bentuk tindakan anarkis, radikal, dan teror. Lebih-lebih bila diatasnamakan “agama”, padahal sama sekali tidak merepresentasikan pengamalan ajaran agama.

Menyikapi berbagai aksi kekerasan yang berdalih amar makruf-nahi munkar, beliau menyatakan bahwa aksi tersebut di antara penyebabnya adalah pemahaman yang tidak tepat tentang ajaran agama itu sendiri.

Menurut beliau, berdasarkan kode etik yang dirumuskan beberapa ulama klasik, termasuk Imam Ghazali, bahwa tugas ulama hanyalah sebatas memberi pencerahan dan penyuluhan dengan menunjukkan kepada umat bahwa suatu perbuatan itu baik atau buruk, sehingga dengan demikian mereka dapat menganjurkan atau melarang melakukannya.

Adapun pemberian sanksi dan eksekusi hukuman fisik untuk para pelanggarnya sudah di luar tugas mereka dan masuk dalam wewenang penegak hukum atau pemerintah. Selain itu, amar makruf- nahi munkar hanya dilakukan sejauh tidak menimbulkan kemungkaran baru.

Karena itu, anarkisme, radikalisme, dan terorisme yang dipahami sebagai bentuk amar makruf-nahi munkar senyatanya justru merupakan suatu kemungkaran tersendiri yang menjadi tugas para ulama untuk meluruskannya.

[nextpage title=”5. Dari Surban dan Jubah hingga Tradisi Doa Simbolik”]

5. Dari Surban dan Jubah hingga Tradisi Doa Simbolik

Terkait surban dan jubah, mula-mula Pak Kiai menyatakan bahwa surban dan jubah bukanlah bagian dari “agama” yang harus diikuti. Akan tetapi keduanya merupakan bagian dari budaya yang pada masa Nabi juga dikenakan oleh orang-orang non Muslim.

Memakainya, menurut beliau, memiliki status hukum bercabang. Bisa jadi dianjurkan (mustahab), yakni apabila surban menjadi simbol pakaian ulama dalam tradisi suatu masyarakat tertentu. Bahkan bisa jadi hukumnya haram, yakni bila sorban tidak mentradisi pada suatu masyarakat sehingga memakainya dianggap “nyeleneh”, apalagi bila berorientasi popularitas.

Nah, yang seperti ini termasuk dalam kategori pakaian syuhrah (ada unsur biar terkenal–red.) yang diharamkan. Oleh karena itu, untuk konteks Indonesia saat ini, Pak Kiai lebih menganjurkan memakai batik daripada jubah. Bahkan batik itulah kesunnahannya. Karena menyesuaikan tradisi setempat sejauh tidak bertentangan dengan syariat merupakan bagian dari spirit keberagamaan ala Nabi Saw.

Banyak sekali sebetulnya pembelaan Pak Kiai terhadap tradisi-tradisi lokal yang dituduh syirik dan bidah oleh sebagian kaum takfiri yang mengaku-ngaku sebagai Salafi. Seperti kasus berdoa dengan simbol.

Seorang bernama Ahmad Fauzi bertanya kepada Pak Kiai tentang sebuah tradisi Jawa, bahwa kerapkali orang yang membakar batu bata menancapkan lidi yang di ujungnya ditancapkan cabe merah. Apakah perbuatan itu syirik?

Pak Kiai Menjawab, “Bila orang itu meminta kepada lidi dan cabe merah agar tidak menurunkan hujan, maka perbuatan ini jelas-jelas syirik.. Namun bila ia tetap berdoa pada Allah, misalnya dengan kalimat, “Ya Allah yang memerahkan cabe ini, merahkanlah batu bata yang sedang saya bakar,” maka tidak tergolong musyrik. Karena ia tetap meminta pada Allah Swt. hanya saja disertai simbol.” (Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, 65-66).

Dalam hal ini, Pak Kiai berdalil menggunakan hadis Bukhari terkait pemutaran selendang dalam praktik salat istisqa, hadis terkait penengadahan telapak tangan saat berdoa, dan beberapa hadis yang lain. Kesemuanya menunjukkan bahwa berdoa dengan simbol telah ada pada masa Nabi, bahkan dilakukan oleh beliau.

Dalam masyarakat kita, doa simbolik ini telah sedemikian mentradisi, seperti menaruh buah kelapa saat membangun rumah atau dalam acara pernikahan, yang merupakan simbol doa agar penghuninya atau kedua mempelai dapat memberi manfaat sosial sebanyak-banyaknya, sebagaimana kelapa yang segala unsurnya dapat dimanfaatkan.

Nah, bila kearifan lokal semacam ini yang menjadi bagian dari ide yang diusung oleh istilah “Islam Nusantara”, maka masihkah Imam Besar Masjid Istiqlal dianggap anti Islam Nusantara?

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *