Menu Tutup

Fatwa-fatwa Terpenting Almarhum Kiai Ali Mustafa Yaqub Seputar Lebaran

DatDut.Com – Lebaran adalah satu perayaan tahunan yang sarat dengan nuansa suka-cita, riang-gembira, dan dengan beragam tradisi-tradisi khasnya, yang bisa jadi berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya.

Terkait lebaran tahun ini, muncul banyak wacana, baik yang berhubungan dengan ritual ibadah pada hari itu, ataupun terkait dengan tradisi-tradisi yang berkembang. Almarhum Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal, sejak jauh-jauh hari, telah turut memberi fatwa, pencerahan, dan komentar atas fenomena-fenomena yang dipertentangkan dalam masyarakat. Berikut 5 hal di antaranya:

[nextpage title=”1. Salat Jumat setelah Salat Id”]

1. Salat Jumat setelah Salat Id

Seorang bernama Abdurrahman, asal Bekasi, bertanya kepada Pak Kiai perihal salat Jumat setelah paginya melaksanakan Salat Id, bagaimana hukumnya?

Sebagai ulama hadis, Pak Kiai selalu menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan mengetengahkan hadis Nabi terlebih dahulu sebelum mengulasnya. Dalam hal ini, beliau menyebut hadis riwayat Ibnu Majah (1310) dari Ilyas bin Abi Ramalah al-Syami.

Diceritakan bahwa Zaid bin Arqam pernah mengalami dua hari raya (Id dan Jumat) bersama Nabi. Menurut persaksiannya, Nabi memberi dispensasi untuk tidak melaksanakan salat Jumat. “Siapa yang ingin melaksanakan salat Jumat, silakan melaksanakannya,” sabda Nabi.

Selain hadis tersebut, Pak Kiai juga menyebut hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Daud dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Intinya bahwa Nabi memberi keringanan untuk tidak melaksanakan salat Jumat, meski beliau sendiri tetap hendak melaksanakannya.

Tampaknya,  hadis-hadis tersebut tidak dipahami seragam oleh para ulama. Muncul beberapa pendapat di kalangan mereka. Ada yang membolehkan tidak melaksanakan salat Jumat secara mutlak. Ada yang berpendapat bahwa dispensasi tersebut hanya berlaku bagi yang tinggal jauh dari masjid. Ada pula yang mengharuskan pelaksanaan dua-duanya, tanpa dispensasi, dan bahwa status hukum salah satunya tidak dapat digugurkan oleh yang lain.

Pendapat Pak Kiai sendiri? Beliau memilih pendapat yang kedua. Yakni, dispensasi untuk tidak melaksanakan salat Jumat hanya untuk yang tinggal jauh dari masjid sehingga berat bagi mereka untuk melakukannya.

Ini berdasarkan ucapan Utsman bin Affan, “Bagi penduduk Aliyah (daerah pinggiran Madinah), yang ingin menunggu salat Jumat, silakan menunggu. Siapa ingin pulang, silakan pulang.” Dalam kaidah fikih disebutkan, “Semakin banyak perbuatan, semakin banyak pahalanya.” Maka, yang melaksanakan keduanya sekaligus, tentu lebih diutamakan.

Apalagi pada masa sekarang, kita sudah dimudahkan dengan beragam fasilitas kendaraan yang membuat jarak yang jauh terasa dekat dan perjalanan terasa ringan. Namun demikian, perlu diingat, para ulama sepakat bahwa dispensasi tersebut tidak berlaku bagi Imam salat, juga tidak menggugurkan kewajiban salat zuhur (Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, 251-253).

[nextpage title=”2. Lebaran Mengikuti Mekah”]

2. Lebaran Mengikuti Mekah

“Bolehkah orang di Indonesia berlebaran mengikuti orang-orang di Mekah?” tanya Tajudin asal Singkawang, Kalimantan Barat. Menjawab pertanyaan ini, mula-mula Pak Kiai menyatakan bahwa mengikuti penduduk Mekah bukanlah dalil untuk menentukan waktu lebaran. Dalil untuk menentukannya adalah sebuah hadis sahih yang memberi tuntunan untuk melihat hilal atau menggenapkan bulan sebelumnya hingga 30 hari.

Bagi penduduk Indonesia, melihat bulan itu sendiri juga tidak boleh mengikuti penglihatan penduduk Mekah. Masing-masing negeri memiliki rukyat sendiri-sendiri yang bisa saja sama dan mungkin juga sangat berbeda.

Dalam hadis sahih riwayat Muslim diceritakan bahwa suatu saat, Kuraib diutus Ummul Fadhl bintil Harits untuk menemui Mu’awiyah di Syam (Damaskus). Setelah menyelesaikan keperluan di Syam, datanglah bulan Ramadan dan Kuraib melihat hilal Ramadan pada hari Jumat.

Akhir bulan Ramadan Kuraib kembali ke Madinah, dan ditanya oleh Ibnu Abbas tentang melihat hilal Ramadan. Kuraib menjawab, “Saya melihat hilal Ramadan di Syam pada hari Jumat.” Ibnu Abbas sendiri melihatnya di Madinah pada hari Sabtu dan warga Madinah berpuasa hingga 30 hari. Kata Kuraib, “Apakah tidak cukup kita menggunakan rukyat warga Syam?” “Tidak!” jawab Ibnu Abbas. “Begitulah perintah Nabi Saw.” Tambahnya.

Demikianlah, warga Madinah tidak boleh ikut-ikutan warga Damaskus dalam memulai puasa atau berlebaran. “Apabila antara Madinah dan Damaskus saja seperti itu, padahal jaraknya tidak terlalu jauh, apalagi antara Indonesia dan Mekah yang jaraknya cukup jauh. Maka berdasarkan hadis Kuraib tadi, orang yang tinggal di Indonesia dalam beribadah, puasa dan berlebaran, termasuk lebaran Idul Adha harus mengikuti rukyat orang Indonesia dan tidak boleh mengikuti rukyat orang Mekah,” tegas Pak Kiai (Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, 213-216).

[nextpage title=”3. Idul Fitri, Kembali kepada Fitrah?”]

3. Idul Fitri, Kembali kepada Fitrah?

Sesuai namanya, “’Id”, Idul Fitri selalu “kembali” berulang setiap tahun. Idul Fitri, dalam pandangan Pak Kiai, memiliki dua konotasi makna. Pertama, Idul Fitri bermakna ‘kembali makan’. Ini berdasarkan sebuah hadis, “Idul Fitri adalah hari di mana orang-orang makan, sedangkan Idul Adha adalah hari di mana mereka menyembelih (hewan kurban)” (HR Tirmidzi).

Berdasarkan ini pula, dalam banyak kesempatan ceramah, beliau lebih suka menyebut “Zakat Fitri” daripada “Zakat Fitrah”, kendati keduanya sama-sama beralasan. Kedua, Idul Fitri bermakna “kembali kepada fitrah”, yakni kembalinya manusia kepada sifat-sifat aslinya ketika ia diciptakan pertama kali. Pertanyaannya, sifat-sifat apakah itu?

Nah, menurut Pak Kiai, manusia memiliki beberapa sifat dasar (fitrah) sebelum terkontaminasi oleh sifat-sifat lain yang muncul saat seseorang telah mulai menjalani kehidupan di dunia. Salah satu sifat-sifat dasar tersebut adalah “pengabdi Allah”.

Ya, manusia memang diciptakan semata-mata untuk beribadah kepada-Nya (Al-Dzariyat: 56). Karakter manusia ketika masih sebagai ruh memang demikian, mengakui ketuhanan Allah (Al-A’raf: 172). Bahkan, orang musyrik pun bila ditanya siapa yang menciptakan semesta, nurani mereka akan menjawab, “Allah” (Luqman: 25).

Namun, ketika ruh telah dipertemukan dengan jasad kasar dan hidup di dunia ini, masalahnya jadi lain. Karena ruh masih tetap dalam fitrahnya, sementara jasad mulai tergoda oleh kenikmatan dunia. Karenanya, pada fase ini, manusia dituntut untuk selalu mempertahankan kesucian (fitrah)-nya. Adanya bulan Ramadan merupakan suatu anugerah bagi umat manusia.

Ia menjadi momentum penting untuk mengembalikan fitrah yang sempat dikotorinya. Sehingga, bila pengembalian itu berhasil dilakukan melalui pengoptimalan hari-hari Ramadan, maka tanggal 1 Syawal tepat sekali disebut “Idul Fitri” (Islam Masa Kini, 165-168).

[nextpage title=”4. Pakaian Baru, Simbol Ketakwaan?”]

4. Pakaian Baru, Simbol Ketakwaan?

Pakaian baru pada hari raya, menurut Pak Kiai, tidaklah murni budaya. Akan tetapi, ia justru merupakan anjuran agama. Iya, kah? Ya. Menurut beliau, hal itu merupakan sebuah simbol penting. Tujuan dari segala ketaatan yang kita lakukan di bulan Ramadan adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa. Nah, dalam QS. Al-A’raf: 26, ketakwaan dinyatakan sebagai “pakaian”. Jadi, ketakwaan disimbolkan dengan baju.

Saat ada perilaku yang kurang baik kemudian diperbaiki, dan yang kotor kemudian dibersihkan, itulah yang disimbolkan dengan baju baru. Dalam Sahih Bukhari diceritakan bahwa Nabi pernah ditawari oleh Umar bin Khattab untuk memakai baju baru pada saat salat Id dan ketika menerima tamu saat lebaran. Namun Nabi kemudian menolak pemberian Umar karena bajunya terbuat dari bahan sutera. Jadi, lebaran dengan memakai baju baru sudah ada tuntunannya dari Nabi Saw.

“Jika orang membeli baju baru setahun sekali, seyogyanya dipakai pertama kali pada tanggal 1 Syawal. Selain sebagai simbol kesucian, juga sebagai rasa syukur kepada Allah, karena kita akan menghadap Allah dan menerima tamu-tamu pada hari lebaran itu.. Jadi, kalau bisa, membeli baju baru itu ditradisikan untuk dipakai pada saat lebaran, sebagai suatu momentum kita melangkah ke dalam hal yang suci,” saran Pak Kiai (Islam Masa Kini, 172-173).

[nextpage title=”5. Makanan dan Mudik Lebaran, Tradisi Baik yang Perlu Dilestarikan”]

5. Makanan dan Mudik Lebaran, Tradisi Baik yang Perlu Dilestarikan

Selain memakai baju baru, perihal makanan juga menjadi tradisi di hari lebaran. Tradisi tersebut tampaknya tidak hanya berlaku dalam masyarakat kita saja, tetapi juga di daerah-daerah lain. Eits, jangan keburu membidahkan, apalagi mengkafirkan.

Menurut Pak Kiai, tradisi makanan lebaran telah ada sejak kurang lebih 15 abad yang lampau. Pada masa Nabi, menyajikan halawah (manisan) atau buah kurma telah menjadi tradisi di hari raya. Hikmahnya menurut para ulama, makanan yang manis itu akan memperkuat tubuh orang yang berpuasa, khususnya penglihatannya. Tradisi Nabi ini kemudian terus berlangsung di Arab, mungkin hingga saat ini.

Di Nusantara juga ada tradisi yang sama. Hanya saja, jenis makanan yang disajikan berbeda, bukan kurma. Tak perlu ditanya apa itu, karena kita semua pasti tahu bahwa simbol makanan lebaran di negeri kita adalah ketupat. Orang Jawa menyebutnya kupat, yang berarti mengaku lepat, alias mengaku bersalah. Sehingga ketupat menjadi simbol silaturrahim di hari lebaran, sekaligus lambang permintaan maaf.

Mudik juga menjadi tradisi lebaran di negeri kita. Ya, tampaknya memang khas Nusantara. Jangan lihat mudiknya, tetapi lihatlah tujuan dan spiritnya, yakni silaturahim. “Ketupat dan mudik ini menjadi simbol lebaran, namun ia dibentuk oleh tradisi, sementara maksud yang terkandung di dalamnya, yaitu menghormati tamu dan silaturrahim, bersumber dari ajaran Islam,” demikian kata Pak Kiai (Islam Masa Kini, 174-175).

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *