Menu Tutup

Dituduh sebagai Syiah karena Lagu Ya Thaybah, Ini Klarifikasi dan Bantahan Haddad Alwi

DatDut.Com – Siapa yang tak pernah dengar nama Haddad Alwi dan Sulis? Bisa dikatakan, bangkitnya industri musik religi berbasis salawat berawal dari beredarnya kaset-kaset album Cinta Rasul sejak tahun 1999.

Bersama Sulis, ia menyabet beberapa penghargaan dari industri musik Indonesia dan merupakan nominator dalam Malaysia Music Award. Wikipedia melansir bahwa album “Cinta Rasul” adalah salah satu album terlaris sepanjang sejarah musik Indonesia.

Pelantun salawat kelahiran Solo, 13 Maret 1966 ini, pernah juga berkesempatan melantunkan salawat dengan iringan Phillharmonic Orchestra dari Melbourne dan Sydney, Australia dalam album Love for the Messenger.

Seiring badai fitnah yang menerpa tokoh-tokoh maupun ulama di Indonesia, Haddah Alwi pun tak luput dari tuduhan sebagai penganut faham Syiah. Isu itu berhembus mulai tahun 2011 dan terus disuarakan kelompok tertentu melalui blog, website dan medsos.

Meskipun terhitung isu lama, namun Nahimunkar.com memuat fitnah ini pada postingan bertanggal 4 Oktober 2015. Postingan itu dilengkapi foto Haddad Alwi bersama orang yang diklaim sebagai penyebar ajaran Syiah.

Karena dorongan banyak pihak, akhirnya ia menulis bantahan dalam fanspage-nya. Ia juga menegaskan tidak akan menulis bantahan lagi setelah ini. Lagu Ummi pun difitnah sebagai pujian Syiah untuk Fathimah Ra. seperti dimuat Fimadani.com. Setelah itu, tak ada lagi tanggapan dari Haddad Alwi.

Karena panjangnya tulisan Haddad Alwi yang mencapai sekitar 3000 kata, nampaknya tidak semua orang membaca hingga tuntas. Agar mempermudah memahami, berikut tanggapan Haddad Alwi kami rangkum dalam 5 poin penting:

[nextpage title=”1. Tuduhan Tanpa Tabayun”]

1. Tuduhan Tanpa Tabayun

Semua tuduhan sebagai Syiah atas diri Haddad Alwi adalah klaim tanpa tabayun atau klarifikasi, tanpa fakta dan tidak memakai etika islami.

“Saya tidak pernah ditanya langsung atau dimintai klarifikasi (tabayun) oleh para penulis itu, tanpa etika pula. Di dunia internet, tulisan-tulisan tersebut justru di-copy-paste oleh sebagian orang di blog-blog mereka maupun di media sosial lainnya (facebook, twitter, dsb),” ujarnya.

[nextpage title=”2. Pendidikan, Profesi dan Lingkunan Haddad Alwi”]

2. Pendidikan, Profesi dan Lingkunan Haddad Alwi

Ia menegaskan lahir dari keluarga Ahlussunah dan dibesarkan di dalamnya. Pendidikan dengan lingkungan NU dan Muhammadiyah pun sempat ia rasakan. Pendidikan semasa SMA dan kuliah membuatnya semakina luas bergaul dengan berbagai golongan Islam.

Dia juga banyak mempelajari segala informasi keilmuan dari berbagai kalangan. Karenanya, dia tidak statis dalam memandang keberagamaan.

Menurutnya, satu hal yang tak pernah berubah pada dirinya yaitu kecintaan pada ayat-ayat Alquran dan salawat Nabi. Dengan suaranya yang merdu, ia sejak remaja memang telah diminta untuk membacakan Alquran dan bersalawat dalam berbagai kesempatan.

Haddad alwi menegaskan bahwa aktivitas dan profesinya dalam industri musik tidak ada sangkut pautnya dengan mazhab apa pun. Ia merasa bukan orang yang kompeten untuk berdakwah tentang mazhab tertentu. Ia tidak tertarik berdakwah mazhab apalagi mazhab Syiah, bahkan terhadap anak-anaknya sekalipun.

Sebagai seorang pelantun salawat ia telah sering tampil di hadapan massa NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan sebagainya. Ia juga sering diundang dalam berbagai acara yang dihelat oleh partai politik seperti Golkar, PAN, PKS, PKB, dan lain-lain. Bahkan beberapa kali melantunkan salawat di hadapan para pemuka agama non-Islam (Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu).

Sebagai orang yang tidak mau menganut fanatisme dalam bermazhab, Haddad Alwi mengkritisi fenomena fanatisme mazhab yang membelenggu umat Islam hingga menimbulkan perpecahan dan permusuhan di kalangan Muslim sendiri.

[nextpage title=”3. Mazhab yang Dianut Haddad Alwi”]

3. Mazhab yang Dianut Haddad Alwi

Menjawab pertanyaan terkait mazhab, Haddad Alwi mengawali dengan penegasan bahwa orang yang sudah berikrar dua syahadat, salat lima waktu, berzakat, puasa di bulan Ramadan, dan berhaji ke Mekah, entah apapun mazhabnya, tidak boleh dikafirkan.

“Mazhab hanyalah kendaraan,” tegasnya. Semua pilihan orang sesuai alasannya masing-masing. “Alhasil, apapun kendaraannya, bahkan yang memilih jalan kaki pun, pada akhirnya akan sampai ke tujuan,” lanjutnya.

Sebagai jawaban ia menulis, “Maka saya tegaskan bahwa Haddad Alwi adalah seorang muslim bermazhab Cinta. Cinta Allah, cinta Rasulullah, cinta umatnya Rasulullah, cinta sesama manusia, dan cinta semua makhluk Allah.”

Ia menentang oknum Ahlussunnah yang senang memvonis kafir Syiah, sebaliknya Haddad Alwi pun menentang oknum Syiah yang senang menghina istri dan sahabat Nabi.

“Musuh kita yang sebenarnya adalah mereka yang bertindak zalim. Siapa pun yang melakukan kezaliman, maka dia menjadi musuh kita, meskipun dia kerabat kita sendiri, atau dia seagama, sealiran, dan semazhab dengan kita.”

[nextpage title=”4. Tentang Ya Thaibah”]

4. Tentang Ya Thaibah

Terkait lagu Ya Thaybah, Haddad Alwi mengatakan bahwa lagu itu bukanlah ciptaanya, tetapi ciptaan ulama sunni Timur Tengah. Ia menandaskan bahwa semua lagunya yang berbahasa Arab bukanlah ciptaan sendiri.

Ia hanya menyanyikan ulang lagu itu dengan aransemen baru agar lebih sesuai dengan selera masyarakat Indonesia. Versi asli lagu tersebut sebenarnya juga berisi pujian kepada Abu Bakar, Umar, Utsman Ra. Karena dirasa terlalu panjang maka hanya diambil bagian yang menyebut sahabat Ali dan kedua putranya.

Kenapa harus dua bait awal yang dipotong? Kenapa harus bait tentang Hasan dan Husain bin Ali yang ditampilkan?  Alasannya karena keempat sahabat sudah terkenal di semua kalangan Indonesia. Sedangkan kedua cucu Rasulullah tersebut jarang dikenal oleh kebanyakan Muslim Indonesia.

“Adakah saya bersalah atau berdosa karena mengenalkan Ali bin Abi Thalib dan kedua putranya yang juga cucu-cucu yang sangat dipuji dan dicintai oleh Rasulullah? Jika memotong 2 bait pertama itu dianggap sebuah kesalahan, maka saya memohon maaf kepada masyarakat Muslim Indonesia. Pada album Ramadan 1435 H mendatang saya akan membayar kesalahan itu dengan membawakan lagu yang liriknya adalah 2 bait pertama yang saya potong itu, insya Allah,” sambungnya.

Ia menduga, kalau syair yang memuji disebut sebagai ghuluw (berlebih-lebihan) karena orang tersebut kurang memahami satra Arab. Dalam sastra Arab, banyak bahasa yang harus dimaknai secara majazi atau kiasan.

Frasa minkumu mashdar al-mawaahib (darimu sumber keutamaan) makna secara majazi-nya adalah “Sayyidina Ali bin Abi Thalib memiliki begitu banyak keutamaan; sehingga seakan menjadi sumber keutamaan.

Ungkapan semacam ini hampir selalu ada dalam buku maulid seperti Maulid Syarif al-Anam, Maulid Ad-Diba’i, Maulid Al-A’zab, Maulid Barzanji, Maulid Simtudduror, Maulid Ad-Dia’ullami.

[nextpage title=”5. Haddad Alwi dan Komunitas Syiah Madura”]

5. Haddad Alwi dan Komunitas Syiah Madura

Selanjutnya, tentang keberadaan Haddad Alwi saat menghibur pengungsi Syiah Madura, ia mengaskan bahwa dirinya sekedar diundang panitia untuk bersalawat dan menghibur anak-anak dan orang tua yang menderita trauma dan stres berat menyusul konflik yang terjadi.

“Karena saya tidak menganggap orang Syiah itu kafir (sampai kapan pun saya tidak akan mengkafirkan Syiah), maka tidak ada alasan bagi saya untuk menolak undangan itu,” tulisnya.

“Bahkan, kalaupun  diundang dalam misi kemanusiaan untuk orang non-Muslim pun, saya akan menghadiri undangan itu,” tegasnya.

Ia juga menyoroti pembentukan stigma oleh kelompok tertentu tentang Syiah ada kemiripan dengan peristiwa PKI pada rezim Orde Baru.

Ia menduga, sebagian golongan dalam umat Islam memegang prinsip: Syiah pasti kafir, yang tidak mengkafirkan Syiah adalah Syiah juga. Yang berhubungan baik dengan Syiah pasti Syiah. yang memuji-muji tokoh yang biasa dipuji Syiah adalah Syiah. Yang memiliki kerabat Syiah, layak dianggap Syiah.

Akhirnya, Haddad Alwi menutup tulisannya dengan penegasan, “Biarkan saya seperti ini. Kalau prinsip yang saya pegang ini adalah benar, maka sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Allah semata-mata. Tetapi jika prinsip yang saya pegang ini salah, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang terpendam di hati insan. Semoga Dia berkenan mengampuni.”

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *