Menu Tutup

Dikit-dikit Ngomong “Tuhan Tak Perlu Dibela”, Pahami Konteksnya Dong!

DatDut.Com – “Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.”

Beberapa susun kalimat di atas adalah potongan sebuah artikel berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela” yang ditulis oleh Gus Dur, yang dipublikasikan oleh Tempo pada 28 Juni 1982. Artikel komplitnya bisa dibaca di sini.

Artikel tersebut sukses membuat banyak orang melayangkan kalimat sarkastik kepada Gus Dur bahkan hingga kini. Ada yang menyebutnya sebagai ucapan kaum fasik liberal karena menjadi inspirasi bagi banyak orang yag dinisbatkan sebagai penganut liberal dan sekularisme.

Mengapa hal itu terjadi? Karena “Tuhan Tak Perlu Dibela” seolah mempresentasikan keengganan manusia berpihak kepada Tuhan saat dogma-dogma agama dipermasalahkan. Penarikan simpulan seperti itu menurut saya terkesan mewakili tekstualisme dan meninggalkan konteks artikel secara keseluruhan. Tentunya dengan tanpa klaim bahwa pendapat saya ini yang benar sepenuhnya.

Dalam rangkaian kalimat-kalimat yang runtut, Gus Dur menceritakan tentang kisah pemuda X yang tengah mengalami kebingungan dalam menghadapi kenyataan tentang interaksi dogma agama dengan kondisi lingkungannya.

Di antaranya dilukiskan dengan penolakan seorang ilmuwan yang membawakan teori ilmu pengetahuan Islam terhadap wawasan ilmiah yang diikuti mayoritas ilmuwan seluruh dunia. Ada juga yang diistilahkan dengan ‘rimba kemarahan’ kaum muslimin yang membawa pada wilayah sengketa antara wawasan ideal kaum muslimin dan tuntutan modernisasi.

Pertanyaan-pertanyaan dalam hati pemuda tersebut tidak pernah terjawab saat berhadapan dengan para ahli ilmu dari disiplin ilmu yang bermacam-macam. Hingga pertemuan dengan pamannya yang seorang ahli dalam bidang fiqih pun, hatinya masih belum terlepas dari dahaga.

Akhirnya dia menemukan sebuah jawaban pamungkas dari seorang guru tarekat.

“Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.”

Begitu bunyi petikan kalimat yang mengakhiri kegundahan yang mengembara di hati pemuda itu.

Dari alur yang disajikan itu, saya lebih memilih bahwa “Tuhan Tak Perlu Dibela” tidak bisa dimaknai secara tekstual yang diikuti dengan mengajukan dalil-dalil naqli maupun aqli untuk meng-counter-nya. Karena jika hal itu yang dilakukan, maka ibaratnya kita sedang memperdebatkan sebuah materi yang definisinyapun belum disepakati.

Seperti misal saat Anda dan saya berdiskusi mengenai bidah, dimana anda menolak adanya bidah hasanah, sedangkan saya mengikuti pendapat ulama yang mengatakan bahwa bidah hasanah itu ada. Meskipun berawal dari istilah yang sama, “bidah”, diskusi itu akan selamanya nggak akan menemukan titik temu karena kita memegang pengertian yang amat berbeda tentang klasifikasi bidah itu sendiri.

“Tuhan Tak Perlu Dibela” bertujuan untuk membatasi pembelaan atas gugatan-gugatan terhadap dogma agama secara berlebihan yang akhirnya berakibat negatif pada dogma itu sendiri. Ini yang terlukis dalam kalimat di penghujung artikel:

“Kalau diikuti jalan pikiran kiai tarekat itu, informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu ‘dilayani’. Cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang “positif konstruktif”. Kalau gawat cukup dengan jawaban yang mendudukan persoalan secara dewasa dan biasa-biasa saja.”

Bisa jadi hal ini adalah penolakan terhadap yang dalam bahasa kekinian disebut sebagai radikalisme.

Khawarij adalah golongan yang bermaksud untuk menegakkan kalimat Allah. Sehingga “saking militan”-nya mereka, Sayyidina Ali pun mereka katakan sebagai pelanggar hukum Allah. Bukan tujuan yang salah, namun cara mereka untuk menuju ke sanalah yang justru menciderai kesucian agama ini.

Tampaknya sudah cukup banyak bukti tersodor bahwa counter yang dilancarkan oleh muslim atas perilaku-perilaku yang menyerang Islam justru merugikan Islam, karena citra yang dihasilkannya mengidentikkan agama ini dengan kekerasan. Baik kekerasan dalam tindakan maupun kekerasan verbal maupun pemikiran.

Zaman bisa berubah namun Islam tidak pernah meninggalkan gelarnya sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya manusia, namun seluruh makhluk yang ada di bumi Allah. Allaahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *