Menu Tutup

Stop #AirMataBuaya! Daripada Negeri Ini Hancur akibat Perpecahan, Tolong Mundur Deh, Pak!

DatDut.Com – “Orang dipinggirkan bukan karena etnis, kelompok, agama, atau isu SARA lainnya. Tapi, karena ia adalah minoritas.” Itu sedikit kalimat yang pernah diucapkan salah satu comic yang terkenal di Indonesia. Tak hanya sebagai comic juga, tapi sebagai aktor dan sutradara.

Dia adalah Ernest Prakasa. Saya pertama kali mengetahui kata-kata tersebut saat tak sengaja membaca bukunya, yang kalau tidak salah berjudul Ngenest. Sebuah buku kompilasi komedi berkisah tentang hidupnya sendiri.

Dan, tak luput juga ia menceritakan dirinya, keluarganya, bahkan etnisnya yang kini menjadi bahan hujatan. Cina. Iya, dia (Ernest) adalah seorang keturunan Tionghoa. Etnis yang (kadang) menjadi kambing hitam di negeri kita. Tak hanya Yahudi saja, Tionghoa pun juga ada konspirasinya. Apiknya, ia membawa kisahnya dengan bumbu renyah ala komedi.

Dalam kisah hidupnya sebagai Cino, tentunya Ernest selalu menjadi korban bully teman sekolahnya. Mulai mental, verbal, hingga fisik menjadi makanannya setiap hari. Nasib yang juga dialami oleh para Tionghoa lainnya. Tapi, suatu hari ia sadar bahwa yang membuatnya “disingkirkan” bukan karena ia Cina, tapi karena “berbeda”.

Itu sedikit saja, sekilasan apa yang saya dapat dari buku Ernest Prakasa ini. Kesimpulannya, tak memandang apa pun suku atau agamamu. Kalau kau minoritas, maka kau akan ditindas. Sebuah polemik yang sudah ada dari dulu di manapun. Kalau di Indonesia ini, non-Muslim dan suku minoritas seperti Cina akan jadi korbannya. Maka, di negeri RRC sana terbalik. Yang muslim, dan bukan Tionghoa akan menjadi sasaran. Padahal, ada suku minoritas di sana yang memiliki fisik sama, dan masih bisa “dianggap” Cina.

Begitulah, minoritas akan selalu tertindas, dan amat disayangkan akan terus terjadi walau keadilan ditegakkan di muka bumi ini. Puncaknya dulu di Indonesia, saat kisruh tahun 1998 yang membuat Soeharto lengser dari kursi Presiden. Tionghoa-lah yang menjadi tujuan amuk massa pada kala itu, yang sampai membuat chaos hampir tak berujung. Sampai-sampai, setiap toko harus di tuliskan “milik pribumi” agar tak menjadi korban penjarahan.

Miris memang, karena sampai sekarang peristiwa itu mejadi luka lama yang susah untuk ditutup. Oleh karena itu, orang Tionghoa sakit hati jika kita panggil “Cina”. Karena, “gelar” itulah yang membuat mereka mejadi orang paling “berdosa” di negeri ini. Dan, kini ketakutan itu (mungkin) akan kembali lagi.

Kita pasti kenal sosok orang yang bernama Pak Basuki, yang kini masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sistem yang ia terapkan rapih, disiplin, walau mulutnya seperti “comberan”. Iya, Pak Basuki, ia adalah seorang Cina. Saya bukan mau menghina, atau menghujat dia. Kalau saya lakukan, apa bedanya saya dengan dirinya.

Tulisan saya sebelumnya, berisi tentang ucapan terima kasih kepada dirinya. Karena, dengan adanya ucapan Pak Basuki, umat Islam jadi bertambah rajin untuk ngaji. Khususnya dalam masalah terkait pemilihan pemimpin umat. Nah, makin kesini saya mulai berpikir. Ucapan beliau juga sudah kelewatan. Bukan berarti tulisan kali ini ingin menumpahkan emosi, apalagi amarah. O, sama sekali tidak.

Memang saya kesal, tapi cukuplah kita laporkan saja secara hukum yang sudah berlaku. Aksi 4 November seminggu lalu saya amat dukung, karena tertib dan tidak berbuat vandalism. Yang saya kasihani justru teman-teman saya yang beretnis Cina, karena kena getah dari ucapan Pak Ahok ini. Yang Muslim mungkin tak terlalu, tapi bagaimana yang non-Muslim bagaimana? Habis sudah. Padahal yang berucap hanya satu, dan yang bikin sakit hati “kita” hanya satu orang. Tapi, terbakarlah “mereka” kini.

Maka, daripada Pak Gubernur membuat yang lain terkena batunya, saya sarankan untuk mundur secara terhormat. Saya bukan kader partai manapun, dan ini murni aspirasi pribadi sendiri. Daripada, Anda, Pak Basuki membuat orang yang seetnis dengan Anda menjadi sasaran empuk. Jangan pikirkan ego, Pak, tapi pikirkan nasib orang-orang yang akan terkena getah atas ulah Anda.

Kasihani mereka, setidaknya itu adalah alasan terakhir bagi Anda yang (mungkin) masih memegang rasa kemanusiaan. Saya bukan mengancam, tapi bagaimana jika orang  radikal berbuat semena-mena? Saya tak bisa menjamin tak terjadi sesuatu. Tapi, semoga tak terjadi. Nauudzubillah.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *