Menu Tutup

Sebelum dan Saat K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari Belajar di Tanah Suci

DatDut.Com – Sebelum berangkat ka Jazirah Arabia, Mohamamd Darwisy (nama asli K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah) sempat melanjutkan pelajarannya belajar ilmu fiqih pada K.H. Muhammad Shaleh, belajar ilmu nahwu pada KH. Muhsin dan K.H. Abdul Hamid.

Sementara itu, keahliannya dalam ilmu falak diperoleh dari berguru pada K.H. R. Dahlan, salah seorang putra Kyai Termas. Untuk ilmu Hadis yang dikuasainya diperoleh dari K.H. Mahfud, (terkenal dengan Syekh Mahfudz Termas, ulama besar dari Pacitan Jawa Timur), Syaikh Khayat, dan KH. Muhammad Nur.

Seperti juga Darwisy, pemuda Hasyim (K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama) terpikat untuk lebih lama memperdalam ilmu di Pesantren Al-Hamdaniyyah, pesantren yang didirikan oleh K.H. Hamdani pada tahun 1878 di Siwalan Panji, Sidoarjo, yang saat itu dipimpin oleh putra beliau, Kiyai Ya’kub. (Penjelasan terkait Pesantren ini bisa disimak di tautan berikut: (https://web.facebook.com/Bakka.dalleku/posts/1387644634602500)

Di sana, berkat kecerdasannya, Hasyim segera menjadi santri menonjol. Perilaku dan tekadnya, mencuri hati pimpinan pesantren. Bahkan belakangan, sesuai tradisi lingkungan pesantren, Kiyai Ya’kub pun mengangkat Hasyim sebagai menantu.

Ia dinikahkan dengan Khadijah, pada usia 21 tahun (1308 H). Setelah pernikahan, Hasyim bersama istri dan mertuanya, ia menunaikan ibadah haji. Tetapi sayang, saat di tanah suci, istri beliau tersebut meninggal saat hamil tua.

Setiba di Mekah pada 1883, Hasyim bertemu Darwisy. Mereka pun segera menjadi murid kesayangan Imam Masjid al-Haram, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Nawawi al-Bantani (seorang ulama besar dari Tanara, Banten yang kelak menggantikan jabatan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi), dan Syaikh Mahfudz at-Tarmisi.

Selain tiga nama tokoh kawakan itu, masih ada lagi Kiai Mas Abdullah (Surabaya) dan Kiai Faqih dari Maskumambang. Memang saat itu banyak ulama Indonesia yang mengajar di Tanah Haram sebelum kemudian dilarang oleh pemerintah kerajaan Arab Saudi.

Dan inilah penyebab kebangkitan umat islam menurut orientalis Belanda, Snouck Hourgenje yang mengatakan bahwa munculnya ruh jihad umat islam dalam melawan penjajahan Belanda berawal dari semangat pemuda Indonesia yang belajar dan mengajar di Tanah Haram.

Puluhan ulama-ulama Mekah waktu itu yang berdarah Nusantara dalam praktik ibadah, seperti; tasawuf, wirid, tahlil, membaca barzanji (diba’) telah menjadi bagian dari kehidupan mereka yang diamalkan di sana.

Tentu saja, itu pula yang diajarkan pada para santri seperti Mohammad Darwisy, Muhammad Hasyim, Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Kadir Mandailing, dll. Dari sini tampaklah kecenderungan Muhammad Hasyim yang sangat mencintai Hadis, sementara Mohammad Darwisy lebih tertarik bahasan pemikiran dan gerakan Islam yang dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh, pembaharu islam dari Universitas Al-Azhar, Mesir.

Di antara guru-guru Hasyim, Syaikh Mahfudz-lah yang sangat menyayanginya. Hasyim memperdalam ilmu Hadis dari Syaikh Mahfudz yang dikenal sebagai isnad (perantai; transmitter) dalam pengajaran kitab Sahih al-Bukhari. Bahkan, ia pun mendapatkan ijazah dari sang guru atas penguasaannya pada kitab Sahih al-Bukhari.

Syaikh Mahfudz merupakan generasi terakhir dari 23 generasi ulama ‘Shahih al-Bukhari‘ yang mendapatkan ijazah langsung dari Imam Bukhari. Hasyim kemudian memperoleh ijazah itu dari Syaikh Mahfudz, pertanda besarnya penghargaan sang guru pada muridnya.

Hasyim memang laiknya musafir di sisi Baitullah. Malam-malamnya, diisi dengan menyimak pengajaran dari sang guru. Bersama santri dari pelbagai negeri mancanegara, ia duduk di dalam lingkaran disiram cahaya fanus (pelita). Di tengah lingkaran, sang guru dengan jubah kebesarannya, memberikan wejangan dan pengajaran.

Di saat senggang, ia terisak di sisi makam Rasulullah SAW, maupun di tempat mustajab yang lain seraya memanjatkan doa pada Allah Swt agar dapat mudah dalam memperdalam Islam tuk kemudian mendakwahkannya. Saat hendak kembali ke Tanah Air, Hasyim bersama beberapa santri seperguruan di antaranya, Pangeran Syiria, mengikat ikrar dengan disaksikan Baitullah.

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *