Menu Tutup

Kasyfut Tabarih, Kitab Risalah Pembela Tarawih 23 Rakaat, Karya Syekh Abu Fadlol Senori Tuban

DatDut.Com – Kalau ingin tahu sampai seberapa pembelaan ulama terhadap pendapat tentang jumlah rakaat tarawih 23 rakaat (20 tarawih + 3 witir), maka Anda bisa coba baca risalah karangan Syekh Abul Fadlol bin Abdus Syakur, Senori, Tuban ini. Kasyfut Tabarih fi Bayan Shalat Tarawih.

Syekh Abul Fadlol, yang biasa dipanggil Mbah Dlol, merupakan salah satu santri dari Hadrotus Syekh Hasyim Asy’ari, Tebuireng. Semasa mudanya ia belajar kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Karena kecerdasannya luar biasa, ia hanya mondok selama 7 bulan, namun telah menguasai berbagai ilmu agama.

Kiai Abdus Syakur, ayah Kiai Fadlol memiliki ibu bernama Mbah Denok. Inilah sosok ibu yang tekun menirakati dan mendoakan anak yang ada dalam kandungannya. Seperti dikutip dari Anjangsana Suci Santri, Mbah Denok pernah mendapat karamah. Saat ia mencuci beras di sungai, beras itu tumpah karena tersenggol dirinya yang juga sibuk mencuci. Namun di luar dugaan, beras yang tumpah itu berubah menjadi emas yang kemilau.

Melihat kekayaan di depan mata, bukannya bahagia, tapi Mbah Denok malah menangis dan berdoa bahwa ia tak ingin kekayaan duniawi. Ia hanya ingin anak yang dikandungnya menjadi ulama dan panutan umat, serta menjadi kekasih Tuhan. Ternyata doa Mbah Denok ini mustajab, Kiai Abdus Syakur menjadi ulama yang mumpuni di zamanya, sedangkan cucunya, Kiai Abul Fadlol menjadi ulama luar biasa alimnya.

Nah, seperti apa isi kitab Kasyfut Tabarih? Sampai seberapa kerasnya serangan balik terhadap pendapat yang membidahkan tarawih 23 rakaat? Berikut ulasannya.

[nextpage title=”1. Latar Belakang Penyusunan Kitab”]

1. Latar Belakang Penyusunan Kitab

Seperti dijelaskan di bagian mukadimah risalah tipis ini, latar belakang penyusunan kitab Kasyfut Tabarih ini adalah munculnya pendapat yang menyalahkan tarawih 20 rakaat. Syekh Abul Fadlol berkata, “Hal yang mendorong saya menyusun risalah ini adalah karena saya dengar ada sekelompok orang berkata, ‘Melakukan salat tarawih 20 rakaat adalah bidah tercela, keluar dari sunah. Yang benar adalah melakukan tarawih 8 rakaat, karena itulah yang dikerjakan Nabi Muhammad Saw.’

Ketika banyak orang mendengar pendapat ini, timbul banyak pertanyaan diantara mereka. Banyak di antara mereka yang terkejut dan kebingunan. Hampir saja mereka menyimpang dari jalan ulama salaf yang saleh dan terbaik.

Hal itu karena mereka lupa meneliti dalil-dalil hukum di zaman akhir ini. Mereka juga terlena sehingga tidak meningkatkan keinginan untuk mengetahui berbagai dalil yang banyak. Maka jiwaku berbisik, ‘Susullah orang-orang, susullah mereka sebelum tergelincir dalam jurang kehinaan dan lubang kehancuran.

Maka, aku penuhi panggilan jiwa itu seraya memohon pertolongan kepada Allah serta bergantung pada-Nya. Dialah yang mencukupi semua orang yang bersandar pada-Nya.”

[nextpage title=”2. Beberapa Hadis yang Dinukil”]

2. Beberapa Hadis yang Dinukil

Risalah Kasyfut Tabarih, yang selesai ditulis pada 24 Ramadan 1382 H/ 19 Februari 1963 ini hanya terdiri dari tiga bab. Dalam versi Ms.Word yang penulis dapat, hanya berjumlah 8 halaman. Dulu ketika di pesantren pernah melihat risalah ini memang tipis saja.

Meskipun demikian, isinya amat berbobot. Pertama Mbah Dlol menukilkan berbagai hadis terkait  shalat tarawih. Dimulai dari hadis riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Imam Malik dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang beribadah malam pada bulan Ramadan karena iman dan mencari ridha Allah, maka diampunilah baginya dosa yang telah lalu.” Sebagaimana diketahui, ini adalah hadis yang secara umum menjadi landasan ibadah malam di bulan Ramadan.

Selanjutnya beliau mendatangkan beberapa hadis terkait rasulullah melaksanakan salat sunah pada malam bulan Ramadan selama beberapa hari di masjid, lalu Rasulullah tidak ke masjid pada malam ke-4 atau ke-5. Ketika ditanya, Rasulullah mengatakan bahwa beliau takut ibadah malam Ramadan menjadi wajib.

Dalam bab kedua, penyusun menjelaskan tentang cara pelaksanaan tarawih. Berdasarkan hadis-hadis yang dihadirkan, beliau menjelaskan bahwa sisi bidah hasanah yang dilakukan oleh sahabat Umar r.a. saat merubah cara tarawih pada zamannya hanya pada sisi jamaah dengan satu imam saja. Sedangkan tarawih dengan berjamaah, namun tidak dengan satu imam sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw.

[nextpage title=”3. Argumen Akhir yang Mencengangkan”]

3. Argumen Akhir yang Mencengangkan

Bab 3 merupakan bab terpanjang. Mbah Dlol menghadirkan berbagai perbedaan pendapat terkait bilangan rakaat tarawih. Beliau menyuguhkan beberapa riwayat hadis yang saling bertentangan serta mengkaji sisi kekuatan dan kelemahan masing-masing riwayat berdasarkan pendapat para ulama hadis.

Ia juga menegaskan bahwa hadis yang diriwayatkan dari Aisyah tentang Rasulullah baik dalam Ramadan atau di luar Ramadan, hanya melakukan salat tak lebih dari 11 rakaat diartikan sebagai hadis tentang salat witir. Namun demikian, jumlah 11 itupun masih terjadi pertentangan dengan hadis yang lain.

Antara lain hadis riwayat Abu Daud dari Qasim bin Muhammad dari Siti Aisyah yang mengatakan jumlah salat malam Nabi dan witirnya adalah 13 rakaat. Riwayat Abu Daud yang lain juga mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya adalah 5 rakaat satu salam. Kemudian dalam hadis riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, Malik dari Ibnu Abbas bahwa shalat witir 13 rakaat itu dilakukan dengan salam tiap 2 rakaat dan ditutup 1 rakaat.

Kalau Prof. Dr. K.H. Ali Musthafa Yakub dalam bukunya, Hadis-hadis Bermasalah. mengembalikan semua perselisihan kepada hadis umum terkait qiyam Ramadan yang tanpa batasan rakaat tertentu, maka Syekh Abul Fadlol mengambil kesimpulan berbeda. Ini mungkin karena masa-masa penulisan risalah itu, serangan dari kelompok yang membidahkan tarawih 23 rakaat sangat menyakitkan.

Beliau menyimpulkan, “Karena hadis-hadis tersebut bertentangan dan memungkinkan takwil, maka semuanya tak bisa dijadikan hujah untuk menetapkan bilangan rakaat tarawih karena tergugurkan sebab pertentangannya. Ketika hadis tak bisa dijadikah hujah, maka kita beralih pada dalil yang pasti (qath’i), yaitu ijmak. Ijmaknya umat Islam pada zaman Umar bin al-Khatthab r.a. yang melakukan tarawih 20 rakaat.”

Al-Bayhaqi meriwayatkan dengan isnad shahih dari Saib bin Zaid Ra, berkata, “Para sahabat melakukan tarawih pada zaman Umar bin Khatab dengan 20 rakaat.

Kesimpulan itu diperkuat dengan dua riwayat lain dari Imam Malik dalam al-Muwatha` dan riwayat al-Bayhaqi yang menyatakan pelaksanaan tarawih 20 rakaat tersebut berlangsung hingga masa kepemimpinan Ali r.a. Kesimpulan akhir yang berdasarkan pada ijmak sahabat inilah yang membuat Mbah Dlol menulis sebagai berikut:

“Jika demikian adanya, maka kita menjadi tahu bahwa orang-orang yang salat tarawih 8 rakaat itu bertentangan dengan ijmak. Sedangkan orang yang berbeda ijmak, kalau dalam hal yang sudah maklum bagian dari agama dengan pasti, maka orang tersebut bisa kafir atau fasik. Mereka berbeda dengan sunah khulafa rasyidin. Siapa yang menentang sunah khulafa rasyidin berarti menentang Nabi Muhammad Saw. karena Rasulullah bersabda, “Tetapilah sunahku dan sunah para khalifah pengganti yang beroleh petunjuk setelahku,’ (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Demikianlah sekilas isi kitab Kasyfut Tabarih. Semoga menambah wawasan.

Baca Juga: