DatDut.Com – Meskipun sebenarnya membahas kembali hal-hal terkait bidah dan sejenisnya adalah langkah mundur bagi kemajuan islam, namun tetap perlu kembali diulas ulang. Karena kelompok-kelompok antibidah pun tak lelah menyuarakannya. Sehingga hak jawab harus digunakan untuk mengukuhkan keyakinan diri dan generasi Muslim mayoritas di Nusantara.
Argumen kelompok intoleran terhadap sesama muslim selalu tidak jauh dari kelima hujjah berikut ini. Dalam memvonis bidah, syirik, atau meniru (tasyabbuh) kaum kafir terhadap berbagai amalan dan tradisi umat islam, meskipun mengajukan berbagai dalil dan argumen panjang lebar, pokok pemikiran hujah mereka tidak lepas dari kelima tuduhan ini. Tuduhan tersebut juga dibumbui dengan dalil yang diambil serampangan dan terkesan dipaksakan. Mari kita telaah satu per satu.
[nextpage title=”1. Menambah-nambahi Agama”]
1. Menambah-nambahi Agama
“ …Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu …,” (QS Al-Maidah, 3)
Ayat tersebut merupakan dalil dari argumen “menambah-nambahi syariat atau agama” yang dilontarkan kepada para pelaku maulid, tahlilan, yasinan, zikir berjamaah dan sejenisnya. Menurut Wahabi, umat Islam yang mengadakan acara tersebut telah “menganggap agama Islam ini masih kurang” alias belum sempurna sehingga mereka tega “menambah-nambahi agama“. Dengan begitu mereka juga telah menganggap Rasulullah Saw. berkhianat dalam menyampaikan agama karena masih ada yang belum disampaikan.
Sebenarnya, kebajikan yang digagas oleh para ulama dan diformat sedemikian rupa dalam bentuk acara-acara keagamaan, tradisi tertentu, tidak pernah diklaim sebagai “tambahan atas kekurangan agama.” Itu hanyalah tuduhan tanpa bukti.
Sangat aneh jikalau zikir, baca Alquran, salawat, doa yag pada dasarnya dianjurkan dan diajarkan, ketika dibentuk dalam format sedemikan rupa agar orang tertarik dan senang melakukannya justru dianggap menambahi syariat. Bukankah baca hal-hal itu sudah ada dasarnya?
[nextpage title=”2. Membuat-buat Syariat”]
2. Membuat-buat Syariat
Selaras dengan tuduhan menambahi agama karena dianggap kurang sempuna, tuduhan membuat-buat syariat juga dilontarkan kepada para pelaku tahlilan dan sejenisnya. Dalilnya:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? ” (QS Asy-Syuuraa, 21).
Padahal para ulama dan umat Islam tidak pernah menganggap acara tahlilan, maulidan dan sejenisnya sebagai bagian syariat islam dan ibadah murni. Acara tersebut hanyalah tradisi baik yang diisi amaliyah ajaran Islam.
Selain itu, ayat di atas terang sekali menyebut “sembahan-sembahan selain Allah” yang menunjukkan adanya indikasi kelakuan “syirik”. Sebenarnya memang ayat ini ditujukan kepada orang-orang musyrik penyembah berhala yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
[nextpage title=”3. “Beragama Tradisi”]
3. “Beragama Tradisi” atau “Fanatik terhadap Tokoh Bidah”
Ketika ada orang yang tidak mengikuti ajakan Wahabi untuk meninggalkan amalan yang menurut mereka bertentangan dengan Alquran dan sunnah versi pemahaman mereka, maka orang tersebut dicap sebagai orang yang beragama mengikuti nenek moyang yang sesat. Menolak ajaran Alquran dan sunnah. Ayat yang dijadikan dalil adalah:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al-Baqarah, 170).
Padahal, ayat tersebut ditujukan kepada musyrikin penyembah berhala yang menolak diajak untuk menyembah Allah. Penjelasan seperti ini ada dalam semua tafsir. Hanya Wahabi yang menghantamkan ayat ini kepada orang islam yang tak pada ajaran Wahabi. Kalaulah pengamal tahlilan mengatakan bahwa mereka hanya megnikuti guru-guru dan para pendahulu, bukankah para pendahulu dan guru-guru mereka adalah para ulama?
Bahkan, demi memuluskan tuduhannya, tak jarang amalan umat islam difitnah sebagai tradisi warisan Yahudi. Tahlilan kematian warisan Hindu. Baca Alquran dikuburan adalah tradisi yahudi. Kadang satu fitnah dan lainnya bisa bertolak belakang.
[nextpage title=”4. Mendahului Allah dan Rasul-Nya”]
4. Mendahului Allah dan Rasul-Nya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Hujuraat, 1).
Ayat ini menjadi dalil untuk mengatakan bahwa pelaku tradisi islami dan bidah hasanah adalah orang-orang yang lancang karena telah melakukan amalan yang belum ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.
Penggunaan dalil di atas tampaknya tepat, padahal secara logika sangat tidak bisa dibenarkan. Soalnya, bisakah disebut mendahului sedangkan yang didahului sudah tidak ada lagi dan tidak akan pernah ada lagi sampai hari Kiamat? Bukankah wahyu Alquran sudah tidak turun, dan Rasulullah Saw. sudah wafat?
Banyak riwayat yang menyebutkan para sahabat melakukan amalan sebelum dijelaskan anjurannya oleh Rasulullah. Mereka melakukan berdasarkan apa yang mereka pahami dari ucapan Rasulullah secara umum. Misalnya Bilal bin Rabbah yang selalu salat sunah usai wudhu, ada sahabat yang menyusun iftitah dan doa iktidal yang berbeda dari Rasulullah. (Baca: Sahabat Nabi Juga Lakukan Bidah Kok! Ini 5 Buktinya).
[nextpage title=”5. Berlebihan dalam Urusan Agama”]
5. Berlebihan dalam Urusan Agama
“Jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw (berlebihan) di dalam agama,” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Hadis ini menjadi dalil untuk mengatakan bahwa para pelaku bidah hasanah adala orang yang berlebih-lebihan, mempersulit diri sendiri dalam beragama. Tidak mencukupkan dengan apa yang diajarkan Rasulullah.
Padahal, ghuluw dalam hadis tersebut menurut ulama hadis maknaynya adalah “bersikap keras atau melampaui batas.” Merupakan wujud bersikap keras dan melampaui batas dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang sebenarnya mudah dipahami. Pengertian ini sesuai dengan riwayat hadis di atas yang berkenaan dengan peristiwa melontar jamrah aqabah di Mina.
Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah bin Abbas r.a. untuk mengambilkan batu melontar. tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan batu seukuran kerikil atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua jari). Maka Rasulullah Saw. berkata, “Dengan (batu) yang seperti ukuran inilah hendaknya kalian melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw di dalam agama.“