Menu Tutup

Camkan 5 Etika Santri dalam Kitab Ta’limul Muta’alim Ini

DatDut.Com – Kitab Ta’limul Muta’alim merupakan salah satu kitab atau buku yang menjadi bacaan dan kajian wajib di pesantren-pesantren salaf.

Kitab karya Syekh az-Zarnuji ini berisi tentang etika dan metode bagi pelajar untuk meraih keberkahan ilmunya. Jika di pesantren modern diajarkan kitab ini juga, mungkin Anda bisa menambahkan poin-poin penting yang terkandung dalam kitab tersebut.

Kaum santri sangat mempertimbangakn unsur berkah dalam keilmuan ketimbang pencapaian prestasi lahiriah. Kitab ini tak seberapa tebal, namun sarat dengan ajaran etika. Metode menuntut ilmu ala Syekh az-Zarnuji ini dirangkum dari apa yang didengar dan dilihatnya, diajarkan dan dikisahkan oleh guru-guru beliau.

Beliau terinspirasi untuk menyusun kitab Ta’lim didasari keprihatinan melihat fenomena pelajar akhir zaman yang banyak berilmu namun tak memperoleh kesuksesan dan keberkahan.

Kitab Ta’limul Muta’alim terdiri dari 13 pasal. Syekh Ibrahim bin Ismail telah mensyarahi kitab tersebut. Para ulama pesantren salaf menandaskan bahwa keberhasilan mereka menyebarkan ilmu dan mempertahankan eksistensi pesantren adalah karena mengamalkan metode Ta’limul Muta’alim.

Apa saja isi kitab tersebut? Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa Ta’limul Muta’alim menekankan 5 hal penting dalam menuntut ilmu. Berikut penjelasannya:

1. Niat Lurus

Syekh az-Zarnuji menganjurkan bahwa pelajar haruslah mendasari pencarian ilmu dengan niat yang lurus. Karena mencari ilmu yang tampaknya adalah amal akhirat bisa saja tidak berpahala karena niat yang salah.

Niat dalam menuntut ilmu antara lain mencari rida Allah, menghilangkan kebodohan atau ketidaktahuan dari diri sendiri dan orang lain (ketika nanti telah mengajarkan kepada orang), menghidupkan agama dan menjaga kelestarian Islam. Menuntut ilmu juga sebagai ekspresi syukur atas nikmat akal dan kesehatan.

Menuntut ilmu dengan orientasi mencari jabatan dan agar mudah mengumpulkan kekayaan adalah niat yang salah. Kecuali bila memang kedudukan, jabatan dan kekayaan itu dari awal diniatkan sebagai sarana berjuang menegakkan yang makruf dan mencegah yang mungkar.

Abu Hanifah berkata dalam syairnya yang dinukil dalam kitab tersebut, “Siapa mencari ilmu demi akhirat, beruntunglah ia dengan anugerah. Kerugianlah bagi pencari ilmu, hanya demi menggapai kehormatan di hadapan manusia.”

2. Memilih guru, Mengagungkan Ilmu dan Ahlinya

Doktrin terkuat dalam tradisi pesantren yang berlandaskan kitab Ta’lim adalah hormat atau takzim guru. Penghormatan terhadap seorang pengajar demikian ditekankan. Bukan saja sosok guru, tetapi bahkan keluarga dan kerabatnya.

Maka tak heran jika putra-putri kiai sangat disegani oleh para santri. Hal ini merupakan bagian dari ta’zhim al-‘ilm atau mengagungkan ilmu. Menghormati seseorang karena keilmuannya adalah bagian dari menghormati ilmu.

Termasuk dalam hal ini, pelajar dianjurkan menjaga dan memuliakan buku atau kitab yang dipelajarinya. Misalnya, dengan menata rapih dengan meletakkan kitab-kitab berkaitan tafsir paling atas, lalu kitab yang berkaitan dengan hadis, kemudian kitab fikih dan seterusnya. Tidak boleh meletakkan sembarangan kitab, menjaga kesucian saat belajar dan membaca kitab.

Syekh az-Zarnuji menandaskan, “Siapa yang menyakiti gurunya, maka ia pasti terhalang keberkahan ilmunya, dan hanya sedikit saja ilmunya bermanfaat.”

Terkait memilih guru, Ta’limul Muta’alim menyarankan agar mencari guru yang paling alim, wara (menjaga diri dari syubhat dan haram), dan yang paling tua. Memang, bagaimana guru yang kita jadikan rujukan, menentukan akan bagaimana corak kita sebagai muridnya.

3. Belajar Tekun dan Musyawarah

Proses itu yang utama. Entah bagaimana hasilnya, tetapi ketekunan dan kekuatan tekad dalam belajar sangat dianjurkan. Di sisi lain, pesantren memiliki faktor X yang disebut berkah.

Banyak kisah santri yang di pesantrennya sangat terbelakang dalam keilmuan, kurang pandai, namun tetap tekun belajar, mengabdi kepada guru, ketika pulang dan terjun di tengah masyarakat justru menjadi orang yang berhasil.

Ilmu yang saat di pesantren tidak dipahami, ketika sudah dibutuhkan ternyata ia mampu menyampaikan ilmu itu. Inilah yang dalam istilah santri dengan meminjam istilah dunia tasawuf disebut al-futuh (terbukanya pemahaman).

Belajar tekun saja tidaklah cukup. Maka Syekh az-Zarnuji menganjurkan sistem musyawarah dan muzakarah, debat ilmiah, bukan debat kusir.

Tradisi diskusi ini akhirnya melahirkan sistem Bahtsul Masail dalam kalangan pesantren hingga menjadi landasan organisasi NU dalam menjawab kasus keagamaan dan kasus sosial dari sisi agama (Baca: 5 Keunggulan Bahtsul Masail Ala Santri Salaf).

4. Belajar di Perantauan dan Menanggung Kesusahan yang Dialami

Syekh az-Zarnuji juga menganjurkan pelajar agar pergi dari kampung halamannya demi menuntut ilmu. Ini dilakukan agar tidak terlalu banyak urusan dengan lingkungan sekitar. Ghurbah atau merantau dari tempat asal juga sangat baik untuk melatih kemandirian.

Santri juga harus menanggung kesusahan yang ditemui. Segala yang dialami dalam pencarian ilmu merupakan bagian dari perjuangan. Imam Syafii dalam syairnya mengatakan, “Siapa tidak mencicipi pahitnya belajar, ia akan menelan hinanya kebodohan selama hidup. Siapa waktu mudanya tidak sempat belajar, bacakan takbir 4 kali untuk kematiannya.”

5. Bekerja dan Berdoa agar Berkecukupan

Penjelasan yang panjang lebar membahas segala tip dan tatacara dalam belajar, mencari guru, metode hafalan, etika dengan ulama dan guru, akhirnya dipungkasi dengan mencantumkan bab yang mengupas hal-hal yang memudahkan datangnya rezeki.

Karena seorang ahli ilmu kelak selama dan setelah usai belajar pastilah akan bergelut dengan urusan harta juga. Tip yang diajarkan adalah terkait doa-doa harian dan wirid khusus. Dari istigfar hingga salawat dan bacaan tasbih.

Itulah kelima hal pokok yang diterangkan dalam Ta’lim al-Muta’alim. Tentunya tidak cukup mewakili banyak hal yang dikupas mendalam di sana. Pada praktiknya, metode Ta’lim al-Muta’alim tampak hanya dipraktikkan oleh santri terhadap pelajaran agama dan yang terkait.

Contoh masalah memuliakan buku pelajaran. Kitab-kitab karangan ulama mendapat tempat khusus dan pemghormatan lebih ketimbang buku-buku yang bukan karya ulama. Misalnya saja, kitab Ta’lim yang tipis itu akan dicium santri seusai pengajian. Lain halnya buku LKS atau panduan belajar yang kadang diselipkan di kantong celana.

Baca Juga:

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *