DatDut.Com – Suasana menjalankan ibadah puasa di pesantren memang sangat nyaman. Pokok asal sudah punya bekal cukup, kitab sudah terbeli, rasanya sudah jadi orang kaya.
Ngaji kitab ala kilatan menjadi menu utama kegiatan sehari-hari di pesantren. Bagi santri yang tekun dan aktif, jadwal pengajian kitab kecil-kecil bisa dilahapnya semua. Ada juga yang mengikuti pengajian kilatan kitab besar. Ini jadwalnya lebih seru lagi, karena hampir seharian mengaji terus.
Menjelang Maghrib, masih ada lho jadwal mengajinya. Setelah salat Ashar, biasanya masih ada jadwal mengaji ataupun menyimak pangajian Alquran oleh kiai. Hingga akhirnya Maghrib menjelang. Mungkin tinggal 15 atau 10 menit kemudian Maghrib, pengajian baru usai. Dalam waktu yang sesingkat itu, santri harus berburu menu buka puasa.
Memang, sebagian ada yang telah berbelanja dan masak sejak sebelum Ashar. Namun banyak juga yang makannya beli di kantin atau warung makan sekitar pesantren. Nah, suasana menjelang berbuka inilah yang seru. Apalagi di pesantren-pesantren besar. Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi contohnya.
Keseruan itu adalah saat santri yang usai mengaji, bergegas mengambil uang kemudian berduyun-duyun menuju warung dan kantin. Terlebih kalau pesantren menerapkan penutupan gerbang usai Ashar yang bertujuan agar santri ikut pengajian wajib ba’da Ashar.
Ketika pengajian usai, gerbang terlambat dibuka, maka ratusan santri besar kecil bergerombol di gerbang menunggu petugas kamtib membukanya. Mirip demo lo. Begitu gerbang dibuka … berrr, mereka bergegas keluar. Suara gemuruh langkah kaki, sandal bergesekan dengan tanah ditingkah dengan suara gesekan sarung.
Belum lagi ketika di warung. Orang sekian jumlahnya meskipun terbagi ke berbagai warung, namun “kemacetan” tetap tak terhindarkan. Antrian untuk mengambil menu atau menunggu pelayanan pemilik warung pun berdesak-desakkan. Apalagi ketika suara tarhim (salawat sebelum azan) dikumandangkan menandakan azan Maghrib kian dekat, wah rasanya itu mulai panik.
Kalau di rumah kita biasa mengawali buka puasa dengan minuman segar, kurma dan makanan pembuka lainnya, lalu setelah shalat Maghrib makanan berat baru disantap, beda lagi cara berbuka ala santri di pesantren.
Semua jadi satu gelombang. Begitu bedug Maghrib atau penanda berbuka puasa lainnya berbunyi, maka semua makanan itu dilahap dalam satu ronde. Saat Maghrib itulah mereka minum es, langsung santap nasi, dan sayur plus lauknya.
Bagi santri yang memiliki grup masak, acara buka puasa bersama adalah agenda rutin. Ada jadwal giliran masak yang mengharuskan anggotanya untuk absen pengajian Ashar demi menyiapkan menu buka puasa. Nasi dan sayur serta lauk (kalau ada) menjelang maghrib sudah matang dan segera dituang ke nampan.
Sambil menunggu waktu Maghrib dan agar hidangan agak dingin, minuman segar dipersiapkan. Begitu beduk Maghrib berbunyi, mereka pun langsung minum, dan makan nasi bersama sebagaimana biasanya. Karena cara berbuka puasa model satu angkatan selesai beginilah, selama Ramadan, kegiatan jamaah Maghrib di masjid pesantren agak surut.
Begitulah buka bersama ala santri setiap harinya. Tak ada cara berbuka bertahap layaknya di rumah. Karena usai Isya’ mereka harus segera mengikuti pengajian lagi. Jadi mereka shalat Maghrib sudah dalam keadaan kenyang atau kekenyangan.
Oh ya, kadang menjelang khatamnya pengajian kilatan, sesekali ada acara buka bersama yang beda. Entah itu dalam rangka tasyakuran ataupun undangan lainnya. Meski dengan menu berbeda, tetapi makan model satu gelombang tetap berlaku demi efisiensi waktu.
Usai shalat Maghrib, waktu yang tersisa sambil menunggu Isya’ biasa digunakan untuk bersantai sambil ngopi bareng plus rokok, khususnya di pesantren yang masih bebas merokok. Begitu adzan Isya’ berkumandang, selesailah acara santai. Usai tarawih, mereka harus segera mengikuti berbagai pengajian hingga sekitar jam 22 atau 23.
Selanjutnya tentang sahur ala santri. Umumnya ada dua model cara santri sahur. Ada yang biasa dan ada yang tidak biasa. Makan sahur model biasa artinya makan sahur pada pukul 3 atau 4 pagi menjelang imsak. Ini terlaku di pesantren-pesantren yang kegiatan malamnya tidak sampai jam 24.00 lebih. Santri masih punya waktu istirahat agak panjang, sehingga masih bisa dibangunkan untuk sahur.
Makan sahur yang tidak biasa adalah makan sekitar pukul 24.00. Bahkan ada yang sebelum tengah malam sudah makan sekenyangnya. Hal ini karena menghindari bangun kesiangan hingga tidak sahur.
Meskipun terpaksa tidak memenuhi kesunahan makan sahur yang harusnya lewat tengah malam, tapi bagi santri tersebut lebih baik daripada kesiangan hingga tidak sahur. Jadilah sahur ala makan malam. Kurang lebih begitulah seru, dramatis, dan memacu adrenalinnya berbuka puasa dan sahur ala santri.