Menu Tutup

Bukan Bidah atau Menyerupai Hindu dan Budha, Ini Dalil Zikir Menggunakan Tasbih

DatDut.Com – Tasbih merupakan salah satu perlengkapan shalat yang banyak dipakai orang. Rangkaian biji-biji yang biasanya berjumlah 99 itu memudahkan berzikir dengan hitungan tertentu. Bahan pembuatan tasbih pun bermacam-macam. Ada yang dari manik-manik plastik ataupun keramik, biji buah tertentu, ataupun berbahan kayu bahkan tulang unta.

Penggunaan tasbih sebagai alat hitung dalam berzikir juga ada yang mempermasalahkan. Meski tak setajam soal tawasul dan tabaruk, urusan menghitung zikir dengan tasbih tak luput dari vonis bidah. Alasan khas tidak ada perintah, Nabi mengajarkan yang lebih utama, hingga tuduhan menyerupai tasbihnya biksu agama Budha ataupun tasbihnya umat Hindu juga dialamatkan pada tasbih.

Beberapa situs salafi juga berbeda dalam menyikapi alat tasbih ini. Ada yang menganggap sebagai khilafiyah yang masih bisa ditolerir, ada pula yang ngotot menyamakan tasbih dengan tasbih dalam tradisi Budha atau Hindu.

Lalu, adakah landasan yang bisa dipercaya terkait penggunaan tasbih dalam dzikir? Berikut jawaban panjang dari Syekh Athiyah Shaqr, mufti Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah dalam Fatawa al-Azhar, 9/11 yang disadur dengan penyesuaian bahasa:

[nextpage title=”1. Asal Usul Tasbih”]

1. Asal Usul Tasbih

Tasbih yang dalam bahasa arabnya disebut subhah merupakan rangkaian manik yang digunakan untuk menghitung dzikir atau bacaan tasbih. Dijelaskan dalam Majalah Tsaqafah al-Hindi, September 1955, bahwa tasbih dibuat oleh penganut agama Hindu. Antara mereka pun beda-beda jumlah hitungan tasbihnya. Kelompok Syiwa memiliki tasbih dengan 84 biji, sedangkan kelompok Wisnu mempunyai tasbih dengan 108 biji.

Ketika penganut ajaran Budha muncul, mereka akhirnya menggunakan tasbih seperti yang dipakai kelompok Syiwa yaitu 108 biji. Saat ajaran ini semakin meluas ke berbagai negara, para pemuka agama Nasrani pun ikut menggunakan tasbih seperti yang dipakai kelompok Syiwa. Semua ini terjadi sebelum datangnya agama Islam.

[nextpage title=”2. Perintah Memperbanyak Zikir”]

2. Perintah Memperbanyak Zikir

Dalam agama Islam diperintahkan untuk memperbanyak zikir sebagaimana ibadah-ibadah ketaatan lainnya. Jika dalam Alquran terdapat perintah untuk memperbanyak zikir tanpa ada batasan bilangan ataupun keadaan khusus, maka terdapat banyak hadis yang menjelaskan zikir dengan batasan bilangan tertentu.

Perintah zikir tanpa batasan bilangan misalnya dalam Q.s Ali Imran, 191 dan al-Ahzab, 41-42. Sedangkan hadis-hadis yang menjelaskan bilangan tertentu misalnya hadis zikir setelah shalat berupa 33 kali tasbih, tahmid dan takbir yang kemudian disempurnakan bilangan seratusnya dengan bacaan “laa ilaaha illallahu wahdahu …dst.”

Begitu juga banyak terdapat keterangan utamanya berzikir 10 kali hingga seratus kali. Di sinilah orang yang berzikir memerlukan alat untuk menghitung bilangan zikir yang sedang ia lakukan.

[nextpage title=”3. Sahabat Nabi yang Menghitung Zikir”]

3. Sahabat Nabi yang Menghitung Zikir

Al-Hakim, Tirmidzi, dan ath-Thabrani meriwayatkan hadis dari Shafiyyah – radhiyallahu ‘anha – yang berkata, “Rasulullah masuk, sedangkan di hadapanku terdapat 4000 biji kurma yang aku gunakan untuk bertasbih. Maka beliau berkata, “Apakah ini, wahai putri pamanku?” Aku menjawab, “Saya bertasbih dengannya.” Sungguh aku telah bertasbih sejak aku berdiri di depanmu lebih banyak ketimbang ini.” Aku berkata, “Ajarkan saya, ya Rasulallah.” Beliau berkata, “Bacalah Subhanallah ‘adada maa khalaqa min syai’in.

Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwa ia bersama Rasulullah masuk dan menemui seorang wanita yang di depannya terdapat biji kurma atau kerikil yang digunakan bertasbih. Lalu, Rasulullah bersabda, “Maukah aku beri tahu kamu dengan sesuatu yang lebih ringan bagimu dan lebih utama daripada ini? Bacalah …

سبحان اللّه عدد ما خلق فى السماء ، سبحان اللَّه عدد ما خلق فى الأرض سبحان اللّه عدد ما بين ذلك . وسبحان اللَّه عدد ما هو خالق ، اللّه أكبر مثل ذلك ، والحمد للّه مثل ذلك ، ولا إله إلا اللّه مثل ذلك ” .

[nextpage title=”4. Nabi Melarang Penggunaan Alat Penghitung Zikir?”]

4. Nabi Melarang Penggunaan Alat Penghitung Zikir?

Nabi sendiri menghitung zikir tasbih dengan tangannya, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Hakim dari Ibu Umar. Nabi juga menganjurkan para sahabat untuk menggunakan jari agar membantu menghitung zikir.

Salah satunya hadis riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Hakim dari seorang wanita muhajirin bernama Busrah, ia berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasalam – bersabda, “Tetaplah kalian dengan tasbih, tahlil dan taqdis, sungguh jangan sampai lupa, karena itu bisa menyebabkan kalian lupa dengan tauhid. Simpulkanlah hitungan dengan jari-jari, karena mereka akan ditanya dan diberi kemampuan bicara.

Memang benar hadis di atas merupakan perintah untuk menghitung jumlah zikir dengan jari tangan. Hanya saja itu bukanlah dengan secara pembatasan sehingga terlarang untuk menggunakan alat hitung yang lain. Menggunakan jari untuk menghitung zikir memang memiliki nilai iqtida’ atau mengikuti Rasulullah, namun Rasulullah sendiri tidak melarang menghitung dengan alat lain. Bahkan Rasulullah mengakui kebolehannya. Dan penetapan tersebut merupakan sebagian dalil syara’.

[nextpage title=”5. Tasbih Para Sahabat dan Ulama Salaf”]

5. Tasbih Para Sahabat dan Ulama Salaf

Karena memahami bahwa Nabi menetapkan kebolehan menghitung zikir dan tidak mengingkarinya, maka beberapa sahabat dan ulama salaf menjadikan biji kurma, kerikil, simpulan benang dan lain sebagainya sebagai wasilah untuk mengetahui jumlah tasbih. Juga tak ada yang mengingkari hal tersebut.

Dalam Musnad Ahmad diriwayatkan bahwa salah seorang sahabat bernama Abu Shafiyyah bertasbih dengan menggunakan kerikil.  Demikian juga dalam Mu’jam as-Shahabah Imam al-Baghawi bahwa Abu Shafiyyah menggelar alas dari kulit kemudian didatangkanlah wadah yang didalamnya ada kerikil. Ia lalu berzikir hingga tengah hari.

Syekh Athiyah Shaqr juga menampilkan beberapa riwayat lain yang cukup panjang. Di antaranya bahwa menurut Ikrimah, Abu Hurairah mempunyai benang yang memiliki dua ribu simpul. Ia baru tidur setelah membaca tasbih dengannya sejumlah dua belas ribu tasbih.

Adapun bentuk tasbih umat Islam yang kini jumlah bijinya 100 ataupun 99, itu bisa dikembalikan pada hadis shahih tentang zikir usai shalat.

Di akhir jawaban, Syekh Athiyah Shaqr menukilkan pendapat al-Jalal al-Bulqini yang menyampaikan pendapat sebagian ulama bahwa menghitung tasbih dengan jari lebih utama karena hadis riwayat Ibnu Umar. Namun dikatakan pula bahwa bila aman dari kesalahan hitungan, maka menghitung menggunakan jari lebih utama. Jika takut salah, maka menggunakan alat tasbihlah yang lebih utama.

Demikian beberapa poin yang perlu diketengahkan terkait alat tasbih dalam zikir. Urusan tujuan dan niat seseorang memakai alat tasbih itu tentu dikembalikan pada niatan masing-masing. Kalaupun tersisip niatan riya, maka berarti riyanyalah yang haram, bukan alat tasbihnya. Silakan merujuk kitab fatwa tersebut diatas untuk keterangan lebih luas lagi. Wallahu a’lam.

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *