Menu Tutup

Ada 5 Kegiatan terkait Salat Jumat yang Sering Disangka Bidah

DatDut.Com – Terkait rangkaian ibadah salat Jumat, kadang beberapa daerah bisa berbeda. Perbedaan pendapat tentang tatacara pelaksanaan salat Jumat sebenarnya juga hanya masalah furu’ (bukan masalah inti dalam agama). Namun perlu juga untuk memahami landasan beberapa tatacara yang terkadang dianggap bidah. Berikut ini 5 hal dalam rangkaian salat Jumat yang disangka bidah:

1. Salat Qabliyah Jumat

Salat qabliyah Jumat dilaksanakan setelah azan pertama. Dengan pelaksanaan salat sunah dua rakaat ini, posisi jamaah Jumat ketika mendengar khutbah sudah tertata rapi dalam barisan-barisan salat.

Salat qabliyah Jumat didasarkan pada hadis riwayat Ibnu Majah berikut. Sulaik al-Ghathafani datang ke masjid saat Rasulullah Saw. berkhutbah jumat, beliau bertanya kepadanya, “Apakah kamu sudah salat dua rakaat sebelum datang (ke masjid)?” Sulaik menjawab, “Belum.” Rasulullah bersabda, “Salatlah dua rakaat, dan percepatlah.”

Menurut penjelasan Ibnu Hajar, hadis di atas adalah dalil pelaksanaan salat qabliyah Jumat. Ia menjelaskan, Rafi’i tidak menyebutkan hadis salat sunah sebelum Jumat. Hadis yang paling sahih adalah riwayat Ibnu Majah bahwa Sulaik al-Ghathafani datang ke masjid saat Rasulullah Saw berkhutbah. Beliau bertanya kepadanya, “Apakah kamu sudah salat dua rakaat sebelum datang (ke masjid)?” Sulaik menjawab, “Belum.” Rasulullah bersabda, “Salatlah dua rakaat, dan percepatlah” (Talkhish al-Habir, 2/177).

Selain hadis tentang Sulaik al-Ghathafani, Abu Dawud dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadis tentang salat qabliyyah Jumat.

“Abdullah bin Umar memperpanjang salat sebelum Jumat dan salat 2 rakaat setelah Jumat di rumahnya. Abdullah bin umar mengatakan bahwa Rasulullah Saw. melakukan hal tersebut” (HR Abu Dawud, 1130; Ibnu Hibban, 2476).

Dari hadis sahih ini al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip pernyataan Imam Nawawi bahwa hadis ini adalah dalil salat sunah sebelum Jumat (Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, III/351).

2. Bilal Jum’at/Muraqqi

Muraqqi atau bilal biasanya juga yang menjadi muazin. Sebelum khatib naik mimbar dan melaksanakan khutbah, muraqqi mengingatkan hadirin agar tertib dan tenang dalam mendengarkan khutbah. Ia membacakan hadis Abu Hurairah yang menghimbau agar jamaah tidak berbincang atau berbisik-bisik.

Keberadaan muraqqi ini ada yang berpendapat adalah bidah makruhah, sebagaimana pendapat dalam Mukhtashar Syekh al-Kharasyi, 5/229.

Namun, Ibnu Hajar al-Haitami berpendapat bahwa keberadaan muraqqi justru merupakan bidah hasanah. Alasannya, karena si muraqqi mengingatkan jamaah agar mendengarkan khutbah dengan membacakan hadis sahih.

Pengangkatan muraqqi ini bisa juga didasarkan pada sunah rasulullah yang menyuruh seorang sahabat yang menyuruh agar orang-orang diam ketika rasulullah berkhutbah di Arafah (Tuhfah al-Muhtaj, 9/310).

Demikian juga pendapat Imam Ramli yang dikutip dalam Hasyiyah asy-Syarwani 2/461, yang menganggap keberadaan seorang muraqqi yag membacakan ayat dan hadis di hadapan khatib saat akan berkhutbah adalah bidah hasanah.

3. Tongkat dan Mimbar untuk Khutbah

Berkhutbah di atas mimbar dengan memegang tongkat biasanya ada di masjid-masjid NU. Di beberapa tempat yang berusaha mempertemukan NU dengan ormas lain, tongkat tidak lagi dipakai dalam rangkaian khutbah Jumat. Padahal khutbah dengan berpegangan tongkat adalah sunah nabi.

“Kami menyaksikan di Madinah pada hari Jumat bersama Rasulullah, kemudian beliau berdiri (khutbah) dengan berpegang pada tongkat atau anak panah” (HR Abu Dawud, 1098).

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dalam al-Umm, menyebutkan bahwa Ibnu Juraij bertanya kepada Atha’, “Apakah Nabi Saw. memegang tongkat saat khutbah?” Atha’ menjawab, “Ya, beliau memegang tongkat” (al-Umm, 1/177).

Berkhutbah di atas mimbar juga telah dilakukan sejak zaman Nabi. Dari Ubay bin Ka’ab, Rasululah Saw. saat itu salat dan khutbah di dekat pohon kurma. Ada salah satu sahabat yang berkata, “Bagaimana jika kami buatkan untuk Anda sebuah tempat yang dapat dilihat dan suara khutbah Anda bisa didengar orang?” Nabi menjawab, “Ya.” Maka dibuatlah mimbar dengan 3 tangga” (HR Ibnu Majah, 1414).

Bagi yang tidak setuju penggunaan mimbar dan tongkat dalam khutbah Jumat, kalaupun memiliki dasar hadis, sebaiknya tidak menganggap adanya mimbar sebagai bidah. Karena ternyata penggunaan mimbar dan tongkat dalam khutbah juga ada dasar hadisnya.

4. Khatib dan Imam Berbeda

Fenomena pergantian khatib dan imam biasanya terjadi di daerah yang banyak orang alimnya. Hal itu dilakukan demi menghormati dan memfungsikan semua tokoh masyarakat. Biasanya ustaz muda sungkan untuk menjadi khatib sekaligus imam. Sehingga ia mau khutbah tetapi untuk menjadi imam. Imamnya biasanya tokoh atau ustaz yang lebih tua.

Menurut penjelasan dalam I’anah ath-Thalibin, II/111, pergantian khatib dan imam mengharuskan si imam yang menggantikan posisi khatib untuk mengimami haruslah mendengar seluruh rukun khutbah. Karena orang yang tak mendengar khutbah bukan tergolong ahli Jumat alias tidak melaksanakan jumat dengan sempurna. Ia baru tergolong ahli Jumat saat melaksanakan salat.

Meskipun bukan bidah yang haram, tapi pergantian imam dan khatib itu sendiri juga tergolong makruh menurut pendapat mazhab Syafi’i. Sebaiknya justru imam dan khatib adalah satu orang, karena salat Jumat dan khutbahnya adalah seperti sesuatu yang satu (ad-Durr al-Mukhtar, I/576).

5. Pengedaran Kotak Infaq

Sedekah di hari Jumat memang mempunyai keistimewaan, seperti dalam hadis, “Sedekah pada hari itu (Jumat) lebih mulia dibanding hari-hari lain” (HR Ibnu Khuzaimah). Meskipun sedekah di hari Jumat memiliki keistimewaan, tetapi mengumpulkan sedekah atau infak lewat kotak amal yang dijalankan sewaktu shalat jumat, ternyata hukumnya lain lagi.

Karena terindikasi mengganggu dan memalingkan perhatian dari zikir dan mendengarkan khutbah, maka mengedarkan kotak amal sama hukumnya dengan menjalankan kendi dan membagi-bagikan selebaran yang hukumnya adalah makruh (Hasyiyah al-Jamal, III/327).

Nah, terlepas dari pendapat bahwa menggeser kotak amal saat khutbah itu digolongkan mengganggu dan dihukumi makruh, saya pikir acara menggeser kotak amal saat khutbah itu justru punya sisi unik.

Apa itu? Membangunkan jamaah yang tertidur saat khutbah. Kan kalau banyak yang tertidur, sedangkan jumlah jamaahnya mepet kuota (40 orang versi mazhab Syafi’i), bahaya kalau yang terjaga dan mendengar khutbah tidak ada 40 orang. Jadi, meskipun makruh, ada juga sisi baik untuk menyadarkan jamaah yang mengantuk.