Menu Tutup

Cerdaslah Menyikapi Berita di Media Sosial Jelang Pilkada! Ini 5 Polanya

DatDut.Com – Dulu, ketika masa pilpres tahun 2004 dan 2009 yang mengantar Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke kursi kepresidenan, masih banyak orang belum mengenal dan menggunakan internet. Akses internet saat itu masih terlihat langka dan hanya bisa lewat warnet.

Telepon seluler dengan berbagai fitur untuk berselancar dan bersosialisasi via dunia maya juga masih jadi barang mewah. Sehingga segala kampanye dan informasi politik mayoritas didapat dari siaran televisi dan radio ataupun Koran.

Beda lagi ketika pilpres 2014 kemarin, yang hasil akhirnya adalah Pak Joko Widodo (Jokowi) yang duduk menggantikan SBY. Suasana dukung mendukung dan kampanye sudah merambah, tersebar luas dan cepat lewat internet. Sosial media seperti FB dan Twitter menjadi ajang menyuarakan dukungan, umbar pujian, obral propaganda hingga debat terbuka dan saling hujat bahkan saling fitnah.

Lebih seru lagi karena televisi skala nasional pun turut serta dalam dukung-mendukung. Fenomena itu mencapai puncaknya ketika beberapa stasiun televisi yang ada ternyata terbelah dua kubu dan menghadirkan dua hasil hitung cepat yang berbeda. Semua masih ingat bukan?

Fenomena perang kampanye dan sosisaliasi calon pemimpin rupanya tak berhenti begitu pilpres usai. Puing-puing dan sisa-sisa bara dukungan dan kekecewaan dari pihak tertentu terus menghantui jalannya pemerintahan. Muncullah sosok dan berita oposisi, pengamat, pengkritik ataupun penghujat.

Nah, perang dukungan via dunia maya rupanya kini kembali digelar. Khususnya pilkada DKI yang bisa dianggap sebagai titik pusatnya. Mirip dengan masa pilpres, secara umum 5 fenomena berikut ini merebak sekarang ini. Padahal Pilkada DKI masih jauh kan?

[nextpage title=”1. Perang Berita Dukungan”]

1. Perang Berita Dukungan

Sebagai media yang lebih mudah diakses, internet menjadi ajang penyebaran berita terefektif saat ini. Dengan dukungan berbagai jenis ponsel yang kian canggih, orang lebih memilih membaca berita di internet ketimbang menonton siaran berita televisi.

Media sosial menjadi ujung tombak penyebaran berita. Masyarakat banyak yang masih kurang teliti dan terlalu gampang terpengaruh berita di internet. Mereka mudah saja membagikan berita-berita dengan judul menantang, meskipun ternyata isinya jauh panggang dari api.

Kaitannya dengan pilkada DKI Jakarta, anda bisa lihat di beranda FB anda, berita dukung-mendukung calon berseliweran. Cobalah Anda follow/ikuti berita dari beberapa orang yang berbeda arah dukungannya, niscaya pusing kepala kalau berita dan postingan status mereka sampai terbawa perasaan.

[nextpage title=”2. Akun Abal-abal Bertebaran”]

2. Akun Abal-abal Bertebaran

Mendekati pemilihan, muncul berbagai kelompok tim sukses yang katanya relawan. Menurut saya sih, entah rela dan ikhlas mendukung meski tanpa bayaran, ataupun rela dibayar untuk mendukung dan menyuarakan dukungan, keduanya sah-sah saja memasang “merk” relawan. Betul, tho?

Pernah dengar istilah cyer troops atau cyber army? Bahasa mudahnya adalah sekelompok akun atau orang yang bergerak seide untuk mencapai tujuan tertentu. Contoh mudah pasukan maya ini adalah, kalau aAda ingin melumpuhkan satu akun FB milik seseorang bikinlah minimal 80 akun berbeda. Lalu report/laporkan akun target ke FB untuk dimatikan. Kalau berhasil, akun target Anda otomatis dihapus.

Dalam perang dukungan, akun palsu seperti itu banyak bertebaran. Tujuannya jelas menggiring opini publik agar yakin bahwa calon tertentu adalah pilihan mayoritas rakyat. Ciri umum akun FB palsu adalah tidak adanya identitas yang jelas, selalu membagikan tautan/link berita dan tak pernah menulis status pribadi.

[nextpage title=”3. Website Abal-abal Penuh Hoax”]

3. Situs Abal-abal Penuh Hoax

Selain akun FB dan twitter, situs pun banyak yang menyebarkan berita dan ulasan dukungan untuk calon tertentu. Tentu dengan berbagai berita keberhasilan, janji dan polesan pada calon yang didukung oleh website itu. Selain dukungan kepada calon idola, situs-situs corong perang kampanye ini biasanya dilengkapi bumbu kritikan, hujatan bahkan kadang fitnah kepada calon lain.

Judul artikel dan berita yang menantang menjadi ciri khas website abal-abal. Tidak adanya kejelasan identitas tim redaktur juga menjadi tanda situs tersebut kurnag kredibel. Sanjungan politis kepada calon tertentu kadang diluar nalar. Oh iya, dukungan dan pembelaan maupun kritikan dan hujatan kepada presiden terpilih saat ini pun, banyak di antaranya menggunakan situs model abal-abal begini.

[nextpage title=”4. Informasi Makin Runyam”]

4. Informasi Makin Runyam

Karena berita, ulasan dan sudut pandang dari berbagai media yang berlawanan kepentingan, informasi yang didapat masyarakat pun kian runyam. Meragukan kebenarannya. Sebagian justru provokatif. Tanpa mengutip berita tertentu Anda saya persilakan untuk membandingkan berita dari pro-Ahok maupun dari kontra-Ahok.

Untuk skala lebih besar, baca saja berita dari pro-Jokowi dan anti-Jokowi. Pasti berbeda dan berselisih serta tak jauh dari pembahasan poin 3. Pembelaan, dukungan, sanjungan, berita keberhasilan versus hujatan, kritikan kebijakan, penyingkapan kasus tersembunyi, bahkan fitnahan.

[nextpage title=”5. Kepercayaan Publik Menurun”]

5. Kepercayaan Publik Menurun

Inilah efek buruk dari semua fenomena perang informasi dan dukungan di dunia maya. Seperti halnya anggapan masyarakat terhadap partai dan pemilihan umum, kepercayaan masyarakat kepada media pun akan menurun.

Sudah bukan rahasia lagi, parpol pemilu bagi kebanyakan orang tidak lebih sekadar pengeruk suara mereka lima tahun sekali. Parpol juga tempat sebagian mereka untuk lima tahun sekali mendapatkan tambahan uang dari menjadi timses dan tim pengawas perhitungan. Selebihnya, mereka sadar dan sudah berburuk sangka, partai dan tokoh yang mereka dukung hanya akan mencari keuntungan penutup modal kampanye.

Media mainstream pun saat ini nampaknya sudah mulai terjebak dalam dukung mendukung para calon. Sudah mafhum, siapa yang dapat memegang kendali media, dialah yang akan jadi orang hebat dengan polesan dari media tersebut.

Akhirnya, masyarakat harus lebih cerdas menerima dan menyikapi segala berita politik dan dukung mendukung calon. Jangan sampai baper lalu terprovokasi, panasan hingga terjadi tindak anarkis antar kelompok yang mendukung calon berbeda.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *