DatDut.Com – Beberapa hari lalu ada satu media online yang jelas-jelas terafiliasi ke kubu penista menulis satu berita dengan judul yang seolah-olah menyebut bahwa membela penista sama dengan membela Islam. Media itu mengutip pendapat seorang dosen yang mengajar di King Fahd University Arab Saudi.
Nah, kali ini saya akan mengungkap kejanggalan berita itu. Pertama, sejak kapan membela penista agama Islam kok dianggap sebagai membela Islam. Analogi sederhananya, mencaci maki seseorang itu sama dengan membela orang itu. Kalau benar begitu, mari kita caci-maki semua orang, karena dengan mencaci-maki dan menistakannya, kita justru dianggap membelanya. Aneh, kan?!
Kedua, katanya benci Arab, tapi kok bawa-bawa nama dosen Arab Saudi demi mendukung si penista?! Itu dosen sana yang asli Indonesia kan? Bukan orang Arab Saudi, kan? Itu dosen yang pemuja penista itu, kan? Kok malu-malu gitu nyebutnya. Sudahlah tak usah tipu-tipu dan mengelabui pembaca lagi.
Ini Jakarta, Bung. Banyak orang pintar di sini. Gampang sekali mencari data-data yang disembunyikan. Jadi, untuk apa disembunyiin namanya. Semua orang juga tahu siapa yang dimaksud dan apa latar belakang dia.
Ketiga, King Fahd University kan kampus Perminyakan dan Mineral? Dengan kata lain, bukan kapling dosen itu untuk membicarakan persoalan agama, apalagi dikaitkan dengan dukung-mendukung. Dia tidak otoritatif kalau bicara Islam. Lebih-lebih dengan logika yang janggal.
Keempat, setahu saya, kepakarannya bukan tentang kajian Islam. Bukannya sebagai akademisi dia harus menghormati wilayah keilmuan pada ahlinya masing-masing, ya?! Padahal ini sudah di luar domain keilmuan dia.
Kelima, sebagai pembaca kita harus kritis. Tak semua akademisi berkomentar dan berpendapat itu murni bicara objektif dan dalam konteks ilmu. Sebagiannya malah menggunakannya sebagai bagian strategi menebar kode dan cari perhatian pada yang sedang berkuasa agar dapat sesuatu.
Apalagi kita sudah mendapat pelajaran dari akademisi dan pengamat yang pada pilpres lalu kesetanan mendukung salah satu capres. Hari ini mereka sudah duduk manis sebagai komisaris di berbagai perusahaan milik negara. Silakan diartikan sendiri. Toh mereka manusia biasa dan bukan nabi. Wajar kalau kita curiga. Wong mereka juga biasa curiga kok pada ulama. Jadi, kita punya hak yang sama.
Dengan lima kejanggalan itu setidaknya kita tahu bahwa kubu penista sedang panik dan menggunakan segala cara agar bisa menarik simpati massa. Padahal sebagian warga Jakarta, apalagi yang ikut aksi bela Islam, sudah antipati pada dirinya.