Menu Tutup

Bantahan atas Vonis Bidah terhadap Kitab Dalail al-Khairat pada 5 Isu Ini

DatDut.Com – Kitab Dalail al-Khairat adalah karya Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli (w. 872 H). Kitab ini merupakan kumpulan salawat dengan beragam versi redaksi. Isinya diawali dengan tata cara pengamalan, disusul hadis-hadis keutamaan salawat, kemudian kumpulan salawat yang terbagi dalam 8 bagian yang disebut hizb dan dibaca dalam waktu seminggu.

Ijazah amalan Dalail juga berbeda-beda tingkat kesulitannya. Mulai tanpa puasa, hingga yang mengharuskan puasa 3 tahun. Sebagaimana tradisi pesantren yang menjaga kesinambungan sanad, kitab Dalail juga diijazahkan dengan menjaga sanad hingga ke penyusunnya Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli.

Sebagai kitab salawat yang memuat berbagai redaksi salawat, baik langsung dari Rasulullah Saw. maupun kreasi sahabat dan ulama, serta disisipi doa dengan tawasul, maka kitab Dalail al-Khairat mengundang kalangan wahabi atau salafi untuk melarang dan memberantas pengamalannya. Misalnya yang dimuat dalam salah satu artikel di situs Hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com, yang ditulis oleh Ustaz Abu Ubaidah.

Berikut bantahan atas vonis bidah terhadap kitab Dalail al-Khairat pada 5 isu:

[nextpage title=”1. Bantahan atas Vonis Bidah Salawat yang Dikarang Tidak Sesuai Versi Nabi”]

1. Bantahan atas Vonis Bidah Salawat yang Dikarang Tidak Sesuai Versi Nabi

Sebagaimana kebiasaan copas (copy-paste) dan salitem (salin-tempel) artikel dalam blog tersebut akan Anda temukan dalam berbagai blog sealiran dengan redaksi yang sama atau nyaris sama. Sebagaimana dalam mengkritik segala doa dan wirid yang mereka anggap tak ada dalilnya, argumen dan dalil yang dipakai tak jauh-jauh dari pembahasan bidah, tawasul, dan antipati dengan sufi atau tasawuf.

Ada sebuah kitab yang disusun oleh Hisyam Dimasyqi berjudul Radd asy-Syubuhat ‘an Dalail al-khairat sebagai bantahan atas tulisan Muhammad Jamil Zainu yang berjudul Risalah at-Tahdzir min Kitab Dalail al-Khairat. Kebanyakan situs-situs yang memuat artikel anti Dalail, argumen dan dalil yang disodorkan mengambil dari tulisan Muhammad Jamil Zainu tersebut. Karenanya, akan kami suguhkan penjelasan 5 hal dalam Dalail yang dianggap sesat berdasarkan Risalah Radd asy-Syubuhat.

Masalah salawat yang bukan redaksi asli dari Nabi muhamad Saw. memang selalu jadi sasaran vonis bidah. Ada yang menolak redaksi salawat dalam kitab Dalail ini dengan menyorot ucapan Syekh al-Jazuli di bagian mukadimah. Beliau menuturkan bahwa hadis dan salawat yang termuat dalam Dalail ia buang sanadnya agar lebih mudah dibaca dan dihafal.

Tentu saja hal ini wajar untuk kitab dengan tujuan sebagai amalan tiap hari seperti Dalail. Betapa susahnya mengamalkan bacaan salawat kalau harus membaca beserta sanadnya. Demikian juga hadis-hadis fadilat salawat (keistimewaan salawat), akan semakin tebal kitab Dalalil kalau si penyusun mencantumkan hadis lengkap dengan sanadnya.

Tentang berbagai redaksi salawat yang tidak diajarkan oleh Nabi, telah dibahas dalam tulisan tentang salawat (Baca: Ini 5 Sahabat dan Tabiin yang Lakukan Kreasi Doa dan Salawat, Masih Anggap Bidah?!). Namun untuk melengkapi perlu ditambahkan beberapa riwayat tentang kreasi doa dan salawat para salaf mengutip dari Rad asy-Syubuhat.

Salawat adalah doa, sehingga boleh saja kita membaca doa yang disusun oleh ulama. Memang doa dan dzikir yang bersumber dari Rasulullah Saw. adalah yang paling utama. Tapi tak ada larangan membaca doa yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Suatu ketika Rasulullah Saw. masuk masjid dan menjumpai seorang lelaki selesai salat dan berdoa keadaan masih duduk taysahud, “Sungguh aku memohon kepada-Mu dengan (Asma) Allah, Yang Esa, Yang menjadi tujuan permohonan, Yang tiada beranak dan tidak dilahirkan, dan tiada satu pun yang menyamai-Nya, agar Engkau ampunkan dosa-dosaku. Sungguh Engkaulah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Mendengar itu, Rasulullah bersabda, “Sungguh ia telah diampuni” (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah). Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw. mengomentari doa orang itu dengan bersabda, “Sungguh lelaki itu telah berdoa dengan nama Allah yang teragung, yang bila Dia diminta niscaya Ia akan memberi.”

Bahkan dalam hadis riwayat Thabrani, Rasulullah Saw. justru memberi hadiah emas kepada seorang Arab badui yang berdoa dengan rangkain bahasa yang indah. Nah, doa seperti yang dibaca lelaki dalam hadis tersebut dicantumkan dalam kitab Dalail.

Wuhaib bin Ward menyusun salawat dengan redaksi, “Ya Allah, berilah Nabi Muhammad sebaik-baik permintaan yang ia pinta untuk dirinya, berilah Nabi Muhammad sebaik-baik permintaan dari salah satu makhluk-Mu untuknya, berilah Nabi Muhammad sebaik-baik perkara yang Engkau diminta (memberi perkara itu) untuknya.

Sekian banyak bentuk doa dan salawat yang dibuat para ulama tercantum dalam Dalail al-Khairat. Beberapa di antaranya akan dibahas lebih rinci, sesuai tuduhan syirik dan khurafat sufi yang tertuju khusus doa tersebut.

Hisyam Dimasyqi mengakhiri penjelasan tentang berbagai doa dan salawat yang disusun oleh ulama dengan menyebutkan tiga syarat dalam menyusun doa. Yaitu tidak berlebihan apa yang dipinta. Disebut dengan al-I’tida. I’tida’ diartikan sebagai meminta yang bukan derajatnya.

Ada pula yang mengartikan berdoa dengan terlalu memperhatikan sajak atau keindahan bahasa. Syarat kedua adalah tidak meminta sesuatu yang berdosa. Ketiga tidak memohon terputusnya hubungan sanak famili.

Rasulullah bersabda, “Allah selalu mengabulkan permohonan seorang hamba selama ia tidak meminta hal yang berdosa dan putusnya persaudaraan, dan selama ia tidak tergesa-gesa.

Ditanyakan, “Ya Rasulallah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa dalam doa?” Nabi menjawab, “Orang berdoa dan ia berkata ‘Aku telah berdoa, aku telah berdoa dan aku tak melihat doaku dikabulkan,’ lalu ia merasa rugi ketika itu dan tak mau berdoa lagi,” (HR Muslim).

[nextpage title=”2. Meminta Bantuan dengan Nabi yang Telah Wafat”]

2. Meminta Bantuan dengan Nabi yang Telah Wafat

Pada poin kedua ini, saya membahas tentang hukum meminta bantuan atau tawasul pada Nabi yang telah wafat. Di bagian awal Dalail, halaman 16 versi cetakan Al-Hidayah, Surabaya, tercantum ungkapan Syekh al-Jazuli yang artinya: ‘… berpegangan teguh dengan adab dan sunah beliau, meminta bantuan ke hadiratnya yang mulia…’.

Kata-kata ini disoroti sebagai bentuk kemusyrikan karena meminta ata tawasul kepada Nabi yang telah wafat. Meminta bantuan hanya kepada Allah semata sebagaimana firman-Nya, “Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda” (Q.S Ali Imran: 125).

Ayat lain yang juga menjadi dalil adalah firman Allah Swt. berikut: “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah aku memohon pertolongan.” (Q.S al-Fatihah: 5). Selain itu, Nabi juga bersabda, “Bila kau minta, mintalah kepada Allah. Bila minta bantuan, mintalah bantuan kepada Allah,” (HR Tirmidzi).

Menanggapi pernyataan ini, penulis Radd asy-Syubuhat mengatakan, klaim bahwa kalimat mustamidan min hadhratihi al-aliyyah (meminta bantuan kepada hadiratnya yang luhur) sebagai syirik karena meminta kepada Nabi yang telah wafat, adalah klaim yang tak berdasar. Karena, ungkapan meminta bantuan itu diikuti dengan kata min hadhratihi al-’aliyyah yang umumnya kata tersebut maksudnya ditujukan kepada Allah Swt.

Saya tambahkan bahwa urutan kalimat dari mukadimah memang berupa doa dengan menggunakan dhamir khithab (kata ganti orang kedua) yang ditujukan kepada Allah Swt. Kemudian pada doa tersebut menurut Ilmu Balaghah bisa digolongkan sebagai iltifat, beralih dari satu dhamir yang berbeda dari dhamir yang dipakai dalam runtutan kalimat sebelumnya.

Kutipan ungkapan sebelumnya misal kita ambil dari “…Hingga aku pantas menghadap hadirat-Mu, dan aku menjadi bagian dari golongan yang Engkau istimewakan, dengan berpegangan pada adab dan sunah beliau Saw. memohon bantuan dari hadirat-Nya yang mulia.”

Kata hadirat-Nya memang bisa menimbulkan salah sangka. Nya bisa dikembalikan kepada Allah Swt. sebagaimana dalam runtutan doa, namun sekilas saja kita akan katakan bahwa Nya itu merujuk kepada Nabi yang disebutkan dalam kata ganti pada kalimat sebelumnya (berpegangan pada adab dan sunah beliau). Sehingga kalagan wahabi langsung katakan itu sebagai syirik karena meminta kepada Nabi yang telah wafat.

Hisyam Dimasyqi melanjutkan, kalaupun kata ganti tersebut dikembalikan rujuknya kepada Nabi Muhammad Saw. maka tidaklah bertentangan dengan sabda beliau “Bila meminta, mintalah kepada Allah, bila memohon bantuan mintalah bantuan kepada Allah.” Karena Syekh al-Jazuli tidaklah bermaskud memohon kepada diri Rasulullah Saw. semata. Namun, ia seakan-akan meminta Rasulullah untuk mendoakan kepada Allah agar memperoleh bantuan untuk cepatnya terkabul sebuah doa.

Artinya, ia berharap mendapat bantuan dari Nabi itu lebih mudah dan cepat diijabah Allah Swt. Bukankah dalam Sahih Bukhari telah dijelaskan bahwa para sahabat berkata, “Nabi yang berkulit putih, yang awan diminta menurunkan hujan dengan wajahnya,” (HR Bukhari).

Kesimpulannya, kalimat “min hadhratihi al-aliyyah” kalaupun dhamir atau kata gantinya dirujukkan ke Nabi Muhammad, maka itu bagian dari tawasul dengan Nabi atau orang salih yang telah wafat (Baca: 5 Ulama Ini Pernah Tawasul di Kuburan).

[nextpage title=”3. Nama-Nama yang Tak Pantas Disandang Manusia”]

3. Nama-nama yang Tak Pantas Disandang Manusia

Kali ini, saya ingin menyoroti permasalahan predikat nama yang dibuat oleh penulis Dalail untuk Nabi Saw. Dalam artikel tersebut, dikatakan bahwa kitab Dalail memuat nama-nama yang seharusnya tidak diperuntukkah kepada Nabi sebagai manusia.

Menurutnya, nama Nabi seperti Muhyi (yang menghidupkan), Munji (penyelamat), Nashir (penolong), Mad’u (yang dimintai doa), Mujib (yang mengabulkan doa), Qawiyyun (yang maha kuat), Syaafii (penyembuh), Kasyiful Kurab (penghilang segala petaka) adalah sifat-sifat yang seharusnya tak disandangkan kepada Nabi sebagai manusia biasa.

Dalam kitab at-Tahdzir yang dikutip Abu Ubaidah, dicantumkan pula hadis sebagai penguat yaitu: “Jangan kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana kaum Nasrani memuji Isa bin Maryam. Sungguh aku hanyalah hamba, maka cukup katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya,” (HR Buhkari). Ithra` dalam hadis ini artinya berlebih-lebih dalam memuji dan boleh menyanjung Nabi dengan pujian yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.

Menanggapi pendapat itu, Radd asy-Syubuhat menjelaskan, penamaan Nabi Saw. dengan sifat-sifat tersebut bukanlah berlebihan. Semua hanyalah penisbatan pekerjaan kepada sebab atau pelakunya secara majaz, bukan secara hakiki.

Firman Allah, “Tidaklah engkau memanah tatkala engkau memanah, tetapi Allah-lah yang memanah,” (QS Al-Anfal [8]: 17). Allah menisbatkan memanah kepada diri Nabi Muhammad dalam firman-Nya tatkala engkau memanah, kemudian Allah menghilangkan nisbat hakiki, dan mengkhususkan hanya untuk diri-Nya dengan ungkapan Allah-lah yang memanah.

Kebanyakan Wahabi tidak mau menerima majaz, padahal majaz adalah inti dalam bahasa Arab. Akibatnya, mereka menentang nama-nama tersebut karena mengira bahwa sifat yang disandangkan kepada Nabi adalah dalam arti hakiki. Dalam banyak kasus ayat mustaysabihat pun mereka memaknai hanya sebatas zahir ayat saja.

Ahlussunnah wal jamaah meyakini bahwa yang memberi manfaat ataupun yang memberi bahaya hanya Allah Swt. saja. Adapun penisbatan kepada selain Allah hanya sebatas majaz dalam bahasa disertai keyakinan bahwa hanya Allah saja yang mampu melakukannya. Contoh gampangnya, kita katakan kertas itu terbakar oleh api. Api hanya pelaku secara majaz dan sebab kebiasaan saja, sedangkan pelaku hakiki atau yang menghendaki api bisa membakar adalah Allah semata.

Nabi Muhammad adalah muhyi (yang menghidupkan), dengan beliau Allah menghidupkan qalb manusia dengan iman dan makrifat, dan Allah membersihkan hati orang-orang beriman. “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. Sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Ali Imran [3]: 164). Penisbatan membersihkan jiwa, mengajarkan, kepada rasul adalah penisbatan secara majazi, dan hakikatnya Allah yang membersihkan jiwa dan memberi ilmu tentang kitab dan hikmah.

Nabi Muhammad juga sebagai munji, yang menyelamatkan secara majazi, dan hakikatnya hanya Allah yang menyelamatkan. Beliau mengeluarkan kita dari kegelapan kufur menuju cahaya iman, sehingga beliau menyelamatkan kita dari neraka dengan izin Allah Swt. “Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya engkau mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” (QS Ibrahim [14]: 1)

Allah menisbatkan mengeluarkan dari kegelapan dalam ayat itu kepada Nabi Muhammad, padahal Allah lah yang mengeluarkan dari kegelapan. “Allah penguasa orang-orang beriman, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju terang benderang…” (QS. Ali Imran [3]: 257).

Begitu selanjutnya dengan berbagai nama yang disebutkan oleh penulis artikel, Abu Ubaidillah. Semuanya bisa dipahami sebagai bentuk penisbatan secara majazi kalau kita mau mengerti dan memahami bahasa Arab. Dalam hadis Nabi diriwayatkan bahwa Nabi menyembuhkan mata Sayidina Ali Ra., menghilangkan kesusahan Abu Hurairah yang merasa cepat lupa dan lain sebagainya (Baca: Salawat Nariyah Syirik Dan Berlebihan Menyanjung Nabi?)

Terakhir, Abu Ubaidillah juga menyalahkan penggunaan nama Thaha dan Yasin sebagai salah satu nama Nabi Muhammad. Ia mengutip perkataan Ibnu al-Qayyim yang mengkritik penamaan ini dalam kitab Tuhfah al-Maudud (h. 109).

Sungguh, ungkapan bahwa yang mengatakan Thaha dan yasin sebagai nama Nabi Muhammad hanyalah orang awam, sangatlah tidak tepat. Karena Imam al-Bayhaqy dalam Dalail an-Nubuwah, meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad memiliki lima nama dalam Alquran, yaitu Muhammad, Ahmad, Abdullah, Thaha, Yasin.

Hakim dalam al-Mustadrak, meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan, “Thaha adalah sama dengan ungkapan Ya Muhammad dalam bahasa Habasyi.”

[nextpage title=”4. Tuduhan Paham Wahdatul Wujud atas Salawat al-Masyisyiyah”]

4. Tuduhan Paham Wahdatul Wujud atas Salawat al-Masyisyiyah

Salawat Masyisyi adalah karya  Syekh Abdus Salam Masyisy al-Alami (559-626 H/ 1140-1227 M). Salawat ini sebenarnya tak termasuk dalam pembacaan kitab Dalail. Dalam cetakan versi al-Hidayah, Surabaya, Hizib, salawat dan wirid yang bukan bagian dari bacaan Dalail ditulis dipinggiran halaman, kecuali Qasidah Burdah-nya Syekh al-Bushairi yang ditulis di tengah halaman pada bagian akhir setelah bacaan dan doa Dalail khatam.

Bagian yang disorot dari salawat tersebut adalah “Ya Allah! Tenggelamkanlah aku dalam lautan ahadiyah (wahdatul wujud), dan selamatkanlah aku dari lumuran lumpur tauhid, tenggelamkanlah aku dalam lautan wahdah sehingga aku tidak melihat, mendengar dan merasakan kecuali dengannya…”

Nah, komentar tuduhan tersebut begini, “Perhatikanlah, bagaimana dia mensifati tauhid yang merupakan dakwah para Rasul semenjak pertama hingga terakhir sebagai lumuran lumpur dan berdoa agar tenggelam dalam akidah wahdatul wujud (Manunggaling Kawula Lan gusti), suatu akidah yang sesat dan menyesatkan. Hanya kepada Allah, kita meminta perlindungan dari kehinaan dan kesesatan!!”

Pertama, penulis sebagaimana penulis kitab yang dirujuknya gagal memahami kata Awhal al-Tauhid yang diterjemahkan dengan lumuran lumpur tauhid ( dipahami sebagai tauhid yang diibaratkan seperti lumpur). Ia menganggap bahwa kata itu adalah hinaan untuk ajaran tauhid yang dibawa para rasul. Inilah pemaknaan dan penterjemahan yang menyesatkan pembaca.

Radd asy-Syubuhat menjawab, tak ada kotoran dalam tauhid hingga dianggap menjadi seperti lumpur, namun sebagian orang kadang tergelincir dalam tauhidnya ke akidah yang salah seperti wahdatul wujud, Mu’tazilah, dan akidah sesat ahli bidah lainnya. Akidah salah inilah yang oleh Syeh al-Masyisyi diibaratkan sebagai lumpur. Sehingga arti doa tersebut adalah: Ya Allah, selamatkanlah aku dari berbagai hal menyesatkan dan akidah yang salah dan menggelincirkan akidah kebanyakan orang.

Selanjutnya tentang kata tenggelamkan aku dalam lautan wahdah. Ia menganggap kata wahdah maksudnya adalah faham wahdah al-wujud yang meyakini bahwa Tuhan bersatu dengan hambanya.

Padahal, yang dimaksud dalam salawat ini adalah Wahdah asy-Syuhud (menyatu dalam pengawasan atau penyaksian Tuhan) dimana seorang hamba memandang, mendengar, melihat, bergerak dan diam selalu merasa dalam pengawasan atau pandangan Allah. Ini bisa terbaca dari kelanjutan salawat yang artinya, sehingga aku tidak melihat, mendengar dan merasakan kecuali dengannya. Maknanya tenggelamkan aku dalam musyahadah dan muraqabah (merasa dilihat dan diawasi) sehingga aku tak lagi memandang siapa pun bisa memberi manfaat maupun bahaya selain Engkau, dan tempatkanlah aku dalam derajat menyembah seakan melihat-Mu atau merasa Engkau lihat. Demikian pembahasan panjang kita terkait sorotan dan tuduhan sesat atas kitab Dalail al-Khairat. Semoga bermanfaat membuka wawasan.

[nextpage title=”5. Pendapat Ulama tentang Cahaya Nabi Muhammad”]

5. Pendapat Ulama tentang Cahaya Nabi Muhammad

Pada poin kelima ini, saya akan membicarakn tentang nur atau cahaya Nabi Muhammad Saw. Konsep nur Muhammad adalah pendapat bahwa Allah telah menciptakan cahaya atau nur Muhammad Saw. sebelum semua makhluk diciptakan.

Dalam nazam al-Barzanji, tercantum kata “Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni.” Ungkapan ini merujuk kepada konsep nur Muhammad sebagai awal kejadian tersebut.

Anehnya, bukannya membantah dengan mendatangkan data ilmiah baik hadis sahih maupun penjelasan ulama yang membantah konsep ini, penulis artikel “Lima Kesesatan dalam al-Barzanji” malah melanjutkan tuduhannya dengan mengatakan para sufi sebagai orang sesat karena meyakini konsep Nur Muhammad sebagai awal penciptaan.

Penulis artikel tersebut juga tidak menerangkan seharusnya bagaimana yang benar terkait konsep penciptaan. Konsep nur Muhammad sebagai awal penciptaan ternyata bukanlah omong kosong dan khurafat belaka. Karena, banyak ulama hadis yang meriwayatkan sabda Nabi tentang apa yang diciptakan pertama kali.

Hakim dalam Al-Mustadrak (Juz 11/651), mengetengahkan hadis yang berasal dari Umar Ibnul Khattab Ra., dengan rangkaian sanad dari Abu Sa’id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl; dari Abu al-Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly; dari Abu al-Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri; dari Ismail bin Maslamah; dari Abdurrahman bin Zain bin Aslam; dari kakeknya yang mendengar Rasulallah Saw. bersabda, “Saat Adam mengakui kesalahannya, ia berkata kepada Tuhannya, ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu.’ Allah bertanya (sebenarnya Allah itu Maha Mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.), ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum Kuciptakan?’ Adam menjawab, “Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh ke dalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa di samping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai.’ Allah menegaskan, ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdoalah kepada-Ku demi kebenarannya, engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan.’”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Suyuthi dalam Khasha’ish an-Nabawiyyah, Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah (juz 5/489), diperkuat kebenarannya oleh Qasthalani dan Zarqani dalam Syarh Al-Mawahib al-Laduniyyah (juz 1/119), Subki di dalam Syifa as-Saqam, Al-Hafidz Haitsami dalam Majma az-Zawa’id (juz 8/253), Thabrani dalam Al-Ausath (juz 6/313).

Para ulama berbeda pendapat tentang derajat hadis nur Muhammad. Ada yang mengatakan daif, ada yang tidak menerima sebagian periwayatnya, ada pula yang mengatakan palsu. Tetapi nyatanya memang banyak ulama hadis yang menerima hadis tersebut.

Mengutip dari penjelasan Tengku Alizar Usman dalam Kitab-kuneng.blogspot.co.id, setelah panjang lebar menyebut silang pendapat para ulama tentang nur Muhammad, beliau menyimpulkan dua hal.

Pertama, ulama berbeda pendapat menanggapi hadis Nur Muhammad. Kedua, masalah keberadaan nur Muhammad bukanlah masalah pokok akidah yang menyebabkan saling menuduh sesat sesama umat Islam hanya karena masalah khilafiah ini. Nur Muhammad hampir dapat dikatakan jarang sekali dibahas dalam kitab-kitab akidah, yang banyak pembahasannya hanya dalam kitab kitab-kitab tasawuf.

Begitulah bukti ilmah yang ada. Tetapi penulis artikel tersebut, sebagaimana umumnya Wahabi, menganggap masalah ini sebagai bagian akidah sehingga ia memvonis sesat terhadap pendapat yang berbeda. Demikian bantahan atas artikel “Lima Kesesatan Dalam Kitab al-Barzanji”. Wallahu A’lam.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *