Menu Tutup

Lagi, Bantahan Soal Waktu Imsak Baru Berlaku Saat Azan Subuh Berkumandang!

DatDut.Com – Ketika artikel terkait heboh imsak saya share di FB, ada kawan dengan akun Muhibbukum menambahkan komentar yang saya rasa perlu untuk diangkat di ruang ini:

“Kalau ditinjau dari berbagai sisi memang banyak kita temukan kesalahan ustaz (Adi Hidayat, red.) ini. Baru tahu kalau ternyata temannya antum.” Atas dasar itulah, kalau boleh, saya ingin menambahkan argumen lainnya terkait lemahnya pendapat Ustad Adi Hidayat soal imsak.

Baca: Benarkah Imsak Baru Berlaku Saat Azan Subuh Berkumandang? Ini Argumen Pembandingnya

[nextpage title=”1. Laju Logika yang Menipu”]

1. Laju Logika yang Menipu

Ustad Adi dalam videonya ditemukan menggunakan mughalathah, atau laju logika yang menipu. Kita lihat pada menit-menit pertama, beliau memunculkan pertanyaan kurang lebihnya: “Kalau sudah azan subuh, boleh makan, tidak?” Jelas tidak boleh jawabannya.

Kemudian disusul dengan pertanyaan kedua: “Berarti, kalau masih imsak, boleh makan, tidak?” Jawabannya pasti boleh. Jadi, logika pendengar digiring pada sebuah pengakuan bahwa imsak itu waktunya makan, dan azan itu satu-satunya waktu menahan. Maka kata imsak itu, sudah salah kaprah. Di sini, menurut saya, jelas salah satu pemakaian hujjah safsathah.

[nextpage title=”2. Dalil Kata Imsak Secara Bahasa”]

2. Dalil Kata Imsak Secara Bahasa

Dalam video itu, sang ustad juga berdalil kata imsak secara Bahasa. Beliau menyebut bahwa kata shaum, shiyam, dan imsâk itu satu makna. Beliau juga ingin menggiring pada sebuah penetapan bahwa membedakan kata imsak dengan puasa, itu salah. Sebab puasa, ya imsak itu. Dan, imsak, ya puasa itu.

Tapi kenapa dalil imsak secara bahasa ini hanya dijadikan dalil tentang puasa dari terbit sampai terbenamnya matahari? Padahal sangat jelas sekali bahwa makna kebahasaan selalu lebih mencakup daripada makna syar’i. Dalam ilmu manthiq ini termasuk dalam kaidah: al-dalil a’ammu minal mudda’a bahwa dalil yang dibuat landasan argumen, lebih luas daripada konsep yang diangkat.

Maka, tersisa sebagian makna imsak secara bahasa, yang belum dipakai sebagai dalil. Yaitu Imsak dengan arti ‘menahan’ secara umum. Nah, di sini justru kita bisa mengartikan imsak yang kira-kira 10 menit sebelum subuh itu, secara bahasa, adalah imsak sebagaimana yang disebut Ustad ini. Ini namanya, kontradiktif.

[nextpage title=”3. Tradisi Imsak di Indonesia”]

3. Tradisi Imsak di Indonesia

Pada hakikatnya, tradisi imsak di Indonesia itu adalah pengamalan hadis yang menjelaskan tentang jeda antara terakhir makan dengan subuh kira-kira 50 ayat (-+10 menit). Jadi dalam amaliyah, sudah ada dalilnya. Ulama memberikan alasan bahwa hal itu karena sebuah kehati-hatian kita dalam menjalani puasa, dengan detailnya sampai ada pembatasan 50 ayat.

Kehati-hatian itu sebuah kewaraan seseorang dalam menjalankan perintah Allah, yang kalau secara hukum, tetap dibahasakan sebagai sunah. Jadi hukumnya menahan di waktu imsak adalah Sunnah. Lantas kita bagaimana cara membahasakannya? Ya, ini hanya persoalan bahasa, maka tidak salah dong, kita membahasakan dengan imsak. Bahkan di sebagian orang kampung, ada yang bilang “insap”. Ya, tidak mengapalah, wong cuma bahasa.

[nextpage title=”4. Bantahan terkait Kata Tanbih”]

4. Bantahan terkait Kata Tanbih

Mengenai kata tanbih yang diusulkan si ustad, juga dalam poros penggunaan kata, maka juga akan berkutat, antara pas, kurang pas, tidak pas, atau sama saja. Saya kira sama saja, kita mau bilang tanbih yang secara bahasa mempunyai arti ‘peringatan’ ketika ditinjau dari segi mendekatinya waktu azan subuh.

Kalau disebut imsak, maka ini ditinjau dari segi ‘menahan’-nya itu. Bahwa memang kata-kata itu bisa berbeda dalam sudut pandang yang berbeda pula. Sekalipun misalnya dalam pengucapan tanbih itu ada dalilnya dari ulama salaf. Cuma pemahaman saja yang berbeda.

[nextpage title=”5. Fatwa Soal Imsak Sebelum Subuh Wajib”]

5. Fatwa Soal Imsak Sebelum Subuh Wajib

Sekedar tambahan bahwa ada salah satu ulama Hadramaut yang berfatwa bahwa imsak (menahan) menjelang subuh itu hukumnya wajib. Dengan dalil bahwa Allah berfirman dalam al-Baqarah, 187, “Itulah batasan-batasan yang ditetapkan Allah. Oleh karena itu, jangan dekati.”

Ayat ini mengandung pesan bahwa puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, adalah garis dari Allah. Dalam Ushul Fiqih disebut “hukum wadl’i”. Maka kita dalam ayat ini dilarang untuk mendekati garis itu. Sedangkan larangan (nahy) ketika belum ada dalil lain yang menjelaskan (muthlaq), akan menunjukkan haram. Ini sebagaimana dalam kaidah Ushul Fiqih. Wallahu a’lam.

Baca Juga: