Menu Tutup

Ini 5 Sikap Orangtua Santri yang Bisa Menyebabkan Anaknya Gagal di Pesantren

DatDut.Com – Kalau jaman dahulu, masih banyak orang yang menuntut ilmu di pesantren dengan kemauan dan tekad sendiri. Para orangtua hanya mampu mendukung dengan doa restu, sedangkan si anak harus mencari bekal sendiri. Muncullah kelompok santri yang disebut santri kasab atau santri pekerja. Mereka belajar dan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan di pesantren.

Lain dulu lain sekarang. Karena perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, pergaulan anak semakin mengkhawatirkan para orangtua. Sehingga demi menyelamatkan anak dari pengaruh buruk pergaulan, dan agar lebih mudah dibentuk menjadi anak saleh, para orangtualah yang berinisatif memondokkan putra-putrinya ke pesantren.

Sehingga orangtua harus menerapkan berbagai cara agar si anak mau mondok. Demi anaknya tetap di pesantren, terkadang mereka yang anaknya sudah melewati tingkat kenakalan yang membuat pengurus angkat tangan, masih saja bersikeras agar anaknya tetap di pesantren.

Nah, terkait para orangtua yang bersemangat memondokkan anaknya, kelima sikap berikut ini layak diperhatikan. Karena, menurut pengalaman yang saya dengar dari para ustaz dan pengasuh pesantren, orangtua yang memiliki sikap tersebut anaknya justru kebanyakan tidak sukses menempuh pendidikan di pesantren. Berikut 5 sikap itu:

[nextpage title=”1. Terlalu Memanjakan Anak”]

1. Terlalu Memanjakan Anak

Sebagian orangtua, bahkan di antaranya adalah alumni pesantren, terlalu memanjakan anaknya dengan memberi uang bekal berlebihan. Bagi alumni pesantren, khususnya yang dulunya di pesantren mengalami masa-masa sulit, hal itu dipicu keinginan agar anaknya tidak mengalami penderitaan seperti saat mereka dulu nyantri. Sebaliknya, bagi orangtua yang kaya dan bukan alumni pesantren, hal itu karena mereka ingin anaknya lebih tenang belajar.

Dalam sebagian kasus memang santri yang didukung dana berlebih bisa lebih tekun belajar. Namun sebatas yang saya jumpai di pesantren dan kata para santri senior, santri anak orang kaya biasanya justru kurang tekun belajar. Mereka terlena dengan nikmatnya punya uang banyak. Di pesantren, membelanjakan uang lebih leluasa ketimbang saat di rumah. Setiap bulan, “gajian” sudah pasti. Kalau di rumah, harus meminta dulu kalau ingin beli ini dan itu.

[nextpage title=”2. Terlalu Kritis terhadap Kebijakan Pesantren”]

2. Terlalu Kritis terhadap Kebijakan Pesantren

Ada loh orangtua yang tidak terima kalau anaknya terkena hukuman karena pelanggaran di pesantren. Banyak bahkan. Kebijakan pengasuh dan pengurus pesantren mereka kritik habis-habisan. Seperti supporter bola yang mengomentari pertandingan, orangtua model ini menyodorkan berbagai usulan seolah ia paling tahu cara mendidik santri.

Kadang ia membanding-bandingkan satu pesantren dengan pesantren lainnya di hadapan kiai atau pengurus pesantren yang mendidik anaknya. “Kalau di pesantren A itu begini, di pesantren B itu bagitu, harusnya pesantren sini bisa seperti mereka.” Sebenarnya, pengasuh maupun pengurus kalau menghadapi orang macam ini menahan diri agar tidak kelepasan omong seperti begini: “Ya sudah anak bapak pondokkan ke sana saja!”

Menjaga perasaan pengasuh dan pengurus pesantren perlu diperhatikan para orangtua. Kalau tidak setuju dengan satu pesantren, kurang puas dengan cara mendidiknya, Anda bisa pindahkan ke pesantren lain, tapi dengan cara yang baik dan tidak perlu merendahkan, meremehkan, atau membandingkan satu pesantren dengan lainnya di hadapan pengasuhnya dengan nada mengkritik.

[nextpage title=”3. Kurang Mengerti Kenakalan Anak”]

3. Kurang Mengerti Kenakalan Anak

Ada juga sebagian wali santri yang anaknya mengalami hukuman terberat berupa pemulangan atau pencabutan status anak didik, justru membela anaknya habis-habisan. Mereka merasa paling mengerti tingkah anaknya dan tidak terima saat pesantren memulangkan anaknya karena suatu kasus. Mereka beranggapan bahwa pesantren tidak becus membenahi sikap anaknya. Kadang malah ada yang membela sang anak dan mengatakan anaknya di rumah selalu bersikap baik.

Pesantren, sebagaimana umumnya lembaga pendidikan, ada saat di mana merasa sudah tidak mampu menangani kenakalan salah satu santri. Dalam kondisi ini, demi menghindari efek penularan kenakalan, maka keputusan paling umum adalah memulangkan santri yang sudah parah itu ke orangtuanya.

Kalau Anda tanyakan, bukankah pesantren itu ibarat bengkel moral yang siap mendandani kerusakan santri? Jawabnya, bengkel motor atau mobil saja ada kalanya angkat tangan terhadap kerusakan kendaraan yang benda mati, apalagi pesantren yang membengkeli makhluk hidup.

[nextpage title=”4. Kurang Perhatian”]

4. Kurang Perhatian

Salah satu sikap orangtua yang mendorong kegagalan santri adalah kurang perhatian terhadap perkembangan atau kemuduran anaknya. Orangtua model ini tak pernah menanyakan pada anaknya sudah sampai tingkat apa madrasah diniyahnya? Sudah selesaikah tugas hafalannya, dll. Mereka hanya berpikir bagaimana membekali anaknya dengan uang yang cukup.

Maka ketika terbongkar fakta bahwa anaknya di pesantren ternyata kurang giat belajar dan cenderung melanggar aturan, mereka terkejut. Sebagian lalu bersikap seperti poin nomor 3. Sebagian yang lain merasa bahwa ternyata pesantren bukan tempat memperbaiki moral atau akhlak, tapi tempat bersemainya perangai buruk yang menular. Ia beranggapan perubahan buruk pada anaknya adalah karena ketidakmampuan pesantren mendidik santri.

[nextpage title=”5. Terlalu Memaksakan Kehendak”]

5. Terlalu Memaksakan Kehendak

Saat ini kebanyakan anak mondok bukan murni keinginan sendiri. Dorongan orangtua bahkan paksaan merupakan latar belakang paling umum bagi santri. Masalahnya, orangtua yang terlalu memaksakan kehendak agar anaknya belajar di pesantren ternyata justru membuat si anak tertekan.

Akhirnya saat di pesantren justru melampiaskannya dengan cara bertindak sesuka hati. Repotnya, paksaan kepada anak agar nyantri di pesantren biasanya dikombinasikan dengan poin pertama, memanjakan anak dengan bekal berlebih.

Memang, untuk memasukkan anak agar belajar di pesantren harus ada paksaan, tetapi perlu diperhatikan agar paksaan itu dengan cara sehalus mungkin. Mungkin juga perlu mengimingi-imingi si anak dengan hadiah dan sebagainya, namun jangan sampai terjerumus memanjakannya di pesantren.

Kalau sudah buntu, si anak memang tidak bisa di pesantren dan mempunyai bakat keahlian di luar pesantren, mintalah ia agar mau membantu Anda memenuhi kewajiban membekali anak dengan ilmu agama dengan cara mencicipi belajar pesantren. Mintalah ia untuk mondok sebentar saja. Mungkin nanti setelah di pesantren, justru ia menemukan sisi nikmatnya dan malah betah di sana.

Sebagai catatan, kelima sikap tersebut tidak berpengaruh terhadap santri yang memang punya keinginan kuat dari dirinya sendiri untuk belajar di pesantren. Mau bekalnya sedikit atau banyak, diperhatikan atau tidak, mereka tetap tekun belajar. Semoga anak Anda yang semula terpaksa, setelah masuk pesantren bisa menemukan motivasi dari dirinya sendiri dan menjadi santri seperti ini.

Baca Juga:

2 Comments

  1. Fauziah

    Assalamualaikum.. anak sulung ku nangis2 terus ustad setiap kali aku bujuk masuk pesantren, semoga Allah melembutkan hatinya, dan setuju masuk pesantren, anak manja ustad dah usia 13 th kerjaannya main hape, game sy sangat khawatir dengan masa depannya ustad, btw itu pesantren sangat dekat dari rumah hehe..( gedungnya terlihat dari teras rumah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *