DatDut.Com – Beliau lahir sekitar tahun 1868 dari pasangan Pak Ahmad (Saudagar) dan Bu Qosimah. Seperti kebiasaan ulama, beliau mencari banyak guru dan nyantri di berbagai pesantren. Di antara guru-gurunya; Kiai Nawawi Jepara, Kiai Abdullah, Kiai Abdul Salam, dan Kiai Siroj Kajen, Kiai Ma’shum dan Kiai Syarofudin Kudus, Kiai Umar Harun Sarang Rembang, Kiai Idris Solo, Kiai Dimyati Termas, Kiai Ridhwan Semarang, Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng, Syekh Mahfudz At-Termasi di Mekkah dan KH. Kholil Bangkalan Madura.
Nah, dengan gurunya yang disebut terakhir beliau punya cerita sebagaimana disebutkan dalam buku Manaqib Mbah Ma’shum Lasem bahwa suatu waktu Kiai Kholil Bangkalan (Madura) mengatakan kepada santrinya, “Tolong buatkan aku kurungan ayam jago, sebab besok akan ada jagoan dari tanah Jawa yang datang ke sini.” Keesokan hari, datanglah seorang pemuda bernama Muhammadun—nama almarhum Mbah Ma’shum waktu muda—dari tanah Jawa.
Oleh Kiai Kholil, pemuda itu—pada waktu itu umurnya 20 tahun—diminta masuk ke dalam kurungan ayam jago tersebut. Dengan penuh takzim dan ketundukan terhadap gurunya, pemuda itu pun masuk dan duduk berjongkok ke dalam kurungan ayam jago tadi. Kiai Kholil kemudian berkata kepada segenap santri beliau, “Inilah yang kumaksudkan sebagai ayam jago dari tanah Jawa, yang kelak akan menjadi jagoan tanah Jawa.”
Mbah Ma’shum dikenal sebagai kiai yang memiliki banyak karamah. Paling tidak, ini 5 karamah beliau yang saya ketengahkan berdasarkan buku The Authorized Biography of K.H. Ma’shum Ahmad dan Majalah Alkisah No. 26/Tahun VII, dll:
1. Ngajar Alfiyah dalam Kamar tanpa Penerang
Mbah Ma’shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah Ibnu Malik selama 40 hari. Yang unik dan nyentrik, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma’shum di sebuah kamar tanpa lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar. Mbah Ma’shum “nyantri” hanya 3 bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya seraya mendoakannya dengan doa sapu jagad. Lalu, saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil lalu didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.
2. Ditemui Rasulullah
Seringkali beliau bermimpi Rasulullah Saw. Bahkan ketika di stasiun Bojonegoro, beliau tidak hanya bermimpi, melainkan bertemu dengan Rasulullah antara tertidur dan terjaga sembari menerima pesan dari Kanjeng Nabi, “La khoiro illa fi nasyril ilmi” (Tidak ada kebaikan yang lebih utama dari menyebarkan ilmu).
Dalam salah satu mimpinya beliau bersalaman dengan Kanjeng Nabi, dan setelah bangun tangannya masih wangi. Beliau juga bermimpi bertemu Nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”
Ketika dikonsultasikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari—yang biasa memanggil Mbah Ma’shum dengan sebutan Kangmas Ma’shum karena sudah amat akrab dan secara umur Mbah Ma’shum lebih tua—beliau mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah itu Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren pada tahun 1334 H/1916 M. Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istikamah mengajar.
3. Ditamui Walisanga
Pada suatu waktu, datang sembilan orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan Mbah Ma’shum. Namun, karena tuan rumah sedang sare (tidur, red), Ahmad, seorang santrinya, menawarkan apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan. Mereka menolak.
Lalu mereka yang tadinya duduk melingkar di ruang tamu berdiri seraya melantunkan salawat, kemudian berpamitan. Sebelum mereka pergi, Ahmad menawarkan sekali lagi “Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?” “Tidak usah,” ujar salah satu dari mereka, lalu pergi.
Rupanya saat itu Mbah Ma’shum mendusin (terbangun sebentar) dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi. Setelah mendapat penjelasan, Mbah Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya. Sayang sekali mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru berlalu sekitar 50 meter dari rumah Mbah Ma’shum.
Ketika Ahmad akan melaporkan hal tersebut, Mbah Ma’shum yang sudah bangun tapi masih dalam posisi tiduran mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisanga, dan yang berbicara mewakili mereka tadi adalah Sunan Ampel. Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Mbah Ma’shum sare lagi.
4. Beras Melimpah
Di depan para cucunya, Mbah Ma’shum memimpin pembacaan istigasah dan membaca potongan syair Al-Burdah :
Ya Akramal Kholqi ma li man aludzu bihi # Siwaka ‘inda hululil hadisil ‘amimi
“Duhai makhluk yang paling mulia (Muhammad), aku tak punya siapa-siapa untuk mencari suaka kecuali kepadamu, kala malapetaka menimpaku.”
Syair tersebut dibaca 80 kali, dilanjutkan dengan doa sebagai berikut: “Ya Allah, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu”.
Mbok Nadhiroh—salah satu santri ndalem yang biasa mengurusi dapur—selain ikut mengamini juga menyela, “Mbah, tambahi satu ton!” Ditimpali oleh Mbah Ma’shum, “Tidak satu ton, tapi lebih.” Beberapa hari kemudian, beras seolah mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang dan Pasuruan ke tempat Mbah Ma’shum.
Dari cerita di atas saya tak habis pikir bagaimana saudara-saudara kita Wahabi itu mensyirikan pembaca-pembaca bait syair di atas. Kalau benar syirik pembacanya lalu mengapa doa Mbah Ma’shum diijabah oleh Allah Ta’ala? Bukankah Allah tidak mencintai hamba-Nya yang menyekutukan-Nya (musyrik)?
Masih soal beras. Pada kesempatan lain, setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah Ibnu Malik, Mbah Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah habis. “Ya Allah, Gusti, saya minta beras,” pinta Mbah Makshum. “Amin…” Keduabelas santrinya—yang ditampung dan ditanggung di rumah Mbah Ma’shum—khidmat mengamini doa kiainya.
Sejurus kemudian saat jam menunjukkan pukul sebelas siang, datang sebuah becak membawa beberapa karung beras tanpa pengantar kecuali alamat yang tertempel di karung-karung beras tersebut. Di sana yang tertera nama kotanya, Banyuwangi. Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, Mbah Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu.
Agar suatu saat jika beliau berkunjung ke Banyuwangi dapat mampir ke alamat itu. Saat alamat tersebut didatangi, ternyata tempat itu kebun pisang yang jauh di pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir-hampir tak ada yang kelebihan rezeki. Lalu siapa yang mengirim beras?
5. “Dua Tahun Lagi Saya Akan Menyusul”
Karamah kali ini menunjukkan bahwa beliau dapat mengetahui kapan ajal akan menjemputnya. Kejadiannya, ketika beliau mendengar kabar kewafatan pamannya, Kiai Baidhowi (11 Desember 1970), beliau berkata, “Seandainya Paman wafat pada hari ini, saya akan menyusul dua tahun kemudian.”
Ucapan itu ditegaskan sekali lagi langsung di telinga almarhum ketika beliau menghadiri pemakamannya, “Ya, Paman, dua tahun lagi saya akan menyusul.” Mbah Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari salat Jumat di masjid Jami’ Lasem, tak jauh dari rumahnya.
Kisah di atas mengingatkan kita akan kisah Sayidah Nafisah yang dapat mengetahui kedatangan ajalnya, empat tahun setelah kewafatan muridnya, Imam As-Syafi’i (204 H), sehingga beliau menggali kuburannya sendiri dan membacakan Al-Quran di liang lahatnya sebanyak 145 kali. Masya Allah.
Kontributor: Alvian Iqbal Zahasfan | Alumni PP. Nurul Jadid, pecinta wali
- ADDAI Akan Anugerahkan Sejumlah Penghargaan Bergengsi untuk Dai dan Program Dakwah di TV - 18 November 2023
- Pengumuman Kelulusan Sertifikasi Dai Moderat ADDAI Batch 3 - 2 September 2023
- ADDAI Gelar Global Talk Perdana, Bahas Wajah Islam di Asia Tenggara - 7 Oktober 2022